Banjar Dinas Serokadan Kaja merupakan salah satu banjar di Desa Abuan, Kecamatan Susut, Bangli dan menjadi tempat tinggal puluhan pekerja kapal pesiar. Lokasinya tidak jauh dari perbatasan Gianyar, sekitar 15 menit dari Kabupaten Gianyar. Apa yang menarik minat anak muda dusun ini menjadi pekerja migran?
Secara geografis, Desa Abuan memiliki lahan yang subur dan sebagian besar dimanfaatkan warga untuk kegiatan pertanian. Data terakhir dari Badan Pusat Statistik Bali menunjukkan Desa Abuan memiliki luas wilayah 4,18 km2 yang sebagian besar wilayahnya dimanfaatkan untuk pertanian, yaitu sebesar 169,06 ha.
Demografi Desa Abuan
Dilansir dari laman resmi Desa Abuan, secara demografi masyarakat Desa Abuan sebagian besar bekerja sebagai petani atau pekebun, yaitu sebanyak 1609 jiwa. Sementara itu, jumlah penduduk Desa Abuan adalah 7.490 jiwa. Penduduk Desa Abuan juga banyak bekerja sebagai karyawan swasta, yaitu sebanyak 848 jiwa. Karyawan swasta yang dimaksud adalah seseorang yang bekerja untuk perusahaan atau organisasi.
Industri pariwisata dan pekerja migran merupakan pekerjaan yang populer di Desa Abuan, terutama di Banjar Dinas Serokadan Kaja. Wayan Adipta, Kepala Dusun Banjar Dinas Serokadan Kaja, mengungkapkan saat ini terdapat 62 warga Banjar Dinas Serokadan Kaja yang bekerja di kapal pesiar. Jika digabungkan dengan banjar lainnya di Desa Abuan, terdapat lebih dari 180 orang yang bekerja di kapal pesiar.
Pekerja migran mendorong usaha pendukung lain seperti koperasi simpan pinjam untuk membantu modal finansial saat study atau berangkat ke luar negeri.
Data terakhir menunjukkan Bali memiliki 2.665.420 penduduk usia kerja. Dari jumlah tersebut, 9.360 di antaranya bekerja sebagai pekerja migran. Dilansir dari data penempatan pekerja migran BP2MI, Bali menempati posisi ketujuh sebagai provinsi yang paling banyak mengirimkan pekerja migran. Buleleng merupakan kabupaten terbanyak yang mengirimkan pekerja migran, yaitu sebanyak 2.381 jiwa, diikuti oleh Karangasem, Gianyar, Tabanan, dan Bangli.
Tren bekerja di kapal pesiar
Di Desa Abuan sendiri, tren bekerja ke kapal pesiar atau bekerja sebagai pekerja migran terjadi pada akhir tahun 90-an. “Kalau yang tiang (saya) denger, yang pertamanya cuma berangkat 4 orang. Sekarang 4 orang itu, 1 udah pensiun, yang lainnya masih aktif. Yang tiang (saya) tahu sekitar tahun 1997 berangkatnya. Sampai sekarang masih aktif. Bahkan dia udah dapat pensiun di sana, mungkin ngelamar lagi. 4 orang sih pertamanya,” jelas Wayan Adipta.
Dari kisah yang disampaikan Adipta, sekitar tahun 1997 terdapat empat orang di Desa Abuan yang berangkat ke kapal pesiar. Masyarakat di sana kemudian melihat peluang bekerja di kapal pesiar amat menjanjikan. Hingga saat ini tren bekerja di kapal pesiar masih terus berlanjut karena dianggap dapat meningkatkan ekonomi keluarga.
Yoga Wikrama merupakan salah satu pekerja kapal pesiar dari Banjar Dinas Serokadan Kaja. Ia sebelumnya pernah bekerja di salah satu hotel di Nusa Dua. Uang yang didapatkannya dari hotel tersebut memang terbilang cukup untuk kehidupan sehari-hari. “Kerja di Bali itu istilahnya cukup. Tujuan ke kapal itu untuk masa depan karena gajinya lumayan di sana, kita bisa nge-keep gaji kita di sana untuk ngirim uang. Jadi kehidupan di sana itu semua gratis dari perusahaan,” ujar Yoga ketika ditemui langsung di rumahnya.
Selama delapan tahun bekerja di atas laut, ia sudah berulang kali bertemu dengan rekan kerja yang juga berasal dari Desa Abuan. Hal ini terjadi karena saking banyaknya penduduk Desa Abuan yang bekerja di kapal pesiar, sehingga mereka masih sering bertemu satu sama lain.
“Pasti kangen. Makanya tiang (saya) sering kalau istirahat itu sering nelepon anak, nyempetin waktu buat anak karena itulah penyemangat kerja di sana,” ungkap Yoga ketika ditanya hubungan dengan anaknya ketika bekerja di kapal pesiar. Bukan hanya Yoga yang kerja di kapal pesiar, istrinya pun merupakan pekerja kapal pesiar. Ketika ditanya siapa yang mengasuh anaknya saat mereka berangkat, Yoga dengan tersenyum menjawab, “pekak ajak niangne (kakek dan neneknya).”
