Oleh Ni Gusti Putu Dinda Mahadewi, Ni Luh Fenny Sulistya Murty, Ufiya Amirah
“Memang agak sulit ya [air di Kuta Selatan], kebetulan saya juga sudah ngamprah (booking) PDAM. Tapi airnya kadang hidup, kadang mati. Air PDAM itu kotor, apalagi pas musim hujan, pasti keluarnya nggak begitu bagus,” keluh Ketut Rendra, warga Goa Gong, Kuta Selatan, saat ditemui di kediamannya, pada Kamis, 9 Mei 2024.
Bagi Ketut, air bersih adalah barang langka di kawasan Kuta Selatan. Kelangkaan ini tidak lepas dari kondisi geografis wilayah tersebut. Berdasarkan riset yang ditulis oleh I Wayan Redana (2023) tentang Penyelidikan Tanah Bukit Kapur, Kuta Selatan, Badung, Bali, menunjukkan bahwa lapisan tanah Kuta Selatan didominasi oleh lapisan kapur lepas sampai kapur keras, tetapi juga terdapat lapisan pasir dan lempung di dekat permukaan tanah. Selain itu, Kuta Selatan berada di area perbukitan yang tinggi, sedangkan air lautnya jauh di bawah lebih 100 m. Kondisi tersebut memengaruhi sulitnya air di Kuta Selatan.
Kelangkaan air ini semakin diperparah dengan masifnya pembangunan sarana-prasarana pariwisata di Kuta Selatan yang membutuhkan air dalam jumlah besar. Luh Sari, perempuan asal Ungasan, menuturkan kegelisahannya saat ia kesulitan memenuhi kebutuhan air untuk konsumsi rumah tangga ketika air PDAM mati berbulan-bulan di rumahnya.
“Aku ingat, waktu itu [2013] air mati saat pembangunan lagi masif, ada dua hotel, Max One Hotel dan Jimbaran View, yang baru dibangun. Air mati, tiga sampai enam bulan,” tutur Luh Sari, lewat telepon pada Selasa, 21 Mei 2024.
Distribusi air bersih yang diprioritaskan untuk bisnis pariwisata kerap berdampak buruk terhadap suplai air untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Tarik menarik pemenuhan kebutuhan atas air ini memunculkan konflik antara dua kelompok kepentingan–masyarakat dan industri pariwisata–dalam merebut akses, pemanfaatan, dan pengelolaan air bersih di Kuta Selatan.
Air Bukan Barang Komersil dan Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat atas Air Bersih merupakan Hak Asasi Manusia
Dalam Kovenan Dewan Ekonomi, Sosial, dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) nomor 15 tahun 2002 menyatakan bahwa air adalah sumber daya alam yang terbatas, serta merupakan ‘barang publik’ yang penting bagi kehidupan dan kesehatan. Hak asasi manusia atas air sangat diperlukan untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. Hal ini merupakan prasyarat bagi terwujudnya hak-hak asasi manusia lainnya. Air harus diperlakukan sebagai ‘barang sosial dan budaya,’ dan bukan sebagai barang ekonomi.
Jauh sebelum kovenan tersebut terbit, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengamanatkan setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pemenuhan kebutuhan atas air bersih bersifat esensial agar masyarakat dapat hidup layak dan sehat. Dalam hal hubungan negara dengan warganya, rakyat berposisi sebagai pemegang hak (right holder), sementara di sisi lain negara berkedudukan sebagai pengemban kewajiban (duty holder). Kewajiban negara yang mendasar adalah melindungi dan menjamin hak asasi warganya (rakyat) di mana salah satunya adalah hak atas air, mengupayakan pemenuhan secara positif atau menjamin akses rakyat atas air yang sehat.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 menafsirkan pemaknaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terkhusus mengenai sumber daya air membawa kesimpulan bahwa akses terhadap air merupakan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, Mahkamah pun kemudian menegaskan bahwa sebagai bagian dari hak asasi, maka negara wajib menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfil). Mahkamah juga menekankan bahwa ketiga aspek hak asasi atas air tersebut tidak hanya menyangkut kebutuhan sekarang tetapi juga harus dijamin kesinambungannya untuk masa depan karena menyangkut eksistensi manusia.
