Sesuatu yang menarik bisa bikin penontonnya betah duduk manis menyimak.
Tayangan televisi, contohnya. Dari sekian jumlah stasiun televisi, bisa dipetakan genre umum tayangannya; berita harian, hiburan, pelesiran, kuliner, budaya, dan pendidikan. Oya, bahkan drama-dramaan juga banyak peminatnya. Konten acara televisi kadang bisa disegani atau sebaliknya, disinisi.
Pertanyaannya kemudian, seberapa banyak tayangan yang kita konsumsi di TV tersebut sesuai dengan kebutuhan permirsa lokal. Sebab, selama ini tayangan stasiun-stasiun penyiaran besar yang dominan disiarkan hingga ke daerah-daerah. Namun, menurut Undang-undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 hal itu ternyata tidak bisa direlai begitu saja ke daerah-daerah. Stasiun besar di Jakarta harus membuat stasiun baru di daerah mana dia akan merelai siaran tersebut.
Proses pendirian stasiun baru ini pun harus melibatkan masyarakat lokal. Salah satunya melalui Evaluasi Dengar Pendapat (EDP). Proses ini melibatkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah, pemohon, serta perwakilan masyarakat setempat.
Pekan lalu, saya mengikuti EDP antara KPID Bali dengan pemohon dari Kelmpok Media Nusantara Citra (MNC), pemilik stasiun MNC TV, Global TV, dan RCTI. Mereka akan mendirikan stasiun baru di Bali melalui bendera PT RCTI 7, PT TPI 11 dan PT Global TV 10. Semua stasiun itu akan masuk dalam satu Sistem Stasiun Jaringan (SSJ).
Meskipun sudah dicetuskan dan disahkan sejak 2009, SSJ ini sesuatu yang baru bagi saya. SSJ ini, sederhananya, dalam hal sistem penayangan mirip TVRI. Ketiga pemohon di atas, yaitu PT RCTI 7, PT TPI 11 dan PT Global TV 10 adalah tiga televisi afiliasi dari MNC Group.
“Stasiun afiliasi bisa memproduksi acara sendiri-sendiri, tapi daya jangkau siarannya terbatas di Bali,” kata Sri Harta Mimba.
SSJ ini, menurut Sri, sesuai amanah UU Penyiaran No 32 Tahun 2002. Setelah amanah ini dilaksanakan sepenuhnya, TVRI akan jadi satu-satunya lembaga penyiaran televisi publik di Indonesia. Hanya TVRI yang bisa bersiaran secara nasional ke seluruh Indonesia.
Nantinya tidak ada lagi stasiun TV swasta nasional yang bisa langsung menjangkau seluruh Indonesia. Mereka harus lewat stasiun afiliasinya. Kondisinya tidak akan lagi sama seperti saat ini di mana mereka bisa menjangkau seluruh Indonesia tanpa peduli muatan lokal dalam siarannya.
Induk
Penjabaran mengenai SSJ ini diputuskan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 43 Tahun 2009. Lingkup lembaga penyiaran swasta merupakan stasiun penyiaran lokal. Untuk menjangkau wilayah yang lebih luas, lembaga penyiaran swasta dapat membentuk sistem stasiun jaringan.
Dalam pelaksanaannya stasiun penyiaran lokal (termasuk dalam lingkup lembaga penyiaran swasta) salah satunya bisa membentuk stasiun penyiaran lokal berjaringan; terdiri dari stasiun induk dan stasiun anggota.
Selanjutnya, stasiun induk yang berkedudukan di ibukota provinsi akan menjadi koordinator. Sedangkan stasiun anggota yang tergabung dalam suatu sistem stasiun jaringan akan merelai siaran pada waktu-waktu tertentu dari stasiun induk.
Untuk teknisnya, stasiun anggota dibatasi hanya boleh merelai maksimal 90 persen program siaran dari stasiun induk dari seluruh waktu siaran per hari. Program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan dengan durasi minimal 10 persen dari seluruh waktu siaran per hari.
Waktu penyiaran program siarannya pun wajib ditayangkan antara pukul 19.00 wita sampai 22.00 wita. Itu pun mesti diwajibkan untuk secara bertahap meningkatkan durasinya hingga 50 persen.
Karenanya, konten lokal meliputi agama, seni budaya, bahasa, ekonomi, pariwisata, politik, hukum dan pemerintahan akan mewarnai program siaran stasiun anggota.
“Pengaplikasian SSJ adalah penerapan desentralisasi dalam penyiaran,” kata Sri Harta Mimba.
Melalui SSJ ini, semoga, wajah TV tidak akan lagi didominasi tayangan-tayangan dari Jakarta yang seringkali tak nyambung dengan situasi di daerah di mana siaran tersebut ditonton warga.
Remote Control
Tiga Pemohon SSJ tersebut telah mengajukan permohonannya di Bali per Desember 2009. Bila telah ada kesepakatan dan permohonan tersebut lolos, maka “wajah Bali” akan semakin sering ditayangkan di tiga stasiun tersebut.
Presentasi rencana program siaran dari para pemohon tersebut kebanyakan bermain di ide-ide soal seni dan budaya Bali. Seperti acara pelesiran atau mengunjungi tempat-tempat wisata dan budaya di Bali.
Juru bicara perwakilan dari Global TV bahkan menjanjikan akan mengekspos isu-isu yang kontroversial; macam sampah, kemacetan bahkan bentrok di Bangli sempat disinggungnya, bisa menjadi isi tayangan mereka.
Dalam acara Evaluasi dan Dengar Pendapat tempo hari itu, hadir empat panelis. Mereka Nyoman Dharma Putra (dosen Unud), Raka Santeri (Persatuan Hindu Dharma Indonesia), Ketut Sumarta (Majelis Utama Desa Pekraman), dan Nengah Dawan Arya (Kabid Komunikasi Dishub Infokom Prov. Bali).
Masing-masing memberikan pertanyaan tentang kemungkinan teknis serta saran yang antisipatif.
Perwakilan MUDP, Ketut Sutama misalnya menyarankan agar dalam memproduksi tayangan, hati-hati dengan simbol dan penyebutan istilah atau kepekaan rasa bahasa.
Ia juga sempat menanyakan, “wajah Bali yang seperti apa yang akan ditayangkan, konstruktif atau destruktif? Dan nilai apa yang mau diberikan,” tanyanya.
Tayangan di televisi kini memang beragam. Banyak pilihan untuk dipilih. Publik kini memang dibikin berhati-hati dengan tayangan-tayangan di televisi. Efek psikologis salah satunya adalah yang kerap diwaspadai. Terutama yang cenderung bisa diimitasi sebagai sebuah bentuk perilaku yang bisa menganggu secara sosial.
Tetapi itu bisa dicegah. Seperti kata Ketut Sutama, daya tangkalnya ada pada remote control di tangan penonton. Ke mana saja ia bisa menjatuhkan pilihannya. [b]
Foto diambil dari blog ini.