Jika tak serius merespon perubahan iklim, Indonesia bisa mengalami krisis pangan.
Yusman Syaukat, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan sinyal tersebut pada Kongres Perhimpunan Ilmuwan Pertanian Asia Tenggara atau International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences (ISSAAS) di Sanur, Denpasar pekan lalu. Krisis pangan akan terjadi, akibat makin banyaknya kebutuhan pangan sementara di sisi lain ketersediaan semakin menurun.
Pendapat Yusman mengacu pada risetnya bersama dua dosen Klimatologi IPB, Profesor Handoko dan Yon Sugiarto. Berdasarkan riset yang terdiri dari penelitian lapangan dan riset pustaka tersebut, perubahan iklim menyebabkan turunnya produktivitas tanaman pangan.
Dampak perubahan iklim pada petani, lanjut Yusman, terlihat dari dua faktor utama, yaitu meningkatnya suhu dan menurunnya curah hujan. Selama periode antara 1971 hingga 2006, terjadi kenaikan suhu antara 1°C hingga 4° C atau rata-rata 2° C. Sementara itu, curah hujan turun tiap tahun hingga 246 mm. Tiap faktor berdampak pada penurunan produktivitas produk pangan dan dampaknya semakin besar ketika dikombinasikan.
“Perubahan iklim akan memperburuk kelaparan dan melahirkan masalah pangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia,” katanya.
Di satu sisi, produksi pangan menurun sementara di sisi lain permintaan pangan makin tinggi akibat pertambahan penduduk. Akibatnya, ketersediaan pangan semakin terbatas untuk banyak orang.
Menurut Yusman, dalam kondisi tidak terjadi perubahan iklim, produksi padi di Indonesia akan mengalami penurunan hingga 65 juta ton pada tahun 2050. Namun, akibat perubahan iklim, penurunan produksi padi akan mencapai 90 juta ton atau turun hingga 38 persen.
Selain padi, komoditi pangan lain, seperti jagung, kedelai, gula, dan minyak sawit juga akan mengalami penurunan produksi akibat dampak perubahan iklim. Pada 2050, produksi jagung akan turun dari 5 juta ton turun hingga 27,5 juta ton. Kedelai turun dari 3 juta ton hingga 25,2 juta ton. Gula turun dari 7 juta ton hingga 30 juta ton. Minyak sawit dari semula surplus 7 juta jadi minus 17 juta ton.
“Jika Indonesia tidak melalukan mitigasi atau adaptasi terhadap perubahan iklim, dampaknya bisa lebih buruk,” ujarnya.
Yusman mengusulkan tiga strategi untuk menangani ancaman krisis pangan tersebut, yaitu penambahan lahan tanaman setidaknya 100.000 hektar per tahun, meningkatkan intensitas produksi tanaman pangan dari 1,5 menjadi 1,65 per tahun, serta adanya diversifikasi pangan.
Tiga strategi itu harus diterapkan secara integral. “Upaya tunggal dalam program adaptasi tidak akan menyelesaikan maslah. Kita harus melakukannya secara bersama-sama,” tegasnya.
Selain Yusman, puluhan peneliti dari enam negara lain juga memberikan presentasi dalam kongres yang diadakan selama empat hari tersebut. Kongres bertema Adaptasi Pertanian untuk Merespon Perubahan Iklim itu sendiri diikuti sekitar 180 ilmuwan dari Indonesia, Thailand, Malaysia, Jepang, Vietnam, and Filipina.
Menurut Prof. Dr. Dewa Ngurah Suprapta, President of ISSAAS, tema tersebut dipilih karena saat ini perubahan iklim berdampak pada banyak aspek kehidupan, termasuk pertanian. “Pertanian sangat rentan mengalami dampak buruk perubahan iklim, termasuk mengancam ketersediaan pangan,” katanya.
Karena itulah, melalui kongres ini, para peneliti dari berbagai kampus tersebut bertukar pengetahuan dan pengalaman. [b]
Mudah – mudahan ini tidak terjadi dan bisa diatasi. Kalau ini samapai terjadi, bakalan rusak semua tatanan kehidupan.