Teks Cahya Legawa, Foto Anton Muhajir
Jika melihat peta demografi, Bali termasuk areal berwarna merah!
Belasan tahun lalu saya menemukan sebuah buku bacaan yang lusuh di rumah nenek saya. Dalam tutup berwarna abu-abu muda kusam tertutup debu dari rak-rak tua di rumah, tertulis jelas kata “Bali” sebagai judulnya. Saya masih samar-samar ingat, di bagian awal buku itu diceritakan sejarah “penemuan” pulau Bali oleh orang-orang luar, termasuk oleh Maha Rsi Markendya di zaman kerajaan nusantara dulu, hingga -jika saya tidak salah- pelaut Belanda, Cornelis de Houtman.
Mereka berbicara tentang hal yang sama, sebuah pulau tropis eksotis, seperti hutan hijau indah di atas punggung kura-kura yang mengapung di atas lautan. Dan, saya tidak bisa banyak menangkap sisanya. Maklum buku tua itu disusun dalam bahasa asing. Saya hanya mengenali beberapa kata sederhana ketika itu.
Kini angan saya terbang kembali membayangkan ke masa-masa itu. Bagaimana para pelaut asing yang pertama kali melihat Bali setelah berlabuh di pesisir pantainya. Apa yang mereka saksikan.
Bandingkan dengan kondisi saat ini, jika melihat peta demografi, Bali termasuk areal berwarna merah!
Artinya wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Anda mungkin tidak akan melihat lagi apa yang pernah disaksikan Cornelis de Houtman ratusan tahun lalu. Bangunan beton ada di sepanjang jalan utama antarprovinsi dan antarkota. Kendaraan bermotor lalu lalang di jam-jam sibuk. Bahkan, keluhan kemacetan lalu lintas di seputaran ibukota dan areal perkantoran menjadi camilan sehari-hari.
Tidak hanya Bali dalam pusat-pusat industrinya. Daerah-daerah lain di seluruh belahan bumi yang terjamah arus modernisasi juga mengalami dampak serupa. Kita bisa melihat banyak kemiripannya, seperti menumpuknya polusi dan efeknya, berkurangnya ruang hijau, sumber alam yang menipis, dan higienitas yang memprihatikan.
Jika ada yang melompati waktu dari masa lalu ke masa sekarang, bisa jadi ia mengembuskan kegelisahan tak tersampaikan.
Itulah mungkin mengapa, salah satu tempat yang masih cukup saya sukai di Bali adalah Kebun Raya Bedugul di mana masih banyak pepohon tumbuh terjaga dengan baik. Bisa memandang pepohonan dan danau asri dengan lepas, dengan minimal gangguan pemandangan bangunan buatan manusia.
Lalu, apakah sebenarnya penyebab hilangnya begitu banyak areal hijau alam di Bali? Sebenarnya hampir semua orang tahu alasan. Namun, nyaris semua orang tak bisa mengubahnya. Karena alasan yang sama itu adalah penyebabnya, dan lingkungan berubah karena mereka yang tinggal di atasnya. Tidak akan ada alasan lain, kecuali seseorang akan menyalahkan bencana alam yang sama sekali tidak berkaitan dengan kerusakan lingkungan di Bali.
Pola konsumsi manusia menjadi alasan utama rusaknya lingkungan di suatu wilayah. Tentu saja itu ditunjang dengan populasi yang terus bertambah bak cendawan di musim hujan. Dengan bertambahnya populasi serta pola konsumsi masyarakat saat ini, saya tidak melihat ada kemungkinan Bali bisa menjadi hijau kembali.
Siapa yang tidak mengenali alasan sederhana ini, lalu bagaimana solusinya? Orang-orang mungkin sudah tahu solusinya. Namun, siapa bisa menahan laju ego masing-masing.
