Suatu aturan memuat sanksi di dalamnya, begitu pula dengan aturan adat yang memuat sanksi adat. Sanksi adat merupakan istilah yang dikenal oleh kalangan masyarakat tradisional atau masyarakat adat. Selain itu dikenal pula istilah “koreksi adat” atau “reaksi adat”.
Adapun di Bali sendiri, sanksi adat umumnya disebut danda atau pamidanda. Tujuan sanksi adat untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat.
Soepomo mengemukakan bahwa dalam hubungan dengan pengenaan sanksi, yang penting ialah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Tepatnya, antara golongan manusia dan seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan masyarakatnya.
Oleh karena pelanggaran adat (delik adat) dapat menimbulkan gangguan keseimbangan dalam kehidupan nyata maupun tidak nyata. Maka dalam hukum adat Bali dikenal golongan-golongan sanksi adat yang menyangkut perbaikan kehidupan alam nyata dan tidak nyata (sekala niskala) pula.
Sanksi adat atau danda di Bali adalah sanksi yang dikenakan oleh desa adat di Bali atau kelembagaan adat lainnya kepada seseorang atau kelompok orang dan atau keluarganya. Sanksi adat diberikan karena dianggap terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap norma adat dan norma agama Hindu. Ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan sekala (alam nyata) dan niskala (alam gaib) dalam masyarakat.
Oleh karena pelanggaran adat (delik adat) dapat menimbulkan gangguan keseimbangan dalam kehidupan nyata maupun tidak nyata, maka dalam hukum adat Bali dikenal golongan-golongan sanksi adat yang menyangkut perbaikan kehidupan alam nyata dan tidak nyata (sekala niskala) pula.
Ada tiga golongan sanksi adat yang dalam masyarakat Bali disebut pamidanda. Tiga golongan sanksi tersebut dikenal dengan sebutan tri danda, yang terdiri dari:
- Artha danda, yaitu tindakan hukum berupa penjatuhan denda (berupa uang atau barang);
- Jiwa danda, tindakan hukum berupa pengenaan penderitaan jasmani maupun rohani bagi pelaku pelanggaran (hukuman fisik dan psikis);
- Sangaskara danda, berupa tindakan hukum untuk mengembalikan keseimbangan magis (hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama)
Terdapat beberapa bentuk pamidanda yang dapat dikualifikasikan dalam tiga golongan pamidanda tersebut. Sekadar untuk menunjukkan beberapa contoh bentuk pamidanda, antara lain adalah dosa atau dedosan yaitu hukuman denda berupa pembayaran sejumlah uang (artha danda), kasepekang (jiwa danda), maprayascita, nyarunin desa yaitu kewajiban melakukan upacara keagamaan untuk menghilangkan leteh atau kekotoran gaib (panyangaskara danda), dan lain-lain.
Pada prinsipnya, pamidanda sebagai tindakan hukum bukanlah ditujukan untuk pembalasan atas tindakan melanggar hukum. Melainkan lebih ditujukan sebagai sarana untuk mengembalikan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat, baik dalam kehidupan dunia nyata (sekala) maupun dunia tidak nyata (niskala).
Sesuai dengan hakikat delik adat di Bali, yaitu berupa tindakan yang menimbulkan gangguan terhadap hubungan-hubungan Tri Hita Karana. Maka hakikat pamidanda di dalam hukum adat Bali sesungguhnya adalah bertujuan untuk mengembalikan keharmonisan hubungan-hubungan tersebut.
Cara sederhana untuk mengetahui jenis-jenis sanksi adat yang ada di Bali adalah dengan jalan mempelajari hukum adat Bali. Oleh karena itu, ada beberapa sumber yang dapat dijadikan acuan, yaitu sumber-sumber hukum adat Bali. Sumber hukum adat Bali untuk bagian tak tertulis dapat ditemukan melalui kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang telah lama hidup di dalam masyarakat Bali (dresta: kuna dresta, desa dresta, loka dresta).
Guna mengetahui prosesi hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka seseorang harus hidup di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan, mengamati apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Bilamana hal tersebut tak dapat dilakukan, maka dalam upaya menemukan hukum adat Bali dapat melalui pencarian terhadap sumber-sumber tertulis.
Sumber tersebut seperti di dalam awig-awig maupun pararem tercatat atau tertulis; sastra dresta (kitab-kitab agama), paswara (keputusan) Raja-raja Bali ataupun Pemerintah; Keputusan lembaga adat dan keagamaan, seperti Majelis Desa Adat, Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI); dan pendapat ahli atau tokoh-tokoh adat dan agama, seperti dapat dilihat dari laporan-laporan penelitiannya ataupun karya ilmiahnya.
Jenis Sanksi Adat
Berdasarkan sumber-sumber itulah, dapat diinventarisir jenis-jenis sanksi adat di Bali, sebagai berikut: kapademang (dibunuh); katugel limane (dipotong tangannya); pemarisuda, prayascita, pecaruan, dll (upacara pembersihan); mengaksama, mapilaku, lumaku, mengolas-olas, nyuaka (minta maaf); matirta gemana atau matirta yatra (melakukan perjalanan suci, untuk golongan pendeta); kaselong (dibuang ke luar kerajaan bahkan adakalanya ke luar Bali); mapulang ke pasih (ditenggelamkan ke laut); kablagblag (dipasung); katundung, kairid (diusir); kerampag (harta miliknya diambil paksa atau dirampas); kasepekang (tidak diajak ngomong / dikucilkan); ayahan panukun kasisipan (wajib kerja pengganti kesalahan).
Danda artha, seperti: dosa, danda saha panikel-nikelnya miwah panikel urunan. (denda berupa uang beserta denda-denda yang lain, ganti rugi benda-benda materiil; ganti rugi immateriil (mengawini gadis); kedaut karang ayahan desