Teks dan Foto Anton Muhajir
Tiap kali dunia merayakan April Mop, majalah Bog-Bog juga merayakan ulang tahun.
Namun, April Mop Bog-Bog tahun ini berbeda dibanding perayaan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2011 ini, Bog-Bog merayakan ulang tahunnya yang ke-10. “Sepuluh tahun usia menuju teenager, remaja. Karena itu kami juga menjadi lebih matang lewat kartun-kartun kami,” ujar Jango Paramartha, pendiri dan pemilik majalah kartun bulanan ini.
Merayakan ulang tahun ke-10 itu, Bog-Bog menggelar pameran bertema Cartoon, Creative, & ConsisTEN di Serambi Art Antida, Sanur, Denpasar pada Sabtu dan Minggu kemarin.
Sepuluh sampul majalah terbaik, sepuluh kartun wajah tokoh, sepuluh ilustrasi terbaik, dan sepuluh kartun dari 10 negara ikut serta dipamerkan selama empat hari, Jumat – Senin di halaman belakang Antida. Sebagai pembukaan rangkaian kegiatan tersebut, tepat pada hari perayaan kelahirannya, Jango meniup kue ulang tahun dengan sepuluh lilin di atasnya.
Bog-Bog, dari Bahasa Bali yang berarti bohong, lahir 1 April 2001 lalu di Denpasar. Pendiri majalah ini beragam latar belakangnya. Ada aktivis, mahasiswa, kartunis, dan wartawan. Saat itu, menurut Jango, awalnya majalah tersebut mau diberi nama Bali Cartoon Magazine. Tapi, nama yang dipilih kemudian adalah Bog-Bog. “Kami merasa tidak banyak perubahan setelah era Reformasi. Karena itu kami bilang kalau Reformasi hanya bohong-bohongan,” kata Jango.
Menurut Jango, selain untuk media eskpresi secara kritis namun tetap lucu, Bog-Bog juga diterbitkan untuk mengangkat budaya Bali ke masyarakat internasional melalui kartun. Tema Bog-Bog memang fokus pada budaya Bali, terutama benturan antara tradisi dan globalisasi.
Dalam banyak karya di majalah maupun media lain, kartunis Bog-Bog sering mengangkat isu “benturan” budaya Bali dengan modernisasi, terutama pariwisata. Di salah satu kartunnya, Jango pernah menggambar dengan satir bagaimana seorang pemimpin agama berdoa dengan lambang Omkara di pikirannya sementara di pojok lain pemandu wisata memikirkan dollar di kepalanya ketika melihat orang berdoa.
Di kartun lainnya, kartunis Bog-Bog menggambar ibu-ibu menjunjung gebogan (sesaji untuk upacara) namun tetap trendy dengan ponsel masing-masing.
Tema kartun yang menertawakan “gegar budaya” Bali ketika bertemu modernisasi itu, lanjut Jango, memang jadi ciri khas kartunis Bali. “Kalau di Jawa, kartun yang dibuat cenderung lebih sering membahas tema politik. Kalau di Bali lebih banyak tentang budaya,” ujarnya.
Sejak awal hingga saat ini, Bog-Bog setia dengan maskotnya, seorang laki-laki bernama Made Bogler yang mengenakan udeng. Meski sangat khas Bali, ikon Bog-Bog justru dibuat kartunis kelahiran Flores, Cece Riberu.
Menggunakan maskot Made Bogler ini, selama sepuluh tahun Bog-Bog melahirkan kartun-kartun tentang Bali. Melalui kartun, Bog-Bog mengenakan wajah lain Bali yang satir dan lucu. “Enaknya kartun kan mengkritik tapi justru membuat orang tertawa,” tambah Jago.
Selama sepuluh tahun perjalanan, Jango mengaku Bog-Bog sempat jatuh bangun. Karena itu mereka juga membuat diversifikasi produk. Tak hanya kartun tapi juga merchandise sejak 2005 lalu. Merchandise seperti kaos, mug, gantungan kunci, stiker, dan semacamnya ini ada di gedung baru Bog-Bog di Jl Veteran, Denpasar.
Diversifikasi kartun tersebut juga diikuti dengan usaha lain oleh Bog-Bog. Tak hanya majalah bulanan dan merchandise tapi juga jasa desain dan gambar wajah. Bog-Bog juga turut serta dalam program-program promosi pariwisata maupun kampanye penanggulangan HIV/AIDS.
Pada tahun 2006 lalu, misalnya, mereka ke empat kota di Australia, termasuk Brisbane dan Melbourne untuk mempromosikan Bali bersama Bali Tourism Board melalui kartun-kartun mereka.
Setahun kemudian, pada tahun 2007, Jango mengaku jenuh dengan Bog-Bog. “Saya sempat mau bubarkan saja Bog-Bog. Tapi, setelah ngobrol dengan beberapa teman, semua bilang agar majalah ini tetap dipertahankan. Bog-Bog diharapkan jadi tempat melahirkan kartunis-kartunis baru,” ujarnya.
Toh, Jango sendiri mengakui, melahirkan kartunis baru bukan pekerjaan mudah. “Munculnya kartunis baru di Bali termasuk lambat,” akunya.
Gus Martin, mantan kartunis Bali Post yang dianggap guru oleh Jango, menyatakan hal yang senada. “Kartunis Bali masih didominasi wajah-wajah lama angkatan tua seperti kami ini,” kata mantan Ketua Perhimpunan Kartunis Indonesia (Pakarti) Bali ini.
Menurut Gus Martin, mandeknya regenerasi kartunis Bali ini selain karena kurangnya media yang memuat kartun juga karena kartun dianggap tidak menghasilkan dibanding karya seni lain, misalnya, seni lukis.
Pada tahun 1980an, Gus Martin dan kartunis lain pernah mengajak anak-anak SMA untuk membuat kartun di media anak SMA, Wiyata Mandala. “Tapi setelah mereka lulus SMA ya hilang begitu saja,” tambahnya.
Maka, inilah salah satu tantangan Bog-Bog ke depan, melahirkan kartunis baru ketika di sisi lain kartunis muda semakin berkurang. “Saya tidak akan menyerah,” tegas Jango. [b]
selamat ulangtahun,Bog 🙂
buat gus martin, pantes aja selama ini, saya cari katoonnya di BP gk nemu2, padahl keren2 baget nok. kapan2 ajarin ya bli, hehhee
sejak kecil kalau saya menemukan koran, pasti halaman kartunlah yg paling pertama saya cari,, dan skarang saya benar2 mempunyai minat besar pd kartun,, buat para kartunis senior,, tolong ajari saya ngartun yaa,, hehe,,
sukses slalu buat BOG-BOG!!!