Berada di ketinggian 617 m di atas permukaan laut, Subak Wangaya Betan Desa Mengesta Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan adalah salah satu pusat produksi padi di Bali. Sepanjang tahun petani di kawasan sini hanya menanam padi untuk didistribusikan ke seluruh Bali.
Empat tahun lalu, petani di subak ini menghadapi ancaman pencemaran air. Sungai Yeh Ho, yang mengairi sawah mereka mengandung polutan seperti potasium dan fosfat. Polutan tersebut merupakan dampak dari tingginya pemakaian bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida oleh petani setempat..
Kondisi itu mengusik pikiran Alit Artha Wiguna, peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. “Kalau di pusat produksi padi Bali saja begitu bagaimana di daerah lain,” katanya.
Alit, yang saat itu melakukan penelitian sejak 2002 untuk masternya di Teknik Lingkungan Institut Pertanian Bogor, bertekad untuk melakukan perubahan pada praktik pertanian petani setempat, dari pertanian tergantung bahan kimia ke pertanian organik. Menurut Alit, penggunaan bahan kimia yang terlalu banyak, seperti pupuk dan pestisida, selain boros biaya juga bisa merusak lingkungan. Bahkan berbahaya bagi manusia karena bisa terkena zat kimia ketika menggunakan atau memakan produk yang terkontaminasi zat kimia tersebut.
Melalui perubahan praktik pertanian ke organik itu Alit ingin menciptakan sistem pertanian yang saling terintegrasi antara pangan (food), pakan ternak (feed), pupuk (fertilizer), dan sumber energi (fuel) di kawasan tersebut.
“Petani jadi tergantung pada asupan kimia setelah Revolusi Hijau dipraktikkan oleh banyak petani di Bali sejak 1970an,” kata Alit sekitar sebulan lalu di Desa Mengesta.
“Jadi saya ingin mengubah mindset petani agar mereka tidak tergantung lagi pada asupan dari bahan kimia,” tambah Alit.
Alit memulai ide tersebut dengan berdiskusi bersama petani. Dia memperkenalkan sistem daur ulang bahan-bahan di sekitar lahan untuk membuat pupuk organik. Melalui sekolah lapang, para petani diberi pemahaman tentang manfaat pengelolaan limbah peternakan. Sebagian petani di desa ini memang beternak ayam. Limbah ayam inilah yang dimanfaatkan sebagai pupuk bagi padi.
Selain melalui diskusi, dia juga mengajak petani untuk langsung mempraktikkan pengetahuan baru tersebut. “Jadi mereka bisa belajar langsung dari lapangan,” katanya.
Tapi ini tidak mudah. Sebagian petani merasa tidak mungkin bisa mendapat hasil yang bagus kalau tidak menggunakan pupuk kimia. “Padahal itu salah. Menggunakan pupuk organik tidak hanya lebih murah dan aman untuk lingkungan tapi juga bisa mendapatkan hasil lebih banyak,” ujar Alit.
Murahnya pupuk organik karena petani bisa menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka. Misalnya kotoran sapi, jemari padi, juga kulit kakao dan kulit kopi bisa ditambahkan sebagai bahan pupuk.
Ketika Alit memulai ide tersebut pada pertengahan 2005 hanya empat petani, dengan total lahan seluas 2,5 hektar, yang ikut. Namun, dengan melihat bukti di lapangan, petani-petani itu mau menerapkannya di lahan masing-masing.
“Hasil panen pada awalnya memang sedikit menurun dibandingkan saat menggunakan pupuk kimia, namun petani membuktikan sendiri bahwa pupuk dari kotoran ayam bisa meningkatkan kualitas padi,” kata alumni Fakultas Peternakan Universitas Udayana Bali ini.
Petani tidak lagi hanya mengandalkan pupuk kimia untuk mendapatkan hasil panen yang lebih banyak dan lebih bagus.
Keberhasilan itu menarik petani lain untuk melakukan hal yang sama. Tapi masalah justru muncul ketika makin banyak petani yang menggunakan kotoran ayam sebagai pupuk. Bahan organik yang ada tidak mencukupi.
Bersama petani, Alit kemudian membuat formula untuk mencampur kotoran ayam tersebut dengan kotoran sapi. Sebab, menurut Alit, pupuk yang baik harus mengombinasikan unsur nitrogen (N) dan unsur karbon (C). Kotoran ayam kaya unsur nitrogen sedangkan kotoran sapi mempunyai unsur karbon yang cukup. Campuran kotoran ternak bersama kapur abu dan serbuk gergaji.
Saat itu, petani setempat juga mendapatkan bantuan 60 ekor sapi dari pemerintah. Sehingga kotoran sapi pun makin mudah diperoleh.
