
Coretan ini dibuat setelah berjalan-jalan di TPA Suwung.
Masyarakat Bali kini sedang menghadapi perang besar. Satu kubu dimotori anak-anak muda dan barisan seniman sementara kubu lain dimodali pemodal besar. Perang ini dimulai dengan perang intelektual.
Perang kajian. Para pakar beradu data dan analisis. Hasilnya dipaksakan seri!!
Lalu perang spanduk dan baliho. Setiap presiden akan lewat spanduk dan baliho tolak reklamasi lenyap. Sementara spanduk dukung revitalisasi (nama baru reklamasi) tetap berdiri atau tertempel santai.
Kalau sebelumnya banyak baliho anti reklamasi robek, kemarin saya lihat salah satu baliho pro reklamasi di pertigaan buton sesetan sudah ada yang merobek.
Rupanya setelah cara-cara yang saru mencoba menghadang gerakan melawan reklamasi, sekarang, seperti ada gerakan untuk membenturkan massa anti reklamasi dengan pasukan yang mendukung reklamasi.
Jadi, mari waspada!!!! Jangan sampai kita menjadi sapi-sapi di tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung.
Adanya rencana reklamasi Teluk Benoa adalah imbas keserakahan pariwisata tak berkonsep di Bali ini. Go green slogannya tetapi faktanya mangrove dibabat, jalur hijau menghilang. Pariwisata berbasis pertanian organik dikampanyekan sementara izin kaveling tanah diobral, saluran subak diurug beton!
Katanya pariwisata budaya tetapi yang tumbuh dan berkembang adalah tari telanjang, kafe remang-remang!
Kalau kita tidak mulai berbenah sekarang maka tidak lama lagi kita semua akan berakhir seperti sapi-sapi di TPA Suwung. Hidup di atas tumpukan sampah, mencari makan di sampah. Berjalan di atas rerumputan adalah cerita masa lalu.
Memamah rumput dan dedaunan hanya ilusi.
Kelak orang-orang Bali yang tidak berani meninggalkan sanggah kemulan akan hidup di antara sisa-sisa vila yang tidak diperpanjang kontrakannya. Berjalan di antara hotel-hotel tanpa penghuni dan menonton cekikikan cewek-cewek kafe yang menunggu teman berbagi HIV menuju kematian.
Karena tidak ada lagi alam Bali yang bisa dibanggakan, semua telah disulap agar seperti Vanice, seperti Dubai, Seperti Las Vegas, seperti Pattaya… Semua buatan. Bukan lagi natural.
Maka tidak ada lagi touris yang datang. Karena mereka sudah memilikinya sendiri. Kenapa mencari yang sama jauh-jauh?
Maka tinggalah I Wayan, Made dan Nyoman menatapi bekas hotel-hotel mewah, bangkai-bangkai mobil di pinggir jalan dan bangku kayu lapuk berjajar di pinggir pantai. Mereka tidak bisa lagi mengadu ke pura, mereka tidak lagi ingat cara membuat canang karena sekarang ini semua telah berubah.
Semua agama, semua dewa dan semua ritual hanya boleh ada untuk pariwisata. Dan, pembanguanan kalau sudah atas nama pariwisata maka semuanya harus siap, suka-atau tidak, dikorbankan. [b]