Belakangan para sopir pariwisata freelance seluruh Bali menghadapi tantangan akan kelanjutan hidup mereka. Setiap kali akan mengantarkan tamu ke tempat tujuan wisata selalu dihantui perasaan was-was. Di setiap tempat strategis selalu dijaga oleh preman-preman yang berlindung di balik jubah kebesaran negara yang mereka dapatkan dari pajak yang dibayarkan oleh warga negaranya. Salah satu razia yang dilakukan oleh tim gabungan di kawasan Kabupaten Gianyar 11 Mei 2011 yang lalu.
Wajar jika mereka ketar-ketir, dengan penghasilan tidak lebih dari Rp 75.000 sehari, ancaman denda yang bisa sampai sejuta merupakan masalah besar. Belum lagi pungutan liar yang terjadi di setiap tikungan oleh preman-preman berseragam yang dengan bangga mengaku diri sebagai petugas.
Memang jika mengikuti Perda No 10 tahun 2001, kendaraan pribadi dilarang dipergunakan sebagai angkutan wisata. Demikian pula dengan Perda No. 5 tahun 2008 tentang Pramuwisata. Sepintas, para sopir dan pemandu wisata yang tidak berijin ini memang salah secara hukum normatif. Sangat jelas bahwa mereka telah melakukan suatu pelanggaran.
Hukum tetaplah hukum. Tetapi jika peraturan daerah itu dibuat hanya untuk kepentingan kalangan kapitalis yang berduit, yang bersedia menanamkan modal besar untuk mengeruk keuntungan dari kue pariwisata Bali di sini permasalahannya. Hukum yang tidak berpihak kepada rakyat kecil menimbulkan kecemburuan dan gejolak.
Hukum yang terbentuk memang tidak terlepas dari pengaruh kalangan kapitalis borjuis ini. Alih-alih mensejahterakan masyarakat kecil, yang terjadi adalah hukum tercipta untuk menggemukan mereka yang terlah gemuk dan menyuburkan praktik suap yang pada akhirnya menyuapi aparat yang menegakkan hukum untuk kepentingan perut aparat sendiri.
Tidak percaya? Lihatlah bagaimana RTRWP Bali pada akhirnya memberikan peluang kepada kaum kapitalis untuk menguasai tanah Bali. Kedaulatan masyarakat Bali hilang di tanahnya sendiri. Pentaan ruang menjadi komoditas bagi penentu kebijakan dan kalangan kapitalis. Tanah-tanah Bali mulai berpindah ke tangan-tangan pemilik modal.
Apa lagi? Lihatlah bagaimana hotel-hotel mendatangkan tamu. Mungkin lebih dari 50% tingkat hunian hotel di Bali datang dari reservasi online. Keuntungannya kemana? Ke kantong pemilik portal-portal reservasi yang satu pun tidak ada berpusat di Bali. Jangan tanya, apakah pajak yang didapatkan dari keuntungan itu masuk ke dalam APBD Provinsi Bali.
Seorang teman aktivis mengatakan, bahwa Bali tidak lebih menjadi taman bermain yang dipersolek sedemikian rupa yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berduit tidak berlebihan. Seringkali kita melihat, seorang yang telah menjual tanahnya untuk dijadikan kawasan villa kemudian hanya menjadi tukang kebun di villa, yang dulunya merupakan tanahnya. Jangan bilang itu karena kesalahan si pemilik tanah. Tapi karena mental birokrasi kita yang terlalu permisif untuk memberi ruang investasi kepada pemodal tanpa memperhatikan kerterlibatan masyarakat lokal.
Jika sudah begini, apakah kita salah jika mengatakan bahwa Bali ini dibangun oleh rezim barbar? Perlahan, masyarakat kecil di Bali yang notabene merupakan masyarakat local yang harusnya berdaulat di tanah sendiri harus tersingkir menjadi transmigran ke luar daerah. Dan dengan bangganya penentu kebijakan mengatakan, Bali perlu ruang untuk pariwisata. Anda masyarakat Bali yang bodoh, carilah lahan yang lebih luas untuk memulai bertani.
Jadi pariwisata untuk siapa?
Kembali ke permasalahan bahwa kedaraan pribadi dilarang untuk dipergunakan sebagai sarana angkutan wisata. Saya dan rekan-rekan senasib sebagai seorang yang belum mampu melengkapi ijin pariwisata seringkali masih mempergunakan kendaraan pribadi untuk mengangkut tamu-tamu saya.