Industri pariwisata yang kian naik daun
Selain pekerja migran, industri pariwisata juga menjadi sektor pekerjaan yang populer di Bali. Dilansir dari BPS Bali, hampir 400 ribu penduduk Bali yang bekerja di sektor penyediaan akomodasi dan makan minum. Hal ini tentu tidak terlepas dari perkembangan industri pariwisata di Bali dengan pertumbuhan jumlah hotel, vila, restoran, dan akomodasi pariwisata lainnya.
Salah satu pekerja industri pariwisata, sebut saja Komang, mengungkapkan bahwa pariwisata merupakan lahan basah untuk mendapatkan uang. “Easy money untuk get money in the tourism industry gitu karena di Bali ini kan sektor utamanya pariwisata. Jadi memang kesempatan untuk bekerja mencari uang itu pasti secara langsung maupun tidak langsung itu berkaitan sama bidang pariwisata,” imbuh Komang.
Komang merupakan daily worker yang saat ini masih menempuh semester tujuh di salah satu perguruan tinggi pariwisata di Bali. Meski masih berstatus mahasiswa, ia sudah banyak memiliki pengalaman kerja sebagai daily worker. Bekerja di bidang pariwisata awalnya tidak termasuk dalam rencana karirnya. Namun, pergolakan ekonomi pasca Covid-19 membuatnya melepas cita-citanya.
“Situasi dan kondisi waktu itu perekonomian saya lagi nggak bagus karena ada dampak corona. Jadi itu mempengaruhi rencana saya. Karena waktu itu chance-nya di Bali mostly ke pariwisata, akhirnya saya memilih untuk bekerja di bidang pariwisata,” ungkap Komang.
Mengurangi aktivitas sosial dan keagamaan
Masyarakat Bali mengenal istilah ngayah dalam berkehidupan sosial. Secara konsep, istilah ngayah dapat dikatakan mirip dengan relawan karena sifatnya yang sukarela tanpa mengharapkan imbalan. Ngayah merupakan sebuah kewajiban sosial yang biasanya dilakukan dengan gotong royong di banjar atau di Pura.
Kewajiban ngayah biasanya dibebankan kepada kepala keluarga di rumah atau anaknya sebagai pengganti. Selain ngayah, ada pula kelompok Sekaa Teruna Teruni (STT), yaitu kelompok yang wajib diikuti oleh remaja di suatu banjar.
Kehidupan sosial masyarakat Bali sebagian besar masih komunal, terutama dalam hal gotong royong mengerjakan ritual dan adat. Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi pekerja di sektor pariwisata dan pekerja migran. Pekerja migran tidak bisa pulang setiap waktu dan sesuka hati. Biasanya mereka hanya pulang enam atau tujuh bulan sekali dengan waktu libur dua atau tiga bulan. Begitu pula dengan pekerja industri pariwisata yang waktu kerjanya tidak menentu.
Beberapa waktu lalu BaleBengong mengunjungi Desa Sukadana, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem untuk melaksanakan Kelas Jurnalisme Warga (KJW). Salah satu peserta mengungkapkan susahnya mencari peserta untuk KJW saat itu. Hal tersebut disebabkan karena sedikitnya anak muda yang menetap di desa. Kebanyakan anak muda merantau ke Denpasar atau Badung untuk sekolah pariwisata dan bekerja di industri pariwisata.
Hal ini juga terjadi di Banjar Dinas Serokadan Kaja. Saat ini sebagian besar yang mengisi posisi dan aktif di STT adalah anak-anak SMP dan SMA. “Artinya kesadaran lah niki, SMP dan SMA-nya nike lah yang banyak mendukung kegiatan,” ungkap Wayan Adipta ketika ditanya yang aktif di STT dan ngayah di Pura.
Dilema memilih antara prioritas pekerjaan dan kehidupan sosial juga diungkapkan oleh Komang. “Biasanya harus plan jauh-jauh hari. Jadi ketika kita dapat undangan untuk menghadiri pernikahan atau ngayah atau gimana atau segala kumpul sama teman,” ungkap Komang.
Sebagian besar masyarakat Bali, terutama yang masih usia muda memilih untuk bekerja di industri pariwisata. Bagi yang merantau ke luar daerah, seperti penduduk Karangasem yang bekerja di Denpasar, memiliki dilema tersendiri dalam menjalankan kewajiban sosial. Berkembangnya tren pekerja pariwisata dan pekerja migran berimplikasi pada menipisnya petani atau pekebun muda di Bali.
“Petani di sini kebanyakan yang tua-tua. Yang muda paling ada satu atau dua, nggak banyak,” pungkas Wayan Adipta. Selain pertanian atau perkebunan, usaha lain pun kian tergeser oleh pariwisata.
Apa yang terjadi pada Bali ketika jumlah pekerja migran terus meningkat?