Teks Franki Raden, Ph.D.
NEGARA mana yang memiliki kekayaan world music terbesar di dunia? Indonesia!
Berbincang dengan beberapa tokoh musik Indonesia yang pernah berpeluang pentas di luar negeri, inti permasalahannya selalu sama: kesulitan mendapatkan dana. Sebagian dari mereka malah mengatakan undangan yang mereka terima seringkali tidak dapat dipenuhi karena tidak ada sponsor. Padahal, para pemusik Indonesia yang mendapat kesempatan untuk keluar negeri ini bukanlah pemusik sembarangan. Tanpa adanya reputasi yang menyakinkan, dunia internasional tidak akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mentas.
Thus dalam konteks usaha memasarkan produk unggulan musik Indonesia yang ada di tangan para tokoh ini, mereka sebenarnya adalah para pahlawan. Di tangan merekalah peluang untuk menerobos pasar musik internasional terletak. Para pemusik ini adalah ujung tombak promosi pasar musik Indonesia.
Bicara soal pasar, berapa besar sebenarnya potensi pasar musik Indonesia di dunia internasional yang dapat direbut produk world music/beat yang diwakili grup atau para pemusik Indonesia? Misalnya, Krakatau, Simak Dialog, Samba Sunda, Gangsadewa, Debu, Jes Gamelan Fusion, Bona Alit, Discus, Svara Semesta, Tropical Transit, Altajaru, Balawan, Toba Ansambel, Sonoseni, DKSB, Ozenk Percussion, Indonesian National Orchestra (INO) dan sejenisnya. Mereka ini menggarap elemen musik lokal secara kreatif sebagai materi ekspresi mereka. Inilah hal penting untuk ditelusuri bagi pengembangan sektor industri kreatif kita yang bertumpu pada produk musik.
Beberapa dekade lalu, pasar musik internasional mulai tertarik produk yang dikenal dengan nama world music. Pada awalnya, world music dimengerti sebagai musik-musik asli dari negara-negara non-Barat, atau sesuatu yang di Indonesia dikenal dengan nama musik tradisional. Produk world music pertama yang meledak di pasar dunia tentu saja adalah musik Amerika Latin yang ketika itu merangsang imaginasi para pemusik jazz di Amerika. Akibatnya, produk musik ini sejak awal sudah menguasai pangsa pasar world music di panggung internasional.
Keberuntungan dari musik-musik Latin ini adalah letak geografis mereka yang berdekatan dengan pusat pasar musik dunia, yaitu Amerika Serikat. Di samping itu, sejak awal musik Latin ini sudah merupakan paduan antara musik lokal negara-negara Amerika Latin dan musik Barat sehingga memudahkan para pemusik Amerika atau Eropa untuk menggarap mereka dalam konteks bahasa ekspresi musik tonal.
Pada dekade 80an, terjadi ledakan pasar kedua yang berhubungan dengan world music. Kali ini yang mendapat keberuntungan adalah musik-musik tradisional Afrika. Jika musik-musik Latin tiba-tiba menarik perhatian dunia karena di manfaatkan oleh tokoh musik Jazz, musik-musik Afrika di manfaatkan oleh tokoh musik pop seperti Paul Simon.
Pada saat yang bersamaan tokoh musik Rock seperti Peter Gabriel mulai melihat potensi pasar world music di panggung internasional, sehingga lahir sebuah festival world music berskala besar yang di kenal dengan nama WOMAD produk Peter Gabriel.
Pada momentum itu musik-musik folk Eropa juga turut menerobos pasar, terutama yang berasal dari Inggris (Celtic). Musik tradisional Asia yang berhasil ikut dalam gejolak pasar world music ini umumnya dari India karena mereka memiliki ‘pahlawan pasar’ seperti Ravi Shankar dan Zakir Husein. Sejak tahun 60an India memang sempat beruntung karena the Beatles mempopulerkan musik mereka. Gamelan sendiri secara perlahan-lahan menjadi semakin populer di dunia.
Pertama-tama, tidak banyak jenis world music di dunia yang berbentuk orkestra seperti gamelan. Oleh sebab itu, gamelan terutama menjadi populer di dalam lingkungan universitas yang memiliki program etnomusikologi. Etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu baru di bidang musik yang mempelajari musik-musik etnis dari seluruh dunia. Istilah world music menjadi populer justru karena digunakan secara luas di bidang etnomusikologi. Para sarjana di bidang ini bertanggung-jawab dalam menyebar-luaskan pengetahuan umum tentang world music melalui publikasi mereka. Banyak di antara etnomusikolog juga bekerja di perusahaan-perusahaan rekaman dan retail kecil maupun besar seperti Sony Music atau Virgin Record.
Berbarengan dengan perkembangan pasar world music dan bidang etnomusikologi, dunia musik kontemporer di Amerika juga semakin tertarik pada musik-musik non-Barat. Para komponis Amerika, terutama yang berasal dari Pantai Barat, pada tahun 60an sudah tidak lagi berkiblat ke Eropa, melainkan ke Asia dan Afrika. Akibatnya, lahirlah sebuah gerakan musik baru yang kemudian dikenal dengan nama minimalisme dengan para pelopor seperti Terry Riley yang belajar gamelan dan musik-musik Timur Tengah, La Monte Young dan Philip Glass yang belajar musik India, dan Steve Reich yang belajar gamelan dan musik Afrika. Keempat orang inilah yang bertanggung-jawab atas populeritas genre musik kontemporer yang sebelumnya memiliki pasar sangat terbatas.