Kami mengatakan belum mampu, karena jika kami bermodal kami pun bersedia untuk melengkapi ijin yang disyaratkan. Sayangnya, kami belum mampu. Persaingan yang ketat, lapangan kerja yang terbatas membuat kami nekat untuk tetap mengangkut tamu-tamu kami dengan kendaraan pribadi. Apakah kami salah? Dari perspektif hukum jelas kami salah. Kami sadar itu. Tapi jika kembali ke atas, pernahkah hukum yang diciptakan menyentuh kepentingan masyarakat kelas bawah seperti kami-kami ini?
Kami berasa sebagai seorang penjahat besar, yang dihantui ketakutan setiap hari. Diburu, dicegat di setiap tempat memberikan efek ketakutan bagi kami. Andainya setiap penegak hukum berlaku sama adil terhadap setiap penjahat dan pelaku pelanggaran lainnya! Tentu kami tak merasa menjadi anak tiri.
Perlawanan Rakyat
Jika mereka sudah tuli dengan jeritan dan himpitan yang kami rasakan, saatnya kita melawan. Bukan dengan fisik atau anarkis. Mungkin dengan uang receh yang kami kumpulkan bersama-sama untuk membantu mebyara denda rekan kami yang terlajur tertangkap karena tentu kami tidak akan bisa membayar denda jutaan rupiah untuk menebusnya.
Tuntutan jelas ada. Pemerataan, kelonggaran ijin buat masyarakat kelas bawah seperti kami. Jangan samakan kami dengan perusahaan yang mempekerjakan puluhan karyawan dengan gedung-gedung megah sepanjang Jalan Bypass Ngurah Rai itu. Mereka datang ke Bali hanya untuk mengeruk pundi-pundi pariwisata ini. Sedangkan kami masyarakat yang termarginalkan ini, yang nyata-nyata sebagai pelaku utama dalam mempertahankan budaya dan tradisi tidak bisa berdikari di tanah sendiri.
Lalu, buat siapa sebenarnya pariwisata Bali ini?
Bener banget bos. Saya sbg orang kecil bukannya tidak taat hukum, tetepi merasa dipermainkan birokrasi yg berlindung dibalik hukum. Makasi ulasannya bos…
http://baliku.mywapblog.com
pariwisata bali : dari pejabat, oleh pejabat, untuk pejabat..
amah karmapala ci ditu
Bener itu boz!! Kita rakyat kecil.. Kita mencari makan utk keluarga kita… Bukan utk berfoya2.. Di pulau kita ini.. Thank’s ulasan na boz.. Semoga di dengar oleh seluruh dunia… Semoga yg di atas mau mengerti… “Sopir freelance”
Bener ulasan di atas boz.. Kita rakyat kecil yg slalu di bodohi & di injak2.. Jd kita tak bsa memberi mkn keluarga kita.. Semoga bsa di dengar dengan org2 yg berada di atas.. Bagai mna tangisan rakyat kecil di jlnan… “Sopir freelance”
saya pernah mengantar teman2 dari Ostrali ke Kintamani, kita dicegat dijalan sama mobil patroli. Sopir turun, setelah dia kembali saya tanya: “ngapain pak?” “ngasi nyamuk makan” jawabnya. “berapa?” saya tanya lagi, “sepuluh ribu”.
Betul sekali semua itu………..semoga para pejabat kita tak sadar akan semua itu….
Lagi trend sepertinya, saudara sendiri diinjak-injak, orang luar dipuja-puja. Kebetulan saudara juga ada yang profesi jadi supir dan guide freelance. Katanya sekarang sudah mulai ada perlawanan dari warga lokal di daerah wisata. Satpoll PP diusir dan dilarang melakukan razia. Semoga ini bisa sampai ke level atas (gubernur) dan ada solusi yang tepat.
Pak ingat janjinya saat kampanye…katany mensejahterkan rakyat sampai kepelosok, dengan santun bapak bicara dulu. Tapi buktinya sekarang rakyat yang mencari nafkah dari geliat pariwisata, udh diinjek, dibenamkan pula. Jangan kekuasaan dijadikan alat untuk kepentingan sendiri, katanya semeton Bali biar Mandara….jangan OMDO pak….
BALI MANDARA ITU SLOGAN KAMPANYE KOSONG DAN BOHONG..
kami mengurus ijin selama 3 tahun, dengan biaya 5 juta, sampai sekarang belum selesaii..
APA BIROKRASI SELALU MAHAL DAN BERBELIT ?
bali hanya untuk yang berduit.kesejahteraan bali bukan milik penduduk dan rakyat kecil di bali.
tapi milik pejabat korup dan preman..
di mana keadilan ini ?
Kalo perorangan cuma cari makan kenapa pemerintah begitu menindas rakyat Bali ?? Sedangkan kalo gurita kapitalis yang mematikan pengidupan rakyat jelata Bali pemerintah diam saja. Disogok duit besar kamu ya ?
