Memanen Air Hujan dan Biogas, Teknologi Tepat Guna bagi Petani Bali yang Terabaikan

Oleh Teja Wijaya dan Made Krisna Mahendra

Indonesia terdampak krisis iklim berupa kekeringan berkepanjangan yang mengakibatkan terjadi krisis air di berbagai belahan wilayahnya. Pada akhirnya kekeringan dan krisis air ini merembes kepada gagal panennya sumber pangan masyarakat Indonesia. Misal pada 2023, Bali mengalami cuaca kekeringan yang berkepanjangan akibat krisis iklim. Bahkan Kabupaten Bangli yang dikenal sebagai pemasok air utama Bali itu mengalami krisis air di beberapa desanya.

Sayangnya, penggunaan air di musim kemarau yang berkepanjangan menghasilkan berbagai masalah khususnya bagi petani di Bali. Belum lagi mereka harus berhadapan masalah dengan pupuk tanaman dan gas elpiji yang mahal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selama krisis iklim terjadi, masih belum ada solusi konkrit untuk menyelesaikan permasalahan dampak krisis iklim terutama mengenai permasalahan pertanian di Bali.

(Kondisi proyek energi terbarukan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Desa Jatiluwih, Tabanan yang terbengkalai)

Pemerintah daerah dan komunitas masyarakat di Bali pernah melakukan berbagai macam cara untuk mitigasi dan adaptasi dampak krisis iklim. Misalnya pengembangan teknologi tepat guna dengan memanfaatkan energi terbarukan seperti biogas, biomassa, pembangkit listrik tenaga surya, ataupun air/mikro hidro. Salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan sebagai proyek besar yang hanya bertahan sampai tiga tahun.

Pada tahun 2017, Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan dan Pemerintah Kota Toyama Jepang membangun proyek tersebut guna memanfaatkan potensi aliran air subak Jatiluwih menjadi energi listrik untuk masyarakat desa. Kini PLTMH sudah tidak beroperasi lagi karena rusak dan arus air untuk mengalirkan pembangkit tersebut tidak cukup untuk menghasilkan listrik.

Tak sedikit proyek besar lain mangkrak. Apa teknologi tepat guna dengan pemanfaatan energi terbarukan bagi kelangsungan hidup pertanian di Bali?

Teknologi sederhana

Wayan Jarmin (44) merupakan salah satu petani sayur-sayuran yang tinggal Banjar Bukit Catu, Desa Candikuning, Bedugul, Tabanan. Dia bersama keluarganya menanam komoditas sayur-sayuran seperti tanaman cabai, tomat, pokcoy, bawang prei, selada hijau, selada bulat, selada keriting, dan bayam brazil. Hasil panennya sering dipakai sebagai bahan pembuatan mix salad yang dijadikan konsumsi wisatawan, dan dijual ke beberapa hotel di Nusa Dua, serta dijual ke pemasok/tengkulak lewat orderan daring. Masa panen tanamannya punya jangka waktu antara satu-tiga bulan. Namun ancaman kekurangan air ada di depan mata, yang membuat dirinya memakai penampungan air hujan sederhana untuk kebutuhan pertanian.

Sebelumnya, ketika terjadi kekurangan air, Wayan Jarmin harus membeli air umtuk lahannya dengan harga Rp70 ribu / 1,1 ribu liter dari petani lain yang mengambil air di Danau Beratan Bedugul untuk memenuhi kebutuhan produksi tanaman sayur-mayurnya. “Kalau dulu, bulan Mei tahun 2019 ke bawah terjadi musim kemarau panjang, sehingga bisa beli air seharga Rp 2 juta setiap musim kemarau,” ujarnya.

(Wayan Jarmin yang menciptakan teknologi tepat guna energi terbarukan Sistem Pemanenan Air Hujan di Desa Candikuning, Bedugul, Tabanan)

Selain Wayan Jarmin, ada juga cerita petani lainnya yang berasal dari Banjar Linjong, Susut, Kabupaten Bangli bernama I Nengah Suwena (44). Dia merupakan petani sayur dan buah jeruk kintamani. Selain sebagai petani, dia juga beternak ayam dan sapi. Sapi yang ada di kebunnya berjumlah tiga ekor. Kendala yang dihadapi Suwena dan keluarganya sebagai petani adalah biaya untuk membeli pupuk tanaman dan gas elpiji. Rata-rata lahan seluas 21 are miliknya memerlukan biaya kurang lebih Rp 10 juta untuk membeli pupuk tanaman. Belum lagi gas elpiji 3 kg untuk empat sampai lima hari dengan harga Rp 18 ribu.

