Banyak kegiatan keagamaan umat Hindu di Bali yang tidak lepas dari jalan kaki, seperti ngiring, melasti, mepeed, meleladan, hingga pengerupukan. Secara adat dan budaya, masyarakat Bali sangat dekat dengan aktivitas jalan kaki, tetapi tidak dengan kesehariannya.
Mobilitas sehari-hari masyarakat Bali lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi, bahkan ketika menempuh tempat yang jaraknya dekat. Orang-orang malah kasihan atau tidak terbiasa melihat orang yang jalan kaki. “Kok jalan kaki? Kok nggak naik motor?” pertanyaan itu yang mereka lontarkan ketika melihat tetangga, teman, atau keluarganya yang memilih untuk jalan kaki.
Kondisi ironis ini yang membuat Barda Gemilang berusaha untuk menyebarkan narasi tentang jalan kaki di Bali. Narasi ini ia sebarkan melalui sebuah kegiatan bernama ‘Mendadak Nomad’. Kegiatan tersebut diadopsi dari ‘Berdiri Sedjak’ di Jakarta yang diinisiasi oleh Yayasan Rame-Rame Jakarta.
Mendadak Nomad merupakan upaya mengenalkan narasi kota dari sudut pandang manusia. Ketika kita mengendarai motor, tentu pemandangan dan detail-detail sekitar akan terlewatkan. Hal inilah yang berusaha dikenalkan oleh Barda, sehingga orang-orang akan lebih peka dan mengenal lingkungan sekitarnya ketika jalan kaki. “Secara garis besar prinsipnya mengenalkan narasi arsitektur kota dan narasi kota dalam perspektif dan skala manusia,” ungkap Barda ketika diwawancarai pada 29 Oktober 2024.
Hingga Oktober ini, Mendadak Nomad telah dilaksanakan sebanyak empat kali, yaitu satu kali di Canggu dan tiga kali di Denpasar. Dari kedua daerah ini, Barda mengungkapkan bahwa peserta mengalami kondisi yang berbeda, baik dari segi medan jalan, kondisi lingkungannya, hingga kenyamanan ruang.
Ironi tata ruang Canggu
Seperti yang kita tahu, Canggu saat ini sesak dengan manusia dan bangunan. Wisatawan datang dari berbagai negara dan bangunan penunjang pariwisata pun ada di setiap sudut Canggu. Ironinya, sesaknya Canggu tidak dibarengi dengan infrastruktur yang memadai, terutama infrastruktur trotoar untuk pejalan kaki. Pada saat itu, Barda dan teman-teman berjalan dari Jalan Raya Canggu sampai Pantai Nelayan. “Bisa dibilang tuh kalau dari teman-teman yang ikut tuh sangat nggak karuan,” ungkap Barda ketika menjelaskan kondisi pembangunan infrastruktur di Canggu.
Ketika berjalan di Canggu, mereka merasa ruas jalur yang dapat dilewati secara aman terlalu sempit dan sedikit. Selain itu, banyak area yang tercampur dengan kendaraan bermotor, sehingga cukup berisiko untuk dilintasi pejalan kaki. “Harusnya infrastruktur itu disediakan untuk orang dulu, baru kendaraan dan bangunan. Ini bangunan dan kendaraan dulu, baru orangnya. Ini nggak terlalu dipikirin gitu akses bernavigasinya,” imbuhnya.
Saat itu ia juga melewati Canggu Shortcut yang sering viral karena padatnya kendaraan yang datang dari dua arah. Daerah ini memang dikenal dengan perubahannya yang drastis. Pada tahun 2018, di kanan dan kiri Canggu Shortcut masih hijau dengan area sawah, tetapi saat ini sudah dipadati bangunan dan kendaraan yang melintas.
Hal ini sangat disayangkan oleh Barda karena jalan yang semulanya menjadi akses petani untuk melintas, kini berubah fungsi menjadi jalan untuk kendaraan. “Menurutku kok nggak adil ya karena tadinya itu untuk manusia, akhirnya beralih jadi dipakai untuk kendaraan,” ujar Barda.
Jalanan kota yang layak untuk manusia
Dilansir dari Global Designing Cities Initiative, konsep jalan sering kali disalahartikan. Masyarakat awam menganggap jalanan berfungsi sebagai lalu lintas kendaraan. Nyatanya, jalan merupakan ruang multidimensi yang berfungsi sebagai ruang gerak dan ruang untuk menjalankan berbagai aktivitas. Bukan hanya menyediakan jalur pedestrian, jalan yang layak juga memperhatikan aktivitas masyarakat lainnya, seperti tempat berjualan, tempat duduk, hingga tempat berteduh.
Trotoar memiliki kecenderungan untuk diisi karena ada kenyamanan dan aktivasi kegiatan manusia. Kita bisa melihat di trotoar seringkali terdapat kegiatan jual beli, seperti gerobak atau pedagang asongan. Meskipun diusir, mereka akan tetap muncul karena terdapat potensi berjualan di sana. “Karena trotoar ruang publik, mestinya ada instrumen untuk memanfaatkan secara bergantian, mesti sharing gitu ya. Jadi nggak terlalu fokus tentang manusia doang yang lewat, tapi aspek-aspek lain, misalnya apakah mungkin untuk pedagang lewat, untuk skateboard, atau sekadar istirahat,” jelas Barda.
Coba perhatikan gambar di atas. Desain trotoar tersebut dibagi menjadi empat zona, frontage zone (1), pedestrian (2), street furniture zone (3), dan buffer zone (4). Zona-zona tersebut dibagi berdasarkan fungsinya. Zona 1 memberikan ruang antara bangunan yang menghadap jalan dengan trotoar, sehingga aktivitas di trotoar tidak terganggu dengan aktivitas di bangunan. Kemudian, zona 2 merupakan zona bersih untuk pejalan kaki. Sementara itu, zona 3 diisi dengan furnitur seperti lampu penerangan jalan, tanaman, tempat parkir sepeda, atau bangku. Terakhir, zona 4 merupakan zona yang bersebelahan dengan jalur kendaraan yang dapat digunakan sebagai jalur sepeda atau tempat parkir kendaraan.
Salah satu jalan dengan akses yang layak di Bali adalah Jalan Gajah Mada. Mendadak Nomad pun sempat melakukan kegiatan dengan rute Lapangan Puputan – Jalan Veteran – Jalan Gajah Mada. Meskipun lebih mending dibandingkan Canggu, tidak dapat dipungkiri masih terdapat ketidaknyamanan ketika jalan kaki di tiga area tersebut. Barda mengungkapkan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh Mendadak Nomad, yaitu tidak ada ruang antara bangunan dan trotoar, material proyek yang menghalangi jalan kaki, hingga tidak ada space khusus untuk pohon.
Sayangnya, sangat sedikit jalan di Bali dengan akses trotoar yang layak. Bahkan, desain trotoar seperti gambar di atas tidak bisa kita temukan di Bali. Namun, tidak ada ruginya jika kamu ingin mencoba jalan kaki di Bali. Kamu bisa berjalan di Jalan Gajah Mada, Jalan Veteran, dan Pasar Ubud.