Bukannya membantu rakyat jelata cari penghidupan yg layak, eh malah suruh satpol PP nangkepin guide lokal (org Bali) tapi guide org asing dibiarin. Satpol PP penakut dan gak bisa bhs Inggris. Bisa jadi razia ini pesanan kapitalis travel agent
Bali mandara = bali mundur. Amah be nani. .
sebelum menjabat janji ini janji itu,sudah di atas LUPA akan apa yang di janjikan ,LUPA melihat kebawah. Saya orang desa, tp begitu membaca,menonton di mas media…cek..cek…,Bali bukan surga untuk orang asli tapi neraka, hanya karena ulah polah para kapitalis
Bagai buah simalakama. Gak ada ijin di denda. Buat ijin tapi harus berbadan hukum PT. yang biayanya bisa puluhan juta. Yang pasti meskipun sudah berbadan hukum, namun untuk ijin operasional untuk travel sudah tidak diberikan lagi oleh Disparda.
Saya baca koran hari ini, biaya ijin angkutan hanya 50 ribu (murah) pertahun, Tapi….tapi….tapi “harus berbadan hukum”. Itu artinya sama aja bohong.
Kisah seperti tidak akan ada habisnya, bisa ditemukan di mana-mana :(.
Musang berbulu ayam…….menyalah gunakan tugasnya untuk kepentingan sendiri. sangat memalukan…………..
bapan tiange sing luas jani.
sing bani luas, ade razia kone..
razia ape pungli , ing jelas..
yang paling jelas : SAYA TIDAK MEBEKEL KE SEKOLAH.
KALAU NANTI SAYA BERBUAT KRIMINAL UNTUK MAKAN, SIAPA YANG SALAH?
mending razia koruptor saja pak..
dari atas sampe bawah ..
kalau ngga bisa , biarin mereka yang tanggung dosa..
INGAT KARMAPHALA pak..
biasa aja ah, ga usah komeng yg berlebihan.
tidak semua pejabat seperti yg kalian kira, ada segelintir yg memang mempunyai idealis dalam bidangnya. akan tetapi keberadaan mereka tenggelam dikarenakan minoritas ditelan mayoritas.
balik pada kasus ini, menurut ane peraturan/kebijakan itu pastilah bertujuan untuk kebaikan,
kaprahnya dalam penerapannya ada penyelewengan yg membuat kebijakan tersebut berubah persepsi dari nirvana menjadi rahwana.
ahh… omongan apa ini, aku ngalor kidul mboh apa maksudnya.. heheh…
maaf ya klu ada salah kata,
inti komengku, mari kita orang yg berpendidikan menanggapi seperti hal itu tidak lah perlu dengan menambah keruh keadaan, bangsa kita sudah cukup keruh, tidak usah ditambah lagi,
boleh kita tidak puas, tapi bijaklah dalam berfikir, yg bisa merubah keadaan ini adalah kita berangkat dari individu masing2,
anda misu2 ndak jelas sudah keliatan seperti apa tabiat anda, coba bayangkan bila anda berada di posisi si pejabat, apakah anda akan lebih baik dari mereka yg sekarang itu?
bukan niatan merendahkan/atau menyalahkan,
maksud hati hanya sekedar mengajak untuk lebih baik :shakehand2
semoga mereka mendengar and membela wong cilik….
wah, gak nyangka dr nama besar BAli yg dikenal di dunia sebagai The Paradise Island trnyata ada ironi.. sya sebagai mahasiswi hukum begitu tertarik menyoroti kasus hukum ini. thanks info nya gan
sebenarnya hidup ini hanya sebentar, kalau memupuk keadilan dikemudian hari akan selalu jadi legenda.
buktinya Ida bagoes mantra…sampai sekarang kita selalu jumpai di jl raya ketewel. dan kalau ngomong masalah pemimpin pasti selalu Ida bagoes mantra selalu jadi topik positive.
dan saya selalu berprinsip bahwa : MONEY is POISON
maksudnya kl cara mendapatkanya secara ngk “holol” semua akan jadi racun.
hahahaha salam dari Mbah Brodin
saya baru tahu kalau teman wst di bali mengalami kesulitan seperti itu. sbg pelaku wst luar bali, tahunya teman d bali mengalami peningkatan dlm kesejahteraan. saya sendiri mengalami ktika masuk penyeberangan di gilimanuk. aparat berseragam polda selalu minta uang dlm memeriksa rombongan tour. saya heran, KAPOLDA BALI jangan2 melegalkan anak buahnya unt ngompas romb tour luar bali. kalau sdh demikian, aparat tak ubahnya sbg preman pemeras berkedok dibalik pakaian dinas./ Unt KAPOLDA BALI, mohon tanggapan.