Setelah beternak sapi, petani juga mulai berpikir pula untuk mendapat pakan sapi yang cukup. Melalui uji coba bersama BPTP Bali, menemukan formula pakan yang tepat hasil fermentasi dari campuran jerami padi, serat kelapa, sisa jagung, serta kulit kopi.
“Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk untuk lahan serta pemanfaatan limbah di lahan sebagai pakan ternak, menjadikan proses pemanfaatan bahan-bahan yang ada di sekitar petani benar-benar optimal serta memberikan hara yang cukup bagi kesuburan tanah,” kata Alit yang mendapat gelar doktor dari IPB juga.
Selain daur ulang limbah untuk pertanian dan peternakan, Alit juga mengenalkan teknik bertani padi yang disebut dengan system of rice intensification (SRI). Sistem ini ditemukan pertama kali oleh petani di Madagaskar. Bedanya dengan sistem bertani konvensional adalah karena sistem ini menggunakan sedikit air.
Sistem baru ini dimulai sejak Januari 2006. Bersama petani dan tim BPTP Bali Alit menguji coba penerapan SRI di sawah mereka. Teknik dalam SRI antara lain menekankan jarak tanam yang lebih lebar, penggunaan bibit yang berumur lebih muda, penggunaan jumlah bibit yang lebih sedikit, serta sistem pengairan terputus atau tidak menggenangi sawah secara terus menerus.
“Dengan jarak tanam yang lebih lebar ini, penyerapan unsur hara oleh akar lebih merata untuk seluruh tanaman dalam satu petak. Sinar matahari juga bisa masuk dengan leluasa di sela-sela tanaman sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik,” kata bapak dua anak ini. Hasilnya, jumlah bulir padi per malai dan berat butir meningkat tajam. Serangan hama juga semakin berkurang.
Untuk teknik pengairan, SRI menggunakan teknik pengairan intermittent, sistem pengairan yang hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Para petani di Subak Wangaya Betan melakukan penggenangan air di sawahnya setiap lima hari sekali. Teknik ini mengakibatkan terjadinya penghematan dalam penggunaan air.
“Dengan penggunaan air yang lebih sedikit, subak menjadi lebih mudah dalam melakukan pembagian air mengingat semakin terbatasnya sumber daya air yang tersedia bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat dari hulu hingga hilir,” kata Alit.
Hasilnya kini sawah yang dikelolanya ternyata mampu memberikan peningkatan hasil. Saat masih bertani secara konvesnional, petani hanya mendapat padi sekitar 6 ton per ha. Namun dengan penggunaan pupuk organik dan SRI kini hasilnya meningkat menjadi sekitar 8 ton per ha. Bahkan, beberapa petani ada yang mendapatkan hasil lebih dari 10 ton per ha sejak awal masa percobaannya.
Keberhasilan itu makin membuat petani lain beralih ke pertanian organik. Dari empat orang petani pada 2006, petani yang beralih ke organik terus bertambah jadi 20 orang dan terakhir 90 orang. Mereka tersebar di beberapa desa selain Mengesta yaitu di Babahan dan Belulang.
Tak hanya melulu peningkatan hasil. Praktik pertanian organik juga memberi tempat untuk ekosistem yang sebelumnya sudah hilang. Sekarang banyak sekali ditemukan belut, berbagai jenis siput air, belauk (calon capung), capung, maupun cucut (sejenis belut), yang sebelumnya sudah sangat jarang ditemukan ketika mereka masih menggunakan pola pertanian dengan input kimia.
Keberhasilan itu membuat Alit makin yakin bahwa pertanian organik memang jadi jawaban atas makin banyaknya kerusakan lingkungan di Bali akibat pertanian. Pertanian organik juga bisa menjawab tingginya kebutuhan beras di Bali.
Satu hal yang masih mengganggu pikiran Alit adalah maraknya penjualan tanah di Bali akibat pariwisata. Sebab hal itu berarti mengancam keberadaan subak, tradisi pertanian di Bali. Menurut Alit itu terjadi karena bagi sebagian besar petani, sawah sudah tidak mencukup lagi untuk hidup. Maka dia mengusulkan agar subak tak hanya dianggap sebagai aset pertanian dan kebudayaan.
“Subak juga harus dianggap sebagai aset ekonomi sehingga petani bisa hidup dari sana,” kata Alit. [b]
kalau bertemu catur yudha hariani, sampaikan salam saya
saya ingin menjadi petani organik.
1. dimana saya bisa mendapatkan pupuk kandang organik di daerah bali, khususnya di daerah badung/ tabanan/ gianyar?