Akibat akumulasi perkembangan populeritas world music tadi, pada tahun 90an pangsa pasar jenis musik ini sudah melebihi pasar musik jazz dan klasik yang telah telah terbentuk beberapa puluh tahun lebih awal. Pada tahun 80an, dari sesuatu yang tidak tercatat, pasar world music berhasil mencapai 3 persen dari pangsa pasar seluruh jenis musik di dunia. Sepuluh tahun kemudian pangsa pasar jenis musik ini bergerak mencapai 10 persen.
Jika secara kasar kita hitung pangsa pasar seluruh jenis musik yang ada berkisar sebesar 80 milyar dolar, maka dewasa ini pangsa pasar world music sudah mencapai 8 milyar dolar. Namun seperti yang tadi saya uraikan, produk musik yang mendominasi pasar world music masih berasal dari Amerika Latin, Afrika dan Eropa. Produk world music Asia tertinggal sangat jauh dalam hal ini.
Sementara itu, jika kita mencoba melihat NEGARA mana yang memiliki kekayaan world music terbesar di dunia, itu tidak lain adalah Indonesia. Kekayaan musik asli Indonesia dari Sabang hingga Marauke jika dihitung ragamnya mungkin tidak kalah dengan benua Afrika, apalagi Amerika Latin dan Eropa. Dalam konteks inilah cerita saya di awal tulisan ini kedengaran sangat ironis. Di tengah-tengah munculnya kesadaran akan peluang tiap negara di dunia untuk mengembangkan industri kreatif, para pahlawan pasar musik kita justru tidak mendapat tempat dimata masyarakat dan pemerintah.
Bertarung
Dalam konteks ini INDONESIAN MUSIC EXPO (IMEX) digagas dan diadakan pada 7-14 November di Nusa Dua, Bali. IMEX bertujuan untuk memberikan kesempatan yang luas kepada para pahlawan pasar musik kita bertarung secara adil di Nusa Dua, Bali merebut hati para ‘pembeli’. Bali dalam hal ini adalah tempat yang sangat ideal untuk menguji pasar world music/beat Indonesia karena wilayah ini adalah wilayah yang paling internasional di seluruh negeri.
Di samping itu, Bali juga menjadi pasar dari media massa bangsa-bangsa di seluruh dunia. Di mana misalnya majalah berbahasa Rusia, Jepang ataupun Perancis bisa kita dapatkan di tempat umum selain Bali?
Tempat seperti Ubud, misalnya dewasa ini sudah menjadi pusat kesenian internasional dalam skala yang kecil. Wilayah kecamatan ini mungkin merupakan kecamatan yang paling pesat berkembang dan paling internasional di seluruh Indonesia. Dewasa ini, kecamatan sekecil Ubud sudah memiliki tiga festival seni internasional yang bergengsi yaitu Ubud Writers Festival, Bali Spirit Festival dan Bali Inter-Music Festival.
Oleh sebab itu, usai di Nusa Dua, IMEX akan bergeser ke Ubud pada tanggal 15-16, khususnya untuk acara workshop dan seminar dengan topik “Mengenali Potensi Pasar Musik Indonesia”. Para pembicara seminar ini adalah para pahlawan pasar yang saya jejerkan tadi. Mereka diharapkan dapat menyumbangkan pengalaman mereka bergulat di panggung internasional kepada seluruh peserta IMEX, terutama yang belum memiliki kesempatan untuk tampil di luar Indonesia.
Sementara itu, acara workshop IMEX akan diisi oleh seorang ahli musik digital dari Australia, professor Greg Schiemer. Selama 4 hari dari tanggal 10-14 beliau akan mengajarkan bagaimana menciptakan (bukan hanya menggunakan) teknologi yang dapat digunakan untuk membuat musik secara kreatif. Profesor Schiemer adalah salah seorang ahli musik digital dari Universitas Wollongong, Australia yang banyak mendesain perangkat-perangkat elektronik baru untuk penciptaan musik.
Perangkat elektronik ini nantinya akan bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan alat-alat musik tradisional kita. Karya-karya musik digital Prof. Schiemer sendiri banyak memanfaatkan konsep musik gamelan. Salah satunya yang luar biasa adalah “Pocket Gamelan” yang dirancang untuk 30 buah handphone yang diprogram dengan frekuensi ketinggian nada-nada gamelan.
Di samping itu, workshop ini juga akan menjadi ajang kolaborasi antara Prof Greg Schiemer dengan para empu-empu musik tradisional kita yang datang dari pelbagai penjuru Nusantara ke IMEX selama 7-14 November di Pantai Peninsula, Nusa Dua. [b]
Penulis adalah etnomusikolog, pendiri Indonesian National Orchestra.