Oleh Anton Muhajir
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) pelaksana harm reduction di Bali mengubah strategi sejak awal Agustus lalu. Harm reduction adalah program pengurangan dampak buruk penularan Human Immunodeficiancy Virus (HIV), penyebab Acquired Immune Deficiancy Syndrome (AIDS), di kalangan injecting drug user (IDU). Penularan HIV terjadi akibat perilaku IDU yang memakai satu jarum secara bergantian ketika memakai heroin.
Semula, LSM-LSM pelaksana harm reduction memberikan langsung jarum suntik steril pada IDU melalui Needle Exchange Program (NEP). Tujuannya agar IDU tidak bertukar jarum suntik dengan temannya ketika menyuntikkan heroin.
Nah, sejak 1 Agustus lalu, tiga LSM pelaksana harm reduction di Bali sepakat mengubah strategi pemberian jarum suntik steril pada IDU tersebut. Kini IDU harus mencari sendiri jarum itu di Puskesmas, bukan mendapatkan dar petugas lapangan (PL).
“Kami ingin agar IDU lebih mandiri, tidak lagi tergantung pada petugas lapangan,” kata IGN Wahyunda, aktivis Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), salah satu LSM pelaksana rehabilitasi pecandu Napza serta harm reduction.
Perubahan strategi NEP itu sendiri dihasilkan melalui diskusi antar LSM-LSM pelaksana harm reduction di Bali yaitu Yakeba, Yayasan Matahati, dan Yayasan Hatihati pada Juni lalu.
Dalam kesepakatan tersebut, tiga LSM itu juga membagi wilayah kerja masing-masing. Yakeba di wilayah Badung, Hatihati di Denpasar, dan Matahati di Gianyar dan Tabanan. Padahal sebelumnya wilayah kerja tiga LSM itu tidak diatur per wilayah. Maka, IDU di Kuta, misalnya, sekarang harus menjadi klien Yakeba, bukan Hatihati.
Pembagan wilayah kerja ini dilakukan agar tidak jadi “rebutan” antar LSM pelaksana harm reduction.
Menurut Wahtu penyebab perubahan strategi ini adalah karena adanya Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Permenko Kesra) dan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes). Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa pemberian jarum suntik hanya boleh dilakukan oleh petugas kesehatan.
Perubahan strategi pemberian jarum suntik itu, menurut Wahyunda, juga terjadi akibat dorongan dari lembaga donor program penanggulangan HIV dan AIDS di Bali yaitu AusAID. “AusAid sudah membiayai harm reduction sekian lama namun mereka merasa kemajuan program ini terlalu lambat. Makanya kami diminta untuk mengubah strategi,” katanya.
Pemberian jarum suntik melalui Puskesmas dan banjar dianggap menjawab masalah lambatnya kemajuan program.
“Akibatnya pemberian jarum suntuk untuk IDU pun semuanya dilakukan oleh petugas kesehatan,” kata Wahyunda, mantan pecandu Napza, yang juga Koordinator Ikatan Korban Napza (IKON) Bali.
Selain pemberian jarum suntik melalui Puskesmas, harm reduction juga akan berubah dengan lebih banyak melibatkan banjar, kelompok masyarakat terkecil di Bali. Caranya dengan membangun tokoh kunci (key person) di masing-masing banjar. Key person itu yang akan menjadi penghubung antara IDU dengan PL.
“Nantinya PL tinggal ngedrop jarum suntik di key person tersebut serta ke Puskesmas,” tambah Kadek Adi Mantara, staf Yakeba lainnya.
Pemberian jarum suntik ke banjar, menurut Mantara, merupakan bentuk keterlibatan desa adat dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Bali. “Karena di Bali, adat berperan lebih kuat dibanding dinas,” lanjut Mantara.
Meski demikian, masih ada sejumlah masalah akibat perubahan strategi pemberian jarum suntik ini. “IDU di lapangan masih bingung dan canggung dengan sistem baru ini,” kata Yusuf Rey Noldy, petugas harm reduction di Puskesmas Kuta.
Pada strategi program sebelumnya, IDU agak pasif karena PL yang membawa jarum suntik ke mereka. Namun, saat ini mereka yang harus mengambil jarum suntik itu di Puskesmas. “Padahal IDU kan maunya yang serba cepat saja. Kalau harus mengambil di Puskesmas, mereka merasa agak jauh,” kata Noldy, yang juga mantan pengguna Napza tersebut.
Saat ini, ada tujuh Puskesmas maupun rumah sakit (RS) di Bali yang bekerja sama untuk memberikan jarum suntik pada IDU. Antara lain Puskesmas Kuta dan Abiansemal di Kabupaten Badung; Puskemas Sanur, RS Umum Wongaya, RS Dharma Usadha, dan RSUP Sanglah di Denpasar; serta Puskesmas di Singaraja, Buleleng.
Namun, menurut Noldy, sebagian besar IDU masih belum nyaman berhubungan dengan petugas Puskesmas. “Masih ada kekurangpercayaan pada IDU untuk berhubungan dengan lembaga dan birokrasi resmi semacam Puskesmas,” tambah Noldy.
Di Puskesmas Kuta, misalnya, IDU memilih bertemu dengan petugas harm reduction di luar ketika mengambil jarum dibanding mengambilnya di Puskemas. “Mungkin karena psikologi pecandu yang cenderung tertutup pada kelompok lain,” kata Noldy.
Masalah lain yang muncul adalah karena Puskesmas tidak buka selama 24 jam. Padahal IDU cenderung tidak bisa mengontrol keinginannya untuk menyuntikkan heroin.
Jalan keluarnya kemudian, LSM masih akan mengadakan sosialisasi intensif selama enam bulan pertama perubahan strategi ini. “Kami ingin agar IDU juga lebih disiplin dengan dirinya sendiri. Sebab, tidak selamanya kami bisa menolong mereka,” tambahnya. [b]