2. dimana saya bisa mendapatkan informasi lengkap tentang pertanian organik di daerah bali?
mohon jawaban atas pertanyaan saya.
terimakasih
kaum petani bali mengenal pupuk kimia dan pesticida sejak pemerintahan orde baru. sudah hampir dua generasi petani bali tertipu oleh perusahaan agrobisnis raksasa amerika dengan cara kolaborasi bersama penguasa dan pengusaha orba. sejak zaman purba sampai dengan tahun 1966, tidak perlu ada orang luar yang harus mengajari petani bali, bagaimana caranya bercocok tanam. bali selatan dan kabupaten banyuwangi sejak dulukala adalah lumbung padi indonesia.
karena kesuburan pulai bali yang selalu surplus pangan, maka sebelum trikora banyak tentara dari provinsi2 lain
yang dilatih di bali, untuk persiapan pembebasan irian barat. dahulu petani bali bercocok tanam dengan cara natural dan ökologis. sawah penuh dengan ikan, kakul dan lindung. parit2 irigagasi penuh dengan betok dan lele, membuktikan natur pulau bali yang masih sehat
tak tercemar. benih padi selalu dari sawah sendiri dan jenisnya ber-macam2, hasil beras dan rasa nasinya juga beraneka ragam.
semoga bali, secara tidak langsung, jangan dikuasai oleh mosanto atau popharn.
petani2 di india makin lama makin bertambah miskin, sebab hasil mereka habis untuk membeli pupuk kimia, pesticida dan benih2 yang diproduksi oleh mosanto amerika.
perusahaan raksasa barat selalu pandai ber-pura2, mereka ingin mencari untung semaximal mungkin, tetapi selalu berkedok untuk menyejahterakan rakyat jelata di asia-afrika- dan amerika latin. lacurnya pemerintah yang korup dengan senang hati berkolaborasi bersama mereka untuk menghisap rakyatnya sendiri.
pertanian organik bukan hanya soal mengganti pupuk kimia sintetis menjadi pupuk organik dan mengganti pestisida kimia sintetis menjadi pestisida organik, tapi sangat erat berkaitan dengan cara pandang atau yang sifatnya paradigmatik, misalnya seperti ini http://ketutsutawijaya.wordpress.com/2007/03/16/9/
untuk Dwi Purnamadi, lebih baik anda membuat sendiri pupuk organik tersebut. yang perlu anda cari adalah pengetahuan tentang cara membuatnya. jangan mencari produknya. karena mencari pengetahuannya lebih berguna dibanding membeli produknya.
😀
Om Swastiastu Bapak Alit Artha wiguna,
saya dari dallas sangat salut dengan penemuan bapak yg sangat mengagumkan,dan ini juga termasuk menyelamatkan bumi dari bahan2 kimia dan pencemaran lingkungan.Tanpa kita sadari kita sendiri yg menciptakan berbagai penyakit krn banyaknya bahan kimia yg digunakan sebagai pupuk……
Menurut saya, negeri kita ini perlu menghargai petani dengan cara pandang baru. hargai mereka setinggi-tingginya. dan mereka akan merasa dihargai. Membayar mereka dengan harga yang pantas dan bila perlu membayar mereka dengan harga yang lebih tinggi. teori di kepala sudah terlalu banyak, meluap meluap, dan hanya satu yang bisa membuat teori menjadi sebuah energi, yaitu kerja nyata untuk mendapatkan hasil nyata. terlalu banyak teori membuat energi habis terbuang percuma dan sia sia, membuatnya menjadi hasil nyata membuatnya bisa dimakan bisa dirasakan.
TEORINYA : ternakkan sapi, ambil kotorannya, diamkan untuk difermentasi, biarkan sampai sekitar satu bulan, tunggu hingga menjadi pupuk.. mudah sekali..
KENYATAANYA : coba saja lakukan..
hargai para penyapu jalanan, hargai para pemulung, coba saja pemerintah mau membeli sampah-sampah di tanah ini, DIJAMIN tidak akan ada lagi papan-papan bertuliskan DILARANG BUANG SAMPAH SEMBARANGAN, BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA, DILARANG BUANG SAMPAH KE SUNGAI, dll, dsb, dst.. dan selalu saja seperti itu, TEORINYA : beli saja sampah di negeri ini, buatkan pabrik untuk mengolah sampah plastik menjadi bata seperti di belanda, buatkan pabrik pengolahan sampah logam seperti di Jepang, buatkan pengolahan sampah daun-daun kering untuk diolah menjadi kompos, dan bagikan itu untuk para petani kita tercinta.. itu teorinya.. dan KENYATAANNYA : aku lebih baik membeli Hp baru daripada menggunakan uangku untuk hal seperti itu, aku lebih baik beli laptop baru, aku lebih baik beli nasi babi guling, aku lebih baik menyekolahkan anakku supaya bisa jadi dokter, aku lebih baik membeli buku untuk melanjutkan teoriku diatas.. dsb dst dll…
saya ingin bertanya…kalu kotoran babi bisa gak d jadikan pupuk untuk pada????kalu tidak akibatnya apa bila dberikan pada padi….
trima kasih…..