Bali memiliki sistem pemerintahan tradisional yang sudah diwariskan secara turun temurun. Terdapat dua sistem pemerintahan desa, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat dan desa dinas memiliki perbedaan dalam hal tugas dan kewenangan. Desa dinas memiliki kewenangan di bidang pemerintahan secara administratif, sedangkan desa adat lebih kepada aspek spiritual keagamaan yang menjadi dasar bagi pola hubungan dan interaksi sosial di Bali.
Sistem tata kelola pemerintahan desa menjadi bahan diskusi dalam reses Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ni Luh Djelantik pada 8 November 2024. Diskusi ini dihadiri oleh beberapa organisasi masyarakat di Bali dan beberapa yayasan yang mendampingi desa-desa di Bali.
Dalam latar belakang acara disampaikan bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengubah paradigma pembangunan desa. Paradigma lama menempatkan desa sebagai objek pembangunan, sedangkan paradigma baru menempatkan desa sebagai subjek pembangunan partisipatif.
Berdasarkan paradigma baru tersebut, terdapat beberapa topik yang dibahas dalam sesi diskusi dan penyampaian aspirasi, yaitu partisipasi anak muda dalam pemerintahan desa, keterlibatan difabel, serta keterlibatan perempuan dalam tata kelola pemerintahan desa. Kami merangkum beberapa isu dan keresahan yang disampaikan oleh organisasi masyarakat dan yayasan dalam diskusi tersebut.
Anak muda sebagai aksesoris desa
Masyarakat Bali mengenal Sekaa Teruna Teruni (STT) sebagai forum bagi anak muda dalam berkegiatan sosial, berkreasi, dan berinovasi. Namun, salah satu peserta forum yang juga menjadi bagian dari organisasi Kisara (Kita Sayang Remaja) menyebutkan bahwa keterlibatan anak muda di desa hanya sebagai perhiasan.
“Dalam artian dia duduk dilibatkan dalam musyawarah, dilibatkan juga dalam rapat-rapat penting, tapi hanya sebatas mengisi absen sudah pulang. Atau ketika misalnya dia berbicara dipersilakan, tapi tidak menjadi satu masukan yang berarti atau didengarkan,” ujar Doni dalam sesi diskusi. Ia menambahkan bahwa pemerintahan desa menganggap partisipasi anak muda tidak penting, padahal itu merupakan kebutuhan dari anak muda itu sendiri.
Keresahan yang dialami Doni juga dirasakan oleh Andi dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Bali. Ia melihat bahwa Bali belum memiliki regulasi yang mengatur tentang kepemudaan. “Memang dianggap anak muda memiliki kontribusi cukup besar untuk perubahan dinamika sosial atau perubahan kebijakan, tetapi wadah dalam hal regulasi masih belum ada di Bali,” ungkap Andi.
Sementara itu, beberapa provinsi di Indonesia telah memiliki Perda tentang kepemudaan, seperti di Jawa Tengah yang memiliki Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pembangunan dan Pengembangan Kepemudaan. Selain Jawa Tengah, Kalimantan Timur dan DKI Jakarta juga memiliki perda tentang kepemudaan.
Partisipasi perempuan hanya soal kebaya
Perempuan dalam organisasi desa biasanya aktif di forum PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga). Sayangnya, seperti halnya keterlibatan pemuda, perempuan juga kurang dilibatkan dalam tata kelola pemerintahan desa. Ini diungkapkan oleh Alfa dari Yayasan Maha Boga Marga yang mendampingi beberapa desa di Bali.
Ia menekankan partisipasi perempuan dalam musrenbangdes (musyawarah perencanaan pembangunan desa) seharusnya tidak hanya sekadar partisipasi. “Harusnya sudah mengambil suatu keputusan atau suatu ide. Kebanyakan kalau misalnya rapat desa apa masukan ibu-ibu, kebaya pasti kan,” ungkap Alfa.
Berdasarkan data BPS Bali tahun 2023, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) di Bali mencapai angka 73,77. Angka ini menunjukkan tingkat keterlibatan wanita dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik dan ekonomi. IGD Bali secara keseluruhan masih di bawah rata-rata IDG nasional dengan angka 76,90. Dapat disimpulkan bahwa keterlibatan perempuan di Bali masih rendah.
Pernyataan Alfa disetujui oleh Ani dari Lembaga Bali Sruti, salah satu lembaga pemberdayaan perempuan dan anak di Bali. Menjawab rendahnya partisipasi perempuan, Lembaga Bali Sruti membentuk sekolah perempuan sebagai wadah pemberdayaan perempuan.
“Tujuan sekolah perempuan memang mereka harus berani berbicara, mereka juga harus partisipatif. Memang kelihatan sekali, tapi dalam waktu lama, dalam waktu satu tahun baru kelihatan,” imbuh Ani. Sekolah perempuan ini ditujukan agar dapat perempuan dapat berpartisipasi di desa dalam bidang administrasi desa, sehingga suara perempuan tidak lagi dikesampingkan.
Keterlibatan difabel sangat kecil
Desa Bengkala di Buleleng dan Desa Pempatan di Karangasem merupakan dua dari ratusan desa di Bali yang dikenal sebagai desa iklusi. Desa inklusi adalah suatu pemerintahan desa yang mengakomodasi hak semua orang, termasuk penyandang disabilitas.
Keterlibatan difabel dalam partisipasi dan pengambilan keputusan di desa menjadi sangat penting karena mereka juga memiliki hak. Namun, Made Gunung, salah satu perwakilan Yayasan Puspadi mengaku bahwa keterlibatan penyandang disabilitas masih sangat kecil.
Bahkan, di desa inklusi pun belum mampu melibatkan semua kelompok difabel. “Di desa inklusi ini mereka menyampaikan sudah dilibatkan. Namun, yang hadir itu sangat pasif. Justru desa yang memutuskan ini akan dibuat untuk peningkatan teman-teman disabilitas,” ungkap Made Gunung.
Dalam forum diskusi turut hadir Leni, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia di Provinsi Bali. Ia menjelaskan bahwa di desanya sendiri tidak pernah melibatkan perempuan difabel. “Kenapa tidak mau melibatkan disabilitas di dalamnya, riweh (ribet), tapi pemerintahnya udah ngomong keren, inklusi-inklusi,” ungkap Leni.
Bukan hanya keterlibatan, bantuan difabel pun tidak tepat sasaran. Contohnya kelian desa yang tidak mendata disabilitas dengan baik, sehingga dana bantuan sosial untuk difabel tidak diterima oleh penyandang disabilitas.
Dari diskusi ini kita dapat melihat bahwa tata kelola pemerintahan desa masih sangat tersentralisasi kepada pemerintah desa itu sendiri. Partisipasi masyarakat, terutama anak muda, perempuan, dan difabel hanya sekadar pelengkap atau aksesori semata.
Apakah Anda memiliki keresahan yang sama seperti yang disampaikan di atas?