Kendati demikian, pemerintah justru abai dalam menjalankan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Badung utamanya masyarakat Kuta Selatan. Hingga tulisan ini terbit, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Mangutama, Badung, tidak memberikan respon saat akan diwawancarai terkait langkah pemerintah dalam mengatasi kelangkaan dan buruknya kualitas air utamanya yang dihadapi oleh masyarakat Kuta Selatan.
Pada tahun 2017, Saputri dan Pertiwi, meneliti terkait Relasi Bisnis dan Politik: Studi Kasus Gejala Krisis Air Bersih di Badung Selatan, Bali. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pada tahun 2016, Kabupaten Badung mengalami kekurangan air bersih 394 liter/detik dan tidak pernah mengalami surplus air bersih. Sementara, di kawasan Badung Selatan tingkat kekurangan air bersih mencapai 163 liter/detik.
Alih-alih melakukan inovasi pembangunan infrastruktur air agar masyarakat Kuta Selatan memiliki akses yang mudah dalam pemenuhan kebutuhan air rumah tangga, justru pemerintah memaksa masyarakat agar tunduk terhadap skema komersialisasi air. Gagasan mengenai komersialisasi air menimbulkan konsepsi baru tentang air yang semulanya merupakan barang publik yang dapat diakses dan dimanfaatkan secara inklusif oleh masyarakat, kini berubah haluan menjadi barang ekonomi yang diperjual-belikan. Pun demikian, air bersih hanya dapat dinikmati oleh pemodal industri pariwisata.
“Pola pelanggaran hak atas air berupa perubahan paradigma bahwa tanah-air adalah res commune (barang publik) di mana rakyat adalah pemiliknya menjadi res nullius yang seolah-olah tidak ada pemiliknya kecuali sudah ada yang mengklaim bahwa itu miliknya. Akibatnya air menjadi barang komoditas yang bisa diperjualbelikan,” jelas Muhammad Reza Sahib, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), via telepon, pada Senin, 10 Juni 2024.
Reformasi neoliberal mengubah tata kelola sumber daya milik bersama menjadi hak milik pribadi. Praktik neoliberal ini dijalankan melalui skema privatisasi, deregulasi, komersialisasi, marketisasi, dan/atau korporatisasi. Menurut Karen Bakker dalam The “Commons” Versus the “Commodity”: Alter-globalization, Anti-privatization and the Human Right to Water in the Global South, privatisasi sumber daya air dilakukan melalui pengalihan kepemilikan sistem penyediaan air bersih (negara) kepada perusahaan (swasta) dan kerja sama kemitraan publik-swasta berupa pembangunan, pengoperasian, serta pengelolaan sistem pasok air [dimiliki] oleh perusahaan swasta.
Pada simposium Perlindungan Lingkungan dan Hak Asasi Manusia tahun 2007, Malgosia Fitzmaurice, menyebut privatisasi air memiliki efek negatif pada kemampuan negara untuk memenuhi hak masyarakat atas air. Privatisasi menggeser tanggung jawab negara agar lebih memprioritaskan kepentingan investasi daripada layanan sektor publik. Tanggung jawab pemenuhan kebutuhan air kemudian dialihkan ke penyedia layanan air (dalam hal ini pihak swasta). Penguasaan air yang didominasi oleh pihak swasta menyebabkan pasokan air menjadi kurang terjangkau oleh masyarakat kecil.
Dalam riset Hikmah Trisnawati tentang Dampak Perkembangan Infrastruktur Pariwisata terhadap Konflik Air di Kabupaten Badung dan Tabanan, menunjukkan praktik liberalisasi air di Bali pertama kali dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1908, bermula dari penerapan pajak hasil pertanian dan pariwisata. Kemudian, air dilirik sebagai komoditas unggulan bagi pengembangan pariwisata. Pasca kemerdekaan, air yang semula digunakan untuk pertanian dikelola oleh pengurus subak (sistem irigasi pertanian), tanpa adanya intervensi pemerintah. Tahun 1960 hingga 1980-an, pemerintah Indonesia berusaha untuk merehabilitasi bangunan irigasi untuk meningkatkan produksi pertanian, disusul pada tahun 1990 para petani menuntut agar pengelolaan air dikembalikan kepada petani oleh karena pengelolaan air pada kala itu dilakukan oleh perusahaan swasta. Selanjutnya, tahun 1998 pemerintah melakukan manajemen pembagian air antar sektor dan hingga saat ini pengelolaan air bersih dikelola oleh PDAM.
Masyarakat Kuta Selatan Kesulitan Mengakses Air Bersih
Masyarakat Kuta Selatan memiliki tiga upaya dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Yang pertama, melalui sumur bor. Air bersih hanya dapat diakses oleh segelintir pihak yang memiliki modal. Hal ini dapat dilihat dari biaya sumur bor sebesar Rp 180.000.000,- yang setara dengan biaya tagihan air PDAM selama 900 bulan, dan/atau setara dengan harga 720 buah tangki air. Apabila dikalkulasikan, biaya sekali pembuatan sumur bor belum termasuk dengan biaya perawatannya, setara dengan biaya untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat selama 60-75 tahun.
Berdasarkan laporan Kecamatan Kuta Selatan dalam Angka (2021), jumlah keluarga yang menggunakan air minum dari sumber sumur sebanyak 1719 keluarga. Laporan ini tidak meninjau jumlah sumur bor untuk kebutuhan industri pariwisata, hanya sebatas pada pemantauan sumur untuk konsumsi rumah tangga. Padahal, laporan terkait penggalian sumur untuk pemenuhan air bisnis pariwisata penting untuk dikaji agar pembangunan infrastruktur air tidak dilakukan secara curang dan menjamin keadilan lingkungan.
Kemudian kedua, masyarakat Kuta Selatan berlangganan air PDAM. Distribusi dan sistem tagihan air oleh PDAM ke masyarakat begitu buruk. Per tahun 2020, berdasarkan laporan Kecamatan Kuta Selatan dalam Angka (2021), jumlah keluarga yang menggunakan air minum dari PDAM sebanyak 14.966 keluarga. Luh Sari, salah satu pelanggan PDAM Tirta Mangutama Badung, menyampaikan bahwa air PDAM tidak mengalir setiap hari dan 24 jam, namun hanya di waktu-waktu tertentu saja.
“[Air] hidup satu kali dalam beberapa hari gitu dan tidak tentu jamnya. Jadi kadang lebih sering malam sih, malam jam 10.00 atau jam 01.00, atau jam 02.00 pagi. Biasanya ibuku atau aku yang begadang untuk nungguin air [hidup]. [Masalah yang lain] misalnya, kita buka keran keluarnya angin saja, tapi itu dihitung, jadi itu bayar juga. Aku dan ibuku harus ngecek setiap berapa jam sekali gitu loh. Kita enggak bisa cuma asal buka keran, karena kalau keluar angin, itu terhitung kita memakai air PDAM, padahal enggak ada airnya,” jelas Luh Sari.
Selain distribusi air yang buruk, kualitas air yang dialirkan oleh PDAM ke masyarakat tidak layak konsumsi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ketut Rendra bahwa air PDAM itu kotor dan berwarna keruh. Sebagai pelanggan yang setiap bulan membayar tagihan, Rendra berupaya melaporkan masalah kualitas air tersebut ke PDAM, namun pelayanan lembaga pemerintah tersebut membuatnya kecewa.
“Ya pakai saja [air PDAM yang kotor]. Kalau sudah berusaha untuk melapor gitu, tapi responnya tidak bagus, atau bahkan tidak ada respon atau bagaimana, saya jadi enggak pernah lapor, paling pas airnya nggak ada, baru saya cari informasi dari PDAM ini,” kata Rendra.
Tak hanya baru dirasakan sekarang oleh masyarakat Badung, kualitas air PDAM yang buruk tersebut telah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Berdasarkan data PDAM (2010) dalam Hikmah Trisnawati (2012), pada tahun 2008 terdapat 4.964 pelanggan PDAM yang protes. Protes yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal seperti saluran air yang macet, kerusakan pipa air, akan tetapi yang paling sering terjadi yakni polusi air. Sehingga masyarakat menerima air yang dianggap kotor, yang dapat disebabkan oleh pipa yang kotor atau memang kondisi air yang kotor.
Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi air di kawasan wisata Kuta Selatan dan ITDC Nusa Dua. Air yang dikeluarkan bisa terbilang sangat melimpah dan tidak pernah mati serta berwarna keruh. Mella, pekerja industri pariwisata di ITDC, menyebut biaya yang dikeluarkan tempat kerjanya untuk berlangganan PDAM tidak tanggung-tanggung mencapai puluhan juta per bulan.
“Besar banget sih [konsumsi air di Kawasan ITDC] bisa dibilang ya. Kita kan nyuci pake air [nyuci piring dan segala macam], kemudian ada kolam juga di depan itu, kolam air biasa gitulah, di kitchen itu juga butuh banyak air. Jadi kita tuh masif banget sih kalau soal air. Jadi dari jam 9 sampai jam 12, air itu masif sekali dipakai dan kita tuh ada beberapa air mancur kecil gitu lah untuk hiasan, jadi emang penggunaan air itu cukup banyak,” ujar Mella via telepon pada Senin, 3 Juni 2024.
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Mella, seorang pekerja pariwisata di Kuta Selatan, Reno, juga menuturkan bahwadi lokasinya bekerja menggunakan air PDAM dan sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air wisatawan. Air tersebut berkualitas bagus dan jarang terjadi mati air.
“Kalau untuk kolam renang itu setiap villa ada kolam renang pokoknya ada 72 kolam renang. Itu di masing-masing villa. Kalau untuk pool atau kolam utama itu ada satu aja. So far, kalau dari aku selama join belum pernah ada yang namanya air mati, terutama di villa ya, untuk tamu bakal kita usahain akan terus hidup. Tapi seminggu atau dua minggu yang lalu pernah ada kejadian di villa airnya itu keruh. Tamunya complain dan emang kita udah langsung follow up di hari tersebut ke engineering-nya.” tutur Reno via call WA pada Senin, 3 Juni 2024.
Dan yang ketiga, membeli air dari mobil tangki air keliling. Karena distribusi air PDAM yang buruk dan airnya sering kotor, masyarakat Kuta Selatan mau tidak mau, walaupun lebih mahal daripada air PDAM, terpaksa membeli air dari mobil tangki air keliling. Ketut Rendra harus merogoh kocek setara dengan tagihan air PDAM sebulan untuk satu kali beli air tangki. Ia mengakui bahwa satu tangki hanya cukup untuk mengakomodir kebutuhan rumah tangga selama dua minggu. Sedangkan tagihan air PDAM sebulan mencapai ratusan ribu rupiah.
“Saya juga tinggalnya bersama anak istri jadi kan kebutuhan air itu sangat penting. Jadi untuk untuk keseharian saya sekarang beli ya di dagang air tangki itu. Harganya juga nggak begitu murah, satu tangki Rp 250.000, itu kurang lebih untuk dua minggu saja,” keluh Ketut Rendra.
Ia juga menginformasikan air tangki keliling langganannya mengaku bahwa air tersebut didapatkan dari sumur bor di daerah Mumbul, Nusa Dua.
Berdasarkan pemantauan penulis, setidaknya terdapat 12 perusahaan air tangki di Kuta Selatan yang menyediakan air utamanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Perusahaan air tersebut di antaranya adalah Air Tangki Mahendra, Ardi Supplier Air Tangki Bersih, Prsetya Air Tangki Jimbaran, Depo Air Minum Tirta Mandala, dan Eka Tirta Semesta. Swastanisasi air ini menunjukkan monopoli air di kawasan Kuta Selatan justru diprioritaskan untuk kepentingan profit, alih-alih dikelola oleh pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Monopoli Air untuk Kepentingan Industri Pariwisata di Bali Selatan
Nastiti dkk (2022) dalam penelitiannya tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Berkelanjutan di Bali Bagian Selatan, menemukan bahwa salah satu faktor utama penyebab kerusakan sumber daya air di Bali adalah perkembangan industri pariwisata yang begitu pesat. Dominasi industri pariwisata dan pertanian mengakibatkan terjadinya erosi serta kontaminasi limbah industri.
