Teks Agus Sumberdana, Foto Anton Muhajir
“Karena cinta, saya harus menjalani hari-hari di Lapas ini,” sesalnya.
“Boleh merokok di sini?” tanya saya sambil mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya.
“Dadi, Bli. Dadi” salah satu remaja itu menyahut dalam Bahasa Bali. Artinya “Boleh, Kak. Boleh”. Sekitar sepuluh remaja ini berkumpul dan mengobrol di samping meja bilyar yang kondisinya rusak. Tongkat biliar yang mereka pakai sudah buntung. Karpet merah di meja biliar sudah kusam.
Meja biliar itu berada di depan blok-blok ruang tahanan anak-anak di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak di Karangasem. Kamis hari ini saya berkunjung ke sana bersama tiga teman dari Sloka Institute. Kami diajak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali berkunjung sekaligus melihat apa saja kebutuhan anak-anak tersebut. Sloka dan Bali Blogger Community (BBC) diminta oleh KPAI untuk memberikan pelajaran terkait dengan komputer dan internet pada para penghuni Lapas.
Hari ini kami ke sana untuk melihat kira-kira apa yang dibutuhkan mereka. Saya mencoba mengajak ngobrol anak-anak tersebut. Sambil menyalakan rokok, saya mulai mengobrol dengan mereka yang tampak tertarik dengan kedatangan saya.
Kadek salah satu remaja yang tampak gaul dengan rambut ala emo dan sedikit semir pirang mendekat dan menanyakan asal-usul saya. “Wartawan, Bli?” selidiknya ketika melihat Anton Muhajir, teman saya ketika berkunjung ke sini, mulai mencatat obrolan dan mengambil foto keadaan sekitar.
“Sing (bukan), yang (saya) pegawai yayasan Sloka Institute. Sedang berkunjung untuk ngobrol tentang keadaan di sini,” jawab saya. Sloka Institute, tempat saya bekerja diundang hadir di Lembaga Pemasyarakatan
Kadek pun ikut menyalakan rokok. Saya menanyakan nama dan asalnya. “Tiang (saya) Kadek saking (dari) Singaraja,” jawabnya singkat. Kepulan asap rokok mengiringi obrolan ringan kami.
“Sudah berapa lama di sini, Dek?” tanya saya.
“Tiga bulan. Sebelumnya di LP (Lembaga Pemasyarakatan) Kerobokan tiga bulan juga,” jawabnya.
“Karena kasus apa?”
“Saya menukar pelek motor teman yang biasa saya ajak trek-trekan (balapan liar).
“Tapi kamu nukarnya gak bilang sama yang punya?”
“Iya. Tapi dia temen yang sudah kenal dekat. Kami sering bertukar komponen motor seperti knalpot atau yang lainnya,” jawab Kadek dengan sedikit nada membela diri.
Saya tersenyum mendengar pengakuannya. Kadek adalah salah satu dari 16 penghuni Lapas Anak di Kabupaten Karangasem. Kadek dijatuhi hukuman 3 tahun 3 bulan karena perbuatannya menukar pelek tanpa izin pemiliknya.
Menurut pengakuan Kadek yang berdomisili di Abian Semal, Kabupaten Badung, dia dan keluarganya sudah mengusahakan damai dengan mengembalikan dan membelikan pelek baru buat pengganti kepada temannya. Namun kasusnya tetap berlanjut kepengadilan karena temannya yang menjadi korban memiliki kerabat polisi. Jadilah Kadek harus putus sekolah di kelas 1 SMA dan melanjutkan hari-harinya di penjara.
Saat ini keluarganya sedang mengusahakan pembebasan bersyarat (PB). Raut wajah dan nada penyesalan selalu mengiringi percakapan kami. Kadek mengaku sangat menyesal karena harus kehilangan kebebasan masa mudanya karena kenakalannya.
Lain lagi dengan Wayan Bracuk, remaja dari Karangasem yang hanya tamatan SMP. Bracuk mendapat hukuman sepuluh bulan penjara karena penganiayaan. Dia bercerita api cemburu telah membuatnya kalap. Ketika itu dia melihat pacarnya bercumbu dengan lelaki lain. Luapan emosinya dilampiaskan dengan menghujani wajah selingkuhan pacarnya dengan pukulan hingga babak belur.
“Karena cinta, saya harus menjalani hari-hari di Lapas ini,” sesalnya.
Remaja 18 tahun yang memiliki tato di tangan dan dahi ini mengaku sangat menyesal. “Dosa terbesar saya adalah membuat ibu saya menangis setiap berkunjung ke sini,” ungkanya dengan raut wajah sedih.
Wayan bercerita jika hukuman yang dia terima sangat membebani perasaannya. Walaupun di Lapas dia bisa bermain dan bercanda dengan teman-teman senasib, namun kesedihannya tidak terhapus.
Wayan sering menuliskan perasaannya di buku tulis atau dinding selnya. “Saya malu kalau menangis di depan teman-teman. Tapi saya sangat sedih karena sudah mengecewakan orang tua saya,” katanya.
“Tangan ini penuh tulisan kerinduan,” imbuhnya puitis.
“Kamu memukuli pacarmu juga?” tanya saya.
“Wanita itu diciptakan untuk dicintai,” jawabnya tidak kalah puitis.
Saya hanya tersenyum. “Cinta memang telah membutakan logikanya,” pikir saya. Tato ular dan tribal di dahinya terlihat seperti tato tempel anak-anak, biasanya hadiah dari permen, bagi saya setelah mendengar ceritanya yang melankolis-romantis. 🙂
Cerita di atas hanya sedikit cerita dari para penghuni Lapas Anak Karangasem. Banyak kisah hidup para remaja yang mendapat stempel kriminal itu menarik, unik, mengharukan, bahkan lucu. Belum lagi kisah para Anak Negara yang baru bisa menghirup udara bebas setelah mereka berumur 18 tahun.
Anak-anak itu mengaku senang mendapat kunjungan karena ada teman bercerita dan mengeluh. Mereka juga sangat antusias ketika ditawari pelatihan komputer untuk bekal kembali ke keluarga dan masyarakat. Semoga Berbagi Tak Pernah Rugi, kegiatan pelatihan rutin ala BBC, selanjutnya bisa dilangsungkan di lapas anak Karangasem ini. Semoga.
Ayo BBC. Let’s care and share. 🙂
Kapan pelatihannya???