Wacana soal masa depan Bali yang suram semakin hari semakin kencang.
Nyaris tak ada upaya serius dilakukan manusia-manusia Bali untuk melakukan pencegahan. Soal kehancuran Bali bukanlah wacana baru karena sejak belasan tahun lalu telah diperbincangkan baik melalui penelitian, seminar, lokakarya, maupun perdebatan di media massa. Bahkan mengenai apa yang harusnya dilakukan untuk mencegah agar Bali tak semakin hancur sudah juga dilontarkan berbagai kalangan.
Anehnya semua solusi dan upaya pencegahan enggan dilakukan manusia-manusia Bali. Meski sadar bahwa kehancuran di depan mata, semuanya tetap melaju bergerak maju menuju kehancurannya. Mungkin tepat menyebut Manusia Bali mengalami sindrom Lemming, sindrom yang berwujud “penghancuran diri sendiri secara sadar”.
Sindrom Lemming pernah ditulis oleh Franz Magnis Suseno, filsuf Indonesia dalam bukunya “Kuasa & Moral” (1986). Lemming adalah hewan pengerat yang memiliki kedekatan marga dengan hamster. Binatang ini hidup di negara-negara skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Finlandia). Lemming dikenal memiliki perilaku sangat unik. Pada kurun waktu terentu secara bersama-sama mereka melakukan migrasi dalam jumlahnya ribuan ekor menuju ke arah lautan.
Dalam perjalannya menuju ke arah lautan, lemming juga menjadi sasaran empuk para predator seperti burung elang. Dengan jumlahnya banyak dan bergerombol, lemming adalah hewan sangat empuk menjadi mangsa para predator. Belum lagi kemungkinan kematian lain yang harus dihadapi yakni terinjak-injak binatang lebih besar seperti banteng yang kebetulan melintas di antara gerombolan lemming.
Di tengah ancaman predator dan hewan besar ini, kawanan lemming terus bergerak menuju lautan. Karena kecil dan tak bisa berenang, setelah tiba di lautan mereka semuanya kemudian tewas ditelan ganasnya lautan. Karena itulah lemming dikenal sebagai hewan yang meski dipastikan akan menuju pada kehancurannya, tetap saja kehancuran itu diterjang.
Sindrom lemming ini sepertinya tepat untuk menggambarkan kondisi manusia-manusia Bali kini. Berbagai persoalan yang membelit akibat berbagai hasrat yang tak terkendali telah menjerumuskan Bali pada kehancurannya yang semakin cepat. Mulai dari kerusakan alam, sampai pada kerusakan struktur budaya dan agama, semuanya terjadi secara massif dan berlangsung dalam waktu semakin singkat.
Alam mengalami kerusakan parah karena banyaknya lahan-lahan penyangga beralih fungsi menjadi pemukiman dan sarana-saran penunjang ekonomi terutama untuk kepentingan industri pariwisata. Kawasan pinggir pantai hingga tebing-tebing sungai di pedalaman dirambah berbagai sarana penunjang pariwisata seperti hotel dan vila. Sawah-sawah subur yang menghasilkan padi, makanan pokok manusia Bali, juga terus dikonversi menjadi lahan-lahan pemukiman.
Selama kurun waktu tahun 2000 hingga 2005 saja tercatat konversi lahan sawah mencapai 4.566 hektar (data DPTPH Bali, 2006).
Lalu lintas di Bali semakin padar akibat sarana transportasi yang semakin meningkat jumlahnya. Maka, dibangunlah jalan raya di atas lahan sawah subur produktif. Dia kemudian pemicu pembangunan ruko dan juga pemukiman. Pembangunan jalan arteri seperti jalan Prof IB. Mantra yang menghubungkan Denpasar-Karangasem jelas akan memicu konversi lahan pertanian yang hebat di masa datang.
Jangan ditanya dampak pembangunan sejumlah jalan di kawasan Kuta Utara dan Denpasar Barat yang merupakan konsekuensi dari pengembangan pariwisata. Ribuan hektar sawah yang selama puluhan tahun menjadi pegangan hidup manusia Bali di kawasan itu telah terkonversi menjadi pusat perniagan dan pemukiman.
Kepentingan-kepentingan ekonomi yang ironisnya ditujukan lebih pada pemenuhan-pemenuhan keinginan-keinginan telah menjadi panglima tanpa tanding bagi perusakan alam Bali. Manusia Bali sudah semakin sulit membedakan mana kebutuhan manakeinginan. Hanya demi memenuhi keinginan, manusia Bali mejerumuskan diri pada kerusakan-kerusakannya.
Hilangnya budaya pertanian, membawa dampak yang cepat atau lambat juga akan berpengaruh pada tatanan adat dan agama. Padahal adat dan agama merupakan roh manusia Bali. Terjadi kerusakan yang semakin hari semakin menggeser makna hakikat budaya pada makna artifisial. Adat tidak lagi membela kepentingan pencapaian kesejahteraan bersama melainkan menjadi sarana untuk semakin memiskinkan manusia Bali yang sudah miskin.
Karena itulah tak mengherankan jika konflik-konflik berbau adat terus saja berlangsung. Konflik ini terjadi dengan berbagai alasan dan dalih yang terkadang sangat tak masuk akal. Misalnya, bagaimana manusia Bali berebut tanah kuburan dan tapal batas desa atau menyita harta seorang pemangku dengan alasan tak ikut urunan. Ironisnya semua konflik dengan alasan penuh kekonyolan ini tak mampu dengan bijak disikapi para pemimpin.