Riset ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali tahun 2022, yang menunjukkan tingginya sarana-prasarana pariwisata di kabupaten Badung berjumlah 380 hotel bintang, 134 hotel dan 158 penginapan. Menariknya, dalam laporan ini diterangkan jumlah konsumsi air di sektor industri sebesar 1.676 m3, jauh lebih kecil dibanding penggunaan air bersih di sektor rumah tangga yang mencapai 13.385 m3. Lebih tinggi di tahun sebelumnya, konsumsi air di sektor industri di Badung pada tahun 2021 sebesar 2.094 m3. Padahal, pada laman resmi itdc.co.id disebutkan bahwa kebutuhan air bersih khusus di Nusa Dua saja tahun 2021 diperkirakan mencapai 10.000 m3.
Konsumsi air bersih dalam jumlah besar pada sektor industri pariwisata tidak hanya terjadi di tahun 2022, namun telah berlangsung sejak lama hingga saat ini. WALHI Bali mengeluarkan laporan tahun 2010 tentang Krisis Air di Bali dan Konflik yang Menyertai. Laporan ini mencatat Kuta Selatan sebagai kecamatan yang menggunakan air tanah terbesar di Badung Selatan. Pasokan air ke kawasan Kuta Selatan khususnya Bali Tourism Development Corporation (BTDC) [sekarang ITDC] sebesar 1300-3000 m3/hari. Pasokan ini berbanding terbalik dengan konsumsi air bersih rumah tangga yang hanya menghabiskan rata-rata 1 m3/hari. Hal ini bermakna bahwa konsumsi air bersih dari ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) setara dengan konsumsi 1.300 KK.
Jumlah Penggunaan Air Bersih di Kabupaten Badung pada Tahun 2022 berdasarkan Data BPS Kabupaten Badung
Menurut pengamatan Reza, Koordinator Nasional KRuHa, menilai bahwa pemerintah daerah di Bali memberikan karpet merah terhadap investor di sektor industri pariwisata dalam pemanfaatan air seluas-luasnya, alih-alih memprioritaskan pemenuhan air untuk kebutuhan rumah tangga.
“Dalam pertumbuhan ekonomi berbasis pariwisata industrial seperti yang terjadi di Bali, sistem air itu dibangun untuk mengasuh kawasan wisata. PDAM [sebagai] alat negara atau alat pemerintah di Bali itu di disintensifikasi. Jadi, dia [air yang dikelola PDAM] dipaksa komersial tapi pelanggan komersialnya itu enggak diberikan anjuran dari Bapenda [Badan Pendapatan Daerah], yang mengumpulkan pajak air tanah, agar mempermudah industri dan investasi di sektor pariwisata, disilahkan bahkan dianjurkan, untuk pakai air tanah dan bayar ke PDAM,” jelas Reza.
Hasil focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Badung bersama pemerintah pusat pada 12 Juni 2024 terkait Pengelolaan Sumber Daya Air menunjukkan pengusaha marak memanfaatkan air bawah tanah. Di tengah tingginya pemanfaat air untuk kepentingan bisnis tersebut, masih banyak pengusaha yang belum mengurus izin atas pemanfaatan air. Namun demikian, Pemkab Badung memberikan kesempatan kepada para pengusaha untuk memenuhi syarat izin pemanfaatan air hingga bulan Juni tahun 2026.
Monopoli air untuk pemenuhan kebutuhan industri bisnis pariwisata memengaruhi jumlah air untuk pemenuhan air rumah tangga. Sebagaimana yang dikatakan oleh I Wayan Redana, Ahli Hidrologi Universitas Udayana, penggunaan air bersih yang tinggi untuk kebutuhan pariwisata berdampak pula pada tarif harga air untuk konsumsi rumah tangga.
“Kalau memengaruhi konsumsi rumah tangga ya memengaruhi. Harga air akan semakin naik, dan lain sebagainya, atau air mulai kesulitan,” tegas I Wayan Redana, saat ditemui di Fakultas Teknik, Unud, pada Selasa, 21 Mei 2024.
Menuntut pemerintah agar menjalankan model pengelolaan air alternatif berbasis negara-komunitas (public-community partnerships)
Jaringan masyarakat sipil di dunia untuk keadilan air berusaha menerapkan skema kemitraan alternatif berbasis negara-komunitas (public-community partnerships disingkat PCPs). Tujuannya adalah untuk melindungi, meningkatkan dan memperluas pengelolaan air sebagai barang milik bersama, mengoptimalkan pelayanan air demi kepentingan publik, meningkatkan partisipasi masyarakat dengan prinsip kesetaraan akses atas air, serta menjamin keberlanjutan sumber daya air.
Karen Bakker melihat adanya urgensi peralihan dari model PPPs ke PCPs atas air yaitu pertama, skema PPPs memberikan dominasi kontrol pengelolaan sumber daya air yang besar terhadap pihak swasta tanpa melibatkan masyarakat, maka masyarakat harus patuh pada kepentingan pasar; kedua, air memiliki dimensi spiritualitas dan budaya yang terkait erat dengan tradisi atau adat istiadat setempat, oleh karena itu pengelolaan dan layanan penyediaan air tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta secara penuh maupun melalui kemitraan negara-swasta yang cenderung berpihak kepada korporasi; dan yang ketiga, konservasi untuk keberlanjutan sumber daya air hanya akan efektif dilakukan melalui penerapan etika solidaritas kolektif dalam menjaga, merawat, serta melindungi alam.
Alih-alih menghilangkan peran negara, model PCPs menuntut negara agar melakukan reformasi tata kelola air dengan memperhatikan pengelolaan sumber daya air oleh komunitas lokal. Skema ini juga dapat mengatasi permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh neoliberalisasi-antroposentris, di mana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan atas air namun juga dibatasi oleh norma, nilai spiritual, maupun tata kelola ekologi yang ramah lingkungan.
Implementasi dari model PCPs di atas dapat dilihat dalam penelitian I Gusti Ngurah Kerta Arsana dkk tentang Keberlanjutan Pengelolaan Penyediaan Air Minum Perdesaan Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Lingkungan Wilayah (Studi di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali). Riset tersebut menunjukkan strategi peningkatan implementasi Tri Hita Karana sangat berdampak baik terhadap ketahanan lingkungan dalam pengelolaan penyediaan air minum perdesaan (PAM Des) di Kabupaten Buleleng Bali. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi mencapai 70,11 persen.
Strategi peningkatan implementasi Tri Hita Karana pada dimensi ekologi dan sosial budaya dilakukan pelaksanaan imbal antara pengelola PAM Des dengan pemilik lahan sumber mata air, pelaksanaan upakara magpag toya, tumpek wariga, partisipasi masyarakat terhadap PAM Des, penggunaan air sesuai kebutuhan, penyesuaian tingkat kebutuhan air masyarakat dan kepedulian masyarakat terhadap prasarana PAM Des.
Memelihara dan Merawat Air di Hulu untuk Ketersediaan Air di Hilir
Berdasarkan dokumen Status Daya Dukung Air Pulau Bali oleh KLHK (2021), sumber daya air di Bali dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu untuk air permukaan (sungai dan danau) serta air bawah permukaan atau air tanah. Bali memiliki sejumlah empat danau, yaitu Danau Beratan, Danau Buyan, Danau Tamblingan, dan Danau Batur. Selain sumber air danau, potensi kesediaan air di Provinsi Bali dapat berasal dari mata air, air sungai dan air tanah. Jumlah mata air di Bali mencapai 570 buah dengan total debit air yang dikeluarkan mencapai 442,39 juta m3 per tahun. Mata air ini menjadi sumber air dari 315 buah sungai dengan panjang total mencapai 3.756 Km. Total tampungan air danau dan waduk di Provinsi Bali mencapai 1,036 juta m3 yang digunakan untuk irigasi dan keperluan konsumsi penduduk.
Sungai-sungai yang terdapat di wilayah Provinsi Bali secara keseluruhan membentuk satu Wilayah Sungai yaitu Wilayah Sungai Bali-Penida. Dinas PU Provinsi Bali (2011) dalam KLHK (2021), di Bali mencatat 401 batang sungai dimana 162 sungai bermuara di laut. Hanya saja dari sejumlah 401 batang sungai tersebut, kurang dari 11% sungai yang memiliki debit aliran pada musim kemarau.
Daerah aliran sungai merupakan suatu wilayah daratan yang satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya. Berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Terbaginya fisiografi Pulau Bali oleh pegunungan yang membentang dari barat hingga timur pulau ini memberikan implikasi sistem sungai di Pulau Bali mengalir dari utara ke selatan di belahan selatan pulau dan dari selatan ke utara di belahan utara pulau. Di tengah kelangkaan air bersih di Bali Selatan karena kondisi geografis, maka perlu kerja-kerja pemeliharaan air di utara agar air dapat terus mengalir ke selatan. Salah satu cara untuk memelihara air tersebut adalah melalui konservasi bambu di wilayah hilir.
