Teks Astarini Ditha, Ilustrasi Anton Muhajir
“Wah, kalau sudah ketemu sparing partner yang cocok dua hari bisa main,” ujarnya.
Untuk kali kesekian di sore itu, lawan main Dewa Sukarja adalah Made Sudiana. Selembar papan catur sederhana berada di antara mereka. Pion-pion dijalankan bergantian. Kadang-kadan kuda dijalankan atau peluncur diluncurkan lurus ke depan. “Ayo-ayo pindah-pindah, yang menang ke sini,” dalam Bahasa Bali Made Sudiana, lelaki paruh baya yang tampak diam sedari tadi, lalu berseru.
Kali ini yang dihadapi Dewa Sukarja adalah lelaki berusia 70 tahun. Made Kertiyasa begitu pensiunan pegawai pemerintah Departemen Keuangan ini mengenalkan diri. Dia tampak rapi dengan busana batiknya. Ada empat orang dalam satu kelompok ini dan dua papan catur. Tiap pemenang akan bertemu dengan pemenang lain dalam kelompok ini. “Ini sistemnya bersifat rolling,” jelas Dewa.
“Lihat dan main sama-sama pusingnya, Dik,” celetuk seorang lelaki, Pak Made, di sebelah saya. Baginya menonton orang bermain catur ada keasyikkan sendiri. “Bagi yang main pusing ngatur strategi, yang menonton dongkol liat mainnya karena langkahnya tidak sesuai,” terang Pak Made sambil sekali menghembuskan asap rokok.
Permainan catur ini, sama halnya dengan permainan lain, jelas membutuhkan cara bertaktik jitu untuk mengamankan maupun menjatuhkan sang bidak raja. Perlu kematangan otak untuk mengatur strategi, seperti kata Dewa Sukarja.
Keempat orang ini; Dewa, Kertiyasa, Made dan Buyung berumur antara 59 – 70 tahun. Bagi mereka tampaknya, umur boleh uzur tapi semangat tak boleh tergusur. Sesekali mimik wajah mereka menampakkan ekspresi serius. Lalu keseriusan itu tiba-tiba pecah dibarengi hamburan tawa dan seruan penonton lain. “Adah, pelih ye ngejang pion – Aduh, salah dia menaruh pion,” seru seorang lelaki berbaju putih disahuti penonton lain.
Mereka menertawakan Buyung, lelaki berambut putih yang kerap lupa mengingat langkah yang ingin ditempuhnya. “Ya, pikun-pikun sedikit sudah biasa,” ungkap Made. Keterbatasan mengingat itu tampaknya tak terlalu menyusahkan. “Orang bermain catur ini khan karena sudah terbiasa, sudah lama digeluti,” tambah Made.
Di lingkaran kecil itu selain para pemain, ada juga penonton-penonton lain. Mereka sekadar menonton atau nyuryakin, membikin ramai suasana. Made salah satunya. Ia kerap nongkrong di sana dan berkenan menceritakan tingkah polah para pemain. Di sela-sela permainan ada saja orang menengok.
Catur Raksasa
Dewa Sukarja dan kawan-kawannya rutin bermain di trotoar Jalan Kaliasem sebelah utara alun-alun kota. Sebelumnya mereka bermain di poskamling yang pernah berdiri di depan rumah makan. “Sekarang sudah roboh sama yang punya tanah,” ujar Dewa Sukarja.
Dewa Sukarja yang sudah mengenal catur sejak tahun 1970an termasuk salah satu perintis pemain catur di kawasan alun-alun puputan kota. Dia salah satu saksi sejarah catur di sini. Dari ceritanya, kawasan bermain catur di sana mulai ramai sekitar tahun 1990an. “Kira-kira di tahun 1995,” bebernya.
“Dulu puputan sepi, pedagang cuma ada satu,” tambahnya. Lalu, Made menambahkan, mulai ada orang iseng main di sana. Alasannya agar taman kota tampak ramai. Akhirnya lama kelamaan banyak yang ikut main di trotoar sebelah selatan Jalan Kaliasem di depan pura Jagatnatha yang kini telah jadi area pedestrian.