Kompor dengan sumber gas elpiji tersebut digunakannya untuk memasak nasi dan memasak air panas, tanpa memakai penanak nasi listrik. Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut Wayan Jarmin dan I Nengah Suwena mencoba membuat dan menggunakan teknologi tepat guna dengan pemanfaatan energi terbarukan. Wayan Jarmin telah mengembangkan Sistem Pemanenan Air Hujan (SPAH) pada 2019 dan 2021, sedangkan I Nengah Suwena telah mengembangkan Sistem Pemanfaatan Biogas sebagai solusi permasalahan untuk dapur rumah tangga.

Cara Kerja Sistem Pemanenan Air Hujan (SPAH)

Air hujan dapat dipakai sebagai energi terbarukan yang dapat dimaksimalkan pemanfaatannya apabila dikelola dengan baik. Menurut Data Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika Stasiun Klimatologi Bali, pada Januari 2019 – 27 November 2023 itu kualitas air hujan di Bali rata-rata berada di angka 5-7 pH kadar asam-basa sehingga air hujan cenderung netral artinya tidak asam maupun basa yang dapat bermanfaat bagi sektor pertanian.

(Sumber: https://staklim-bali.bmkg.go.id/?page_id=2227)

Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air untuk pertanian sudah dilakukan oleh para petani di Bali sejak lama, namun masih menggunakan sistem penunaian/pemanenan/penampungan sederhana. Wayan Jarmin telah mengembangkan SPAH modelnya sendiri, dan memakainya di dua lokasi berbeda. Pada lahan atas bukit, SPAH modern dibangun sejak tahun 2019, sedangkan pada lahan bawah, telah dibangun sejak tahun 2021 lalu. Pada lahan bawah bukit, SPAH itu bersebelahan dengan penampungan air hujan lama miliknya di area yang dulu dipakai untuk tanaman sayurnya. “Kalau penampungan air tradisional seperti ini pakai terpal hijau atau coklat untuk dasarnya,” katanya.

Wayan bercerita bahwa perbandingan penggunaan SPAH tersebut dengan sistem penampungan air hujan di tanah yang dia buat dulu, “Kalau dulu sebelum pakai (SPAH) ini kekurangan air, airnya kurang bersih juga. Dulu pakai penampungan biasa pakai terpal dan penyiramannya manual. Kalau pakai sistem tandon ini, siramnya pakai gaya gravitasi dia, jadi lebih santai nyiramnya, sesuai alur airnya saja,” jelasnya.

Dia juga menjelaskan ketika musim kemarau berkepanjangan itu penggunaan sistem SPAH ini airnya cukup untuk dipakai dalam satu bulan di lahan seluas 10 are, tergantung tanamannya. Tanaman sayur umumnya berjangka pendek dan tidak banyak air. Soal biaya fasilitas SPAH, dia memerlukan biaya total kurang lebih 10 juta rupiah untuk membeli instalasi seperti tandon penyimpanan air, pipa, filter, serta untuk pembiayaan pembelian pondasi seperti bahan batako, bis silinder, besi, dan semen.

Dia menceritakan bahwa sekarang kebanyakan petani disini sudah memakai air PDAM untuk kebutuhan bertani dan sehari-hari, kecuali petani yang mempunyai lahan di atas bukit dan belum tersentuh air PDAM sehingga mereka masih membeli air. “Rata-rata bayar 100 ribu rupiah per bulan untuk bayar air PDAM,” tambahnya. Oleh karena itu, sistem SPAH dianggap efisien karena tidak memerlukan biaya tambahan lagi untuk penyediaan air.

(Gambar sebelah kiri merupakan sistem penampungan air hujan yang lama, dan gambar sebelah kanan merupakan sistem penampungan air hujan yang modern dalam satu tempat lahan milik Wayan Jarmin)

Cara kerja sistem penampungan air hujan itu dengan cara menyalurkan air hujan yang turun ke atap suatu bangunan rumah, bale, atau pondok dan melalui talang pipa PVC untuk disalurkan kepenampungan berupa tandon air ukuran 5500 Liter. Filter air juga dipasang untuk menyaring kotoran yang ada di pipa saluran. Apabila tangki air penampungan penuh, maka air hujan mengalir ke sumur resapan.

(Infografis Sistem Pengumpulan Air Hujan)

Efisiensi Ekonomi dan Lingkungan Pemanfaatan SPAH

Tampaknya, dalam hal ini, penggunaan SPAH terbukti dapat menjadi investasi jangka panjang yang bisa menghemat biaya lebih dari 8 juta rupiah per tahun, dengan efisiensi sebesar 14-45% dalam setahun (dengan catatan curah air hujan sebesar 100 mm), dan catatan jumlah air yang dibutuhkan 15-24 riu liter per bulan.

Perbandingan penggunaan SPAH dan tanpa SPAH
Asumsi dan Data
Menggunakan SPAHTidak Menggunakan SPAH
Biaya pembangunan SPAH kurang lebih Rp10 juta (termasuk tandon air 5500 liter, pipa, bis, semen, besi untuk pondasi, dan sebagainya).Perkiraan penggunaan air per bulan sekitar 15.000-24.000 liter (asumsi jika menyiram air setiap hari). Harga air sebesar Rp 70.000 per 1.100 liter air. Biaya pembelian air per bulan jika pakai 15.000 liter seharga Rp 980.000 per bulan dan Rp 11.760.000 per tahun. Biaya pembelian air per bulan jika pakai 24.000 liter seharga Rp 980.000 per bulan dan Rp 18.480.000 per tahun.

Selain itu, SPAH mempunyai manfaat bagus bagi alam atau lingkungan selain efisiensi ekonomi bagi petani. Pemanfaatan SPAH merupakan salah satu bentuk bagaimana kita memitigasi dampak krisis iklim, dengan cara mengurangi ketergantungan konsumsi air tanah dan air danau. Masifnya penggunaan air tanah dan air danau bagi industri pertanian, pariwisata, dan rumah tangga di Bali mengakibatkan kerusakan ekosistem lingkungan tanpa masyarakat sadari.

Berdasarkan hasil riset IDEP bersama Politeknik Negeri Bali tahun 2018, muka air tanah beberapa wilayah di Bali khususnya Bali bagian selatan itu telah mengalami penurunan lebih dari 50 meter selama 10 tahun belakangan ini. Riset tersebut juga menjelaskan bahwa muka air permukaan seperti danau dan sungai itu mengalami penurunan 3,5 meter hingga 5 meter dalam waktu tiga tahun. Sejatinya, Bali akan mengalami bom waktu krisis air bersih yang parah jika pemerintah dan masyarakatnya terus mengabaikan masalah masifnya penggunaan air tanah dan air danau.

Pemanfaatan teknologi tepat guna SPAH juga sebagai salah satu langkah kita beradaptasi dampak krisis iklim, dengan cara memanen dan menyimpan cadangan air hujan. Ketika musim kemarau tiba, petani tidak kesulitan mendapatkan air karena mereka menyimpan cadangan air hujan untuk kebutuhan lahan mereka.

Cara Kerja Pemanfaatan Biogas

I Nengah Suwena telah membangun teknologi tepat guna biogas pada 2017, dan beroperasi pada 2018. Suwena membutuhkan biaya pembangunan biogas sebesar kurang lebih Rp 10 juta saat itu. Mulai dari pemasangan instalasi biogas dari reaktor sampai dengan saluran dan kompor khusus energi biogas. Suwena menceritakan cara kerja pemanfaatan biogas ini dari hulu hingga ke hilir. Pertama-tama dia mengambil seember kotoran dari sapi ternaknya.

Jadi sebelum masuk ke reaktor biogas, dia memasukkan kotoran tersebut ke wadah pencampuran dengan air menggunakan perbandingan 1:1 untuk satu ember kotoran sapi dengan satu ember air. Dia kemudian mengaduk kombinasi campuran tersebut, dan ketika sudah encer, dimasukkan ke dalam reaktor biogas. Reaktor biogas miliknya dapat menampung empat kubik/m3 campuran kotoran ternak dan air.

Proses reaksi tersebut membutuhkan waktu sejam untuk menghasilkan gas metana dengan bantuan suhu atau cuaca yang hangat. Gas metana inilah yang dijadikan bahan menghidupkan kompor gas untuk keperluan memasak.

(Infografis Proses Produksi Biogas dan Bio-Slurry)

Proses reaksi tersebut membutuhkan waktu sejam untuk menghasilkan gas metana dengan bantuan suhu atau cuaca yang hangat. Gas metana inilah yang dijadikan bahan menghidupkan kompor gas untuk keperluan memasak. Hasil reaksi kimia dalam reaktor tersebut, otomatis mengeluarkan slurry yang kita kenal sebagai ampas atau limbah biogas. Slurry ini digunakan untuk bahan pupuk organik bagi tanaman sayuran dan buah-buahan.