Bambu dipercayai sebagai penyembuh lahan. Bambu dapat tumbuh di lahan kritis ataupun rusak dan berperan dalam perbaikan kondisi tanah. Selain sebagai penyembuh lahan, bambu juga berperan besar dalam hal penyimpanan air yang mampu menyimpan hingga 3.600 liter air. Bambu merupakan bagian dari familia Poaceae atau yang lebih dikenal dengan keluarga rumput-rumputan dan dapat tumbuh dalam waktu yang singkat dibandingkan tanaman kayu-kayuan. Bambu juga memiliki akar rimpang yang sangat kuat menjadikan bambu dapat mengikat tanah dan air dengan baik dengan serapan air hujan sebanyak 90%.
Hutan Bambu Sandan, Tabanan
Hutan Bambu Sandan merupakan wilayah konservasi bambu yang berada di bawah pengawasan Perhutanan Sosial dengan luas sekitar 100 hektare. Terdapat sekitar 23 jenis bambu yang dikonservasi di hutan tersebut yang memiliki berbagai macam karakteristik mulai dari bambu dengan batang berwarna kuning, batang lebar dan besar, bahkan ada bambu-bambu dengan batang kecil yang kesemuanya hidup berumpun. Dalam satu rumpun bambu terdapat setidaknya 27-36 batang bambu yang masing-masing batang dan setiap akarnya dapat menyimpan sekitar 100 liter air.
Siklus hidup bambu dari tunas-pembibitan
Penanaman bambu relatif mudah untuk dilakukan. Bambu bahkan dapat ditanam di lahan kering dan gersang namun dengan perawatan yang lebih ekstra. Sedari usia 1 (satu) tahun, bambu mampu meresap air hujan menjadi cadangan penyimpanan air tanah. Bambu dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kuantitas air tanah bagi daerah hilir dengan tipologi tanah gersang. Pada saat musim hujan bambu menyerap air hujan dan menampungnya di bagian batang dan juga akarnya. Begitu musim panas tiba, bambu melepaskan air yang telah tersimpan di batang dan akar ke tanah. Air yang dilepaskan oleh bambu itulah yang menjadi sumber air tanah.
Tahun 1993, Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL) didirikan untuk mengkampanyekan bambu sebagai solusi ekologi dan ekonomi bagi sejumlah masalah lingkungan yang terjadi di Indonesia seperti degradasi lahan, krisis lahan, bencana alam, perubahan iklim, serta kemiskinan di daerah perusahaan. Pada tahun 2023, YBLL menjadi mitra masyarakat sekitar Hutan Bambu Sandan dan memberdayakan masyarakat serta membantu dalam proses konservasi dan pembibitan bambu di Hutan Bambu Sandan.
Sebelum ditanami bambu, Desa Sandan mengalami kekeringan air yang berkepanjangan dan berakibat terhadap pemenuhan kebutuhan air sehari-hari masyarakat. Pada tahun 2003, masyarakat Desa Sandan mulai melakukan pembibitan bambu yang didukung oleh bantuan dari pemerintah daerah terutama Dinas Kehutanan yang dilakukan di atas lahan seluas 100 Ha. Salah satu warga Desa Sandan merasakan perbedaan yang signifikan dari penanaman bambu terhadap kuantitas air.
“Dari hasil yang kami sudah tanam, melihat dari perubahan alam atau iklim di sini, dulu alam ini gersang ini hutan ini tandus tapi pepohonan sudah dibabat sama yang tidak bertanggung jawab ya, itu dibabat, tandus, langsung itu ditanamin bambu kelihatan bambunya seperti ini. Dampaknya untuk keuntungannya itu mata airnya itu besar, debit airnya besar jadinya petaninya di bawah, sawah dulu kering sekarang sudah bisa bercocok tanam misalnya seperti padi. Disini kan ada hujan ya, curah hujannya semakin tinggi. Disini dulu kering itu hujannya jarang, kelihatan kan terik mataharinya.” tutur Wayan Joko, pengurus Kelompok Tani Hutan Bambu Wana Lestari.