“Orang main itu dikerubungin, diliatin persis seperti orang lihat metajen, sabun ayam itu,” seloroh Dewa Sukarja.
Lalu di era pemerintahan Walikota Puspayoga di pojok utara diletakkanlah papan catur ukuran raksasa sebagai satu bentuk ikon. “Karena dilihat kegiatannya positif, pemerintah lalu berinisiatif membuat papan catur raksasa,” jelas Dewa. Lantaran mulai banyak yang bermain, lokasi jadi menyebar hingga di Jalan Kaliasem ini.
Bertahan hingga tahun 2011 lokasi ini rutin mereka jadikan tempat bermain catur. Entah kapan awal mula catur masuk ke Bali. Made bahkan menduga catur sudah ada dari zaman kerajaan. “Sudah ada di ceritanya Mahabharata. Si Sekuni waktu main judi dadu. Mirip kan sama itu,” papar Made. Sekuni adalah tokoh yang dinilai licik dalam epos Mahabharata.
Percaturan Trotoar
Bila anda bisa bermain catur sesekali bergabunglah dengan komunitas yang dinamakan Dewa Sukarja, Percaturan trotoar. Dewa Sukarja dulu hendak membuat perhimpunan. “Oh, ini Pak Dewa dulu mantan ketuanya,” seru hampir semua orang di lingkaran itu.
Mereka orang bersahabat. Ketika datang Anda akan disambut. Bisa main catur, ayo main sama saya. Ada di antara mereka yang sengaja datang sepulang kantor untuk mencari kawan bermain catur bersama. Banyak juga yang pensiunan pegawai pemerintah, instansi negara, seperti Kertiyasa dan Dewa Sukarja. “Wah, di sini ada juga pensiunan jenderal main,” seloroh Buyung.
Bermain di sini juga ada kualifikasinya. “Ada kelompoknya, misalnya yang master sama yang master, yang baru greng, yang biasa-biasa” terang Dewa. Master dalam artian mereka masuk kategori top ranking yang telah teruji permainannya. Mereka mencari lawan main yang tingkatannya selevel. “Misalnya anak semester 2 dikasih lawan yang sudah semester 4 khan berbeda level lawan mainnya”, diumpamakan Made.
Kegiatan seperti ini dianggap semacam inisiasi bagi mereka yang menggemari catur. Tak jarang Percasi Kota Denpasar kerap mencari bibit di sini. “Biasanya percasi lagi mencari orang, nanti kita daftarin”, jelas Made.
Dewa Sukarja juga menyarankan bila ingin belajar datang saja kemari. Sembari melihat, bertanya dan langsung coba. Tak lupa juga diterangkan, kalau sudah doyan hati-hati kecanduan. Bisa sampai lupa pulang katanya. “Wah, kalau sudah ketemu sparing partner yang cocok dua hari bisa main,” ujarnya.
Diakui Dewa Sukarja orang-orang kerap bermain hingga subuh keesokan harinya baru berhenti. Bagi mereka yang sudah berkeluarga bahkan bercucu, hobi ini kerap membuatnya dimarahi para istri. Semuanya serempak tertawa ketika diberi pertanyaan; kalau tidak ingat jam pulang, apa tidak dimarahi istri. “Ya, namanya orang menghibur diri,” jelas Made diiyakan yang lain.
Ketika itu permainan terakhir dimenangkan Pak Made Sudiana, penjual papan catur yang tinggal di Padang Sambian. Beberapa permainan dimenangkan olehnya, bergantian menghadapi orang yang seringkali sama dalam satu kelompok itu. Kira-kira pukul 8 malam, mereka mengemasi papar catur masing-masing. Mereka berlalu tanpa memastikan jadwal bermain untuk keesokan hari. Esok atau entah kapan, mereka juga kembali bertemu beradu memainkan bidak catur masing-masing. [b]