Slurry itu bersifat padat dijadikan pupuk pada untuk tanah. Biasanya dicampur dengan tanah sebelum tanah tersebut ditanami bibit sayur maupun buah-buahan. Slurry padat tersebut bisa dicampurkan dengan air dengan perbandingan 1:1 untuk menghasilkan pupuk cair. Pupuk cair ini juga digunakan untuk memelihara bibit tanaman sayuran dan buah.

(Bagian-bagian dari proyek biogas, mulai dari tempat percampuran kotoran dengan air, reaktor biogas dalam tanah yang dipasang pipa gas, tempat limbah biogas, hingga kompor biogas)

Dengan adanya sistem biogas, Suwena tidak lagi membeli gas elpiji 3 kg. Oleh karena dia telah memanfaatkan kompor biogas dan sesekali memakai kompor kayu bakar untuk keperluan memasak. Kami diajak Suwena untuk melihat bibit kacang polong yang dia tanam sambil memperlihatkan cara menyiram bibit menggunakan pupuk organik atau pupuk kandang cair hasil slurry biogas. Slurry biogas ini dapat menghasilkan pupuk untuk 21 are dari 41 are lahan pertaniannya, sehingga dia bisa menghemat pengeluaran kurang lebih Rp 10 juta.

Pemasangan Instalasi Proyek Biogas (Berdasarkan perhitungan dan temuan kami di lapangan)
KelebihanKelemahan
Biaya investasi untuk jangka panjang bagus. Hasil ampas dari reaksi kimia biogas bisa digunakan untuk pembuatan pupuk, sehingga petani bisa menghemat pembelian pupuk. Tidak memerlukan gas elpiji yang setiap saat akan dibeli.Masih tergantung dengan cuaca panas matahari. Harus berkelanjutan untuk pembuatan biogas. Pembuatan biogas min H-1 penggunaan. Instalasi kompor biogas gas yang khusus dan belum banyak diperjualbelikan di pasar.

Walaupun sistem biogas ada kelebihannya, namun pada penerapannya ada tantangan yang mesti dihadapi Suwena dan keluarganya. Sistem biogas bergantung pada cuaca, sehingga saat musim hujan deras, tanpa adanya sinar matahari atau pun cuaca hangat, kerja biogas sering macet. Hal itu disebabkan karena harus ada reaksi terjadi pada saat pemasukan bahan kotoran dan air ke dalam reaktor.

Kendala selanjutnya, yaitu komponen atau instalasi kompor biogas yang berbeda dari komponen kompor lainnya, “Kemarin waktu macet kompor biogas, pakai gas elpiji lagi itu kemarin 2023 akhir baru diperbaiki, sekitar tahun 2022 lah macetnya,” kata Suwena.

Made Sudana, selaku pendamping Suwena dari IDEP Foundation menambahkan bahwa jarang ada kompor biogas yang dijual di pasar karena diperlukan instalasi khusus. Pembeliannya pun melalui jaringan toko tertentu, sehingga dia bersama jejaringnya mendampingi Suwena untuk instalasi dan pengoperasian biogas.

Efisiensi Ekonomi Penggunaan Sistem Biogas

Perbandingan penggunaan biogas dan gas LPG per tahun tanpa biaya pupuk
BiogasGas LPG
Biaya awal: Rp 10 juta Biaya kontinuitas: asumsi Rp 20 ribu per bulan Penggunaan: setiap hari Biogas: Rp 10.240.000 pada tahun pertama Tahun kedua dan tahun selanjutnya hanya memerlukan biaya Rp240.000,00 per tahun.*Biaya awal: Rp 20.000 *Biaya kontinuitas: Rp 20 ribu/4-5hari Total Penggunaan Gas LPG: rata-rata Rp 1,460,000.00 sampai dengan Rp 1,820,000.00 per tahun.
*Harga gas elpiji 3 kg di beberapa wilayah Bali berada di kisaran Rp 18-22 ribu sehingga ambil median harganya Rp 20 ribu. *Pengalaman I Nengah Suwena menggunakan gas LPG sehari-hari.

Tampak tabel tersebut, penggunaan Biogas terbukti dapat menjadi investasi jangka panjang. Dan juga dari biogas sendiri bisa menghasilkan bio-slurry yang dimana bisa dipakai untuk pupuk tanaman sehingga bisa menghemat biaya pupuk juga. Biaya kontinuitas dalam penggunaan Biogas merupakan biaya operasional yang dibutuhkan untuk air, pakan ternak, serta perawatan biogas itu sendiri. Lalu, biaya kontinuitas untuk penggunaan gas biasa yaitu gas elpiji 3 kg merupakan biaya beli-ganti gas yang dilakukan Suwena dan keluarganya setiap empat-lima hari.