Pertama, Bali harus dapat menahan laju pertambahan populasinya, bahkan membuat lajunya bernilai minus jika perlu. Laju pertambahan populasi di sini berarti laju pertambahan penduduk dan masuknya pendatang yang lebih banyak ke pulau sempit ini. Jika laju pertambahan populasi tidak bisa ditekan, maka akan semakin banyak ruang hijau alam yang akan hilang, baik untuk pemukiman dan untuk penciptaan lapangan kerja.
Itu adalah hukum alaminya. Semakin besar jumlah manusia dengan budaya konsumsi tinggi, semakin besar juga eksploitasi terhadap alam. Jika masalah utama ini saja tidak teratasi, maka wacana mengembalikan kehijauan di Bali hanyalah omong kosong. Mau sampai kapan menanam pohon dan menghijaukan perkotaan, sementara banyak desa menggeser hutan-hutan dan tegalan kecil yang masih tersisa untuk menjelma menjadi kota.
Teorinya sederhana, semua orang tahu akan itu. Namun kesadaran tidak mempuburuk keadaan nyaris tidak ada. Siapa yang peduli dengan kondisi saat ini. Asal sudah bisa makan dan tidur nyenyak, tidak apalah, tidak usah saling menganggu dengan kerprihatinan yang berlebih. Namun kita lupa, bahwa Bali dengan sumber alam saat ini nyaris tidak bisa mandiri menyokong kehidupan penduduknya kecuali mengandalkan dunia luar.
Pariwisata adalah sesuatu yang datang dari luar Bali. Beras dan bahan makanan sebagian didatangkan dari luar pulau. Saat ini juga banyak terdengar krisis air bahkan untuk kota sebesar Denpasar. Yang menyedihkan lagi, tradisi Bali kini membuat masyarakat tradisional mesti membeli bahan-bahan olahan untuk kegiatan sehari-hari dari luar Bali, misalnya janur yang didatangkan dari luar pulau karena konsumsi masyarakat Bali mungkin membuat populasi pohon kelapa di pulau ini tidak kuat lagi menyediakan kebutuhannya.
Saya rasa masyarakat Bali bukan tidak tahu selolusi untuk masalah lingkungan hidup yang mereka hadapi. Hanya saja pertanyaannya, apakah mereka peduli? Jika tidak, apakah mereka sadar bahwa mereka sebenarnya hanya tidak peduli?
Itulah mengapa, dalam pelbagai penyuluhan dan seminar tentang lingkungan hidup di seluruh dunia, yang ditekankan adalah bagaimana membuat orang peduli akan lingkungannya. Pengetahuan itu gampang dipopulerkan ke dalam masyarakat, tapi kepedulian mesti lahir dan bergerak secara alami dari masing-masing individu.
Jika masyarakat tidak berubah kepeduliannya, maka konsekuensinya tidaklah ringan.
Tidak ada salahnya memiliki keluarga besar. Tidak ada salahnya membangun kota besar. Namun, kita harus menyadari kemampuan alam di sekitar kita untuk menyokong semua itu. Toh, pada akhirnya, ketika berlebihan menjelma kemewahan, itu hanya pameran ego di dalam diri kita. Dan apakah etalase konyol itu lebih berharga dari alam yang menyokong kehidupan kita selama ini tanpa banyak protes? Jawabannya kembali pada masing-masing dari kita.
Tulisan ini saya buat untuk mempromosikan “Lomba Jurnalistik Kompas Mahasiswa se-Bali” dengan tema “Mungkinkah Bali Hijau Kembali?” Tentu saja ini bukan tulisan yang dilombakan, karena saya sudah terlalu tua untuk masih kuat bernapas saat berlomba dengan generasi muda. Diperlukan pemikiran yang lebih segar untuk topik ini. Jika Anda memiliki ide untuk disuarakan mengenai topik tersebut, mungkin inilah kesempatan yang baik. [b]
Sangat penting adalah memberikan pengetahuan kepada masyarakat, dan memberikan pencerahan bahwa banyak pekerjaan yang bisa ditekuni tanpa mencuri kayu. Komplin tamu kepada pengelola rafting bahwa hutan sepanjang sungai habis tanpa ada pemeliharaan kembali merupakan contoh nyata