Pada sisi lain, kepentingan-kepentingan politis kekuasaan lebih banyak hanya mengambil keuntungan-keuntungan jangka pendek demi memelihara kekuasaan belaka. Nyaris tak ada pemimpin di Bali yang bisa berpikir jangka panjang, menyiapkan upaya penyelamatan tanah Bali. Pemimpin Bali banyak yang bekerja bussines as usual (bekerja biasa-biasa saja).
Maka, muncullah pemimpin yang berhenti hanya sebagai simbol-simbol formalitas belaka. Tidak ada kebijakan berarti pada ranah-ranah ideologis yang bertujuan bagaimana manusia Bali yang dipimpin mendapatkan hak-haknya. Dengan demikian manusia Bali akan meraih kesejahteraan hidup yang lebih baik.
Menuju Kehancuran
Tidak sedikit pemikiran telah disumbangkan berbagai kalangan untuk menyelamatkan Bali dari masa depannya yang suram. Pendekatan-pendekatan beragam juga tidak pernah berhenti disampaikan melalui wacana-wacana publik. Kalangan akademisi, tokoh masyarakat hingga budayawan yang memiliki kepedulian terhadap masa depan Bali selalu mengumandangkan pemikiran-pemikirannya. Hanya saja memang pemikiran hanyalah akan menjadi sebentuk teori-teori jika tidak pernah diaplikasikan.
Sayangnya penerapan ini sangat tergantung pada kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan politik birokrasi pemerintahan. Ini berarti peran pemimpin sangatlah penting untuk memastikan upaya penyelamatan Bali telah dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa manusia Bali baik sebagai individu maupun kesatuan masyarakat haruslah ikut berperan lebih aktif dalam upaya menyelamatkan Bali. Bahkan peran manusia Bali menjadi sangat strategis karena sistem politik saat ini sudah demikian terbukanya. Selain itu berbagai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi informasi seharusnya cukup memberi pengetahuan yang dapat membangun kesadaran kolektif. Dengan demikian seluruh tatanan kehidupan manusia Bali bisa ditata kembali, direkonstruksi, agar dapat membawa kebaikan bersama.
Percepatan kerusakan Bali memang bergerak secara eksponensial. Dalam jangka waktu semakin singkat, kerusakan-kerusakan berlangsung demikian cepat. Ini berarti kerusakan yang sebelumnya bisa berlangsung dalam waktu puluhan tahun, di masa datang akan terjadi dalam jangka waktu hanya beberapa tahun. Misalnya, konversi lahan pertanian pada era sebelum 1990 berlangsung cukup lambat. Namun, sejak pertengahan 1990an hingga kini berlangsung sangat cepat.
Lihat saja bagaimana kawasan di Bali Selatan yang kini semakin penuh sesak. Sudah semakin sulit menemukan hamparan persawahan, karena semuanya telah berubah menjadi lahan-lahan pemukiman dan jalan-jalan raya.
Perubahan-perubahan cepat juga akan terjadi pada tatanan nilai-nilai adat dan budaya. Jika tidak disikapi dengan bijak, perubahan ini justru membawa kepada kerugian besar. Memang perubahan tatanan nilai adat dan budaya sesungguhnya bukanlah sesuatu yang ditabukan. Bahkan perubahan adalah sebuah keniscayaan. Hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana perubahan-perubahan itu membawa manusia Bali pada kehidupan lebih baik. Bukan pada kehancuran-kehancurannya yang semakin dalam.
Sikap tidak bijak dari manusia Bali dan pemimpin-pemimpinnya, akan mendorong manusia Bali pada kehancuran dan kematiannya. Seperti hewan pengerat lemming, yang terus melaju, menuju kelautan untuk kemudian tenggelam dalam ganasnya lautan.
Jangan sampai manusia Bali mengalami sindrom lemming, meski sadar menuju ke arah kehancuran, tapi tak melakukan upaya apapun untuk mencegahnya. [b]
buah simalakama kayakne bli. di daerah saya, ga ada yang mau jadi petani karena mereka melihat pertanian sebagai pekerjaan kasar yang tidak menghasilkan banyak uang. tapi disisi lain, pekerjaan juga semakin berat untuk dicari. akhirnya kebanyakan mengambil jalan pintas dengan menjual sawahnya …
yaahh.. sepertinya memang begitu.. manusia bali sebenarnya sadar akan masa depan bali yang suram. tetapi harus dicari akar-akar masalahnya agar ditemukan solusinya. kita terlalu sering termakan ikon2 turisme akan budaya bali. tetapi ini juga menjadi salah satu penyebab kemunduran manusia bali. bagaimana tidak jika untuk kegiatan upacara upacara adat sudah biasa dijadikan alasan untuk jual tanah. sudah membosankan mendengar orang-orang ngomong teoritis tentang wacana nilai-nilai adat budaya jika praktek dilapangan tetap seperti ini. belum lagi tantangannya di bidang ekonomi, manusia bali harus bersaing dengan para kompetitor dari luar pulau. coba sekali kali lihat pasar-pasar tradisional di denpasar, bandingkan berapa jumlah pedagang dari bali dengan non bali sekarang.