Kendati demikian, Biogas mempunyai manfaat luar biasa bagi lingkungan selain efisiensi ekonomi bagi petani. Sejatinya, krisis iklim disebabkan oleh perubahan iklim akibat tindakan manusia yang terus melepaskan gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana ke atmosfer. Pembentukan gas metana ini berasal dari sampah-sampah organik masyarakat maupun kotoran hewan ternak. Penumpukkan sampah dan kotoran yang tidak dikelola dengan baik bisa menjadi bom waktu bagi masyarakat dan lingkungan.

Pada 2023-2024, Bali tercatat pernah mengalami kebakaran beberapa tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di lima kabupaten/kota saat kemarau panjang, akibat buruknya pengelolaan sampah dan kotoran. Pemanfaatan biogas merupakan salah satu bentuk bagaimana kita dapat memitigasi dampak krisis iklim, dengan cara mengurangi dampak bencana krisis iklim yaitu kontrol pelepasan gas metana ke atmosfer. Pemanfaatan biogas juga sebagai bentuk bagaimana kita beradaptasi dampak krisis iklim dengan mengurangi ketergantungan energi tidak terbarukan seperti gas alam.

Tantangan dan Harapan Berdaya Energi Terbarukan Untuk Pertanian Alternatif di Bali

(Narasumber I Nengah Suwena bersama sapi ternaknya dan Made Sudana)

Made Sudana menyebutkan bahwa potensi energi biogas jarang dimanfaatkan oleh para petani. Biogas jarang dipasarkan karena memiliki biaya awal yang cukup mahal dan masih banyak masyarakat desa yang cukup menggunakan kayu bakar yang diambil dari kebun untuk keperluan sehari-hari di dapur. Baginya, uang Rp 10 juta itu lumayan mahal di masyarakat, karena ada banyak keperluan masyarakat seperti sekolah anak dan belum lagi biaya urunan di pura-pura.

Edward Angimoy, peneliti IDEP menjelaskan permasalahan tantangan pemanfaatan energi terbarukan dan kondisi pertanian di Bali itu dibagi ke dalam empat hal. Pertama, dari pemerintah hanya membuat inovasi teknologi pemanfaatan energi terbarukan sekali pakai tanpa mementingkan keberlangsungan pemanfaatan energi terbarukan tersebut. Contohnya proyek-proyek besar seperti PLTMH Jatiluwih yang akhir terbengkalai. Kedua, dari kondisi masyarakat itu belum merdeka secara ekonomi sehingga tidak bisa memikirkan inovasi pemanfaatan energi terbarukan kedepannya untuk adaptasi dan mitigasi dampak krisis iklim. Ketiga, inovasi teknologi tepat guna pemanfaatan energi terbarukan yang diberikan ke masyarakat masih bersifat ekslusif dan susah dijangkau masyarakat. Keempat, sejatinya ada hubungan timbal-balik bahwa krisis iklim dapat mengakibatkan hadir kerusakan ekonomi secara tidak langsung. Kerusakan ekonomi yang dimaksud adalah dampak krisis iklim yang berakibat terjadi krisis air, diikuti juga krisis energi dan krisis pangan.

Setiap permasalahan pasti ada solusi, Edward menjelaskan ada beberapa solusi yang dapat kita tempuh terkait tantangan pemanfaatan energi terbarukan yaitu Pertama, bagaimana kita membuat solusi sederhana yang sesuai dengan kondisi masyarakat sekitar. Kedua, membuat mitigasi untuk lingkungan selanjutnya sehingga tidak terjadi kerusakan lingkungan yang hilirnya adalah krisis iklim. Ketiga, pemerintah dan masyarakat harus bisa bersama-sama belajar untuk pengembangan inovasi pemanfaatan energi terbarukan terhadap lingkungan sekitar. Keempat, ada pola pikir yang harus dibuat bahwa setiap masalah pasti ada solusi yang dibawa, sehingga kita harus bisa mengamati dan memanfaatkan segala sumber daya yang ada.

Redaksi BaleBengong

Redaksi BaleBengong

Menerima semua informasi tentang Bali. Teks, foto, video, atau apa saja yang bisa dibagi kepada warga. Untuk berkirim informasi silakan email ke kabar@balebengong.id

Related Posts

Next Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kabar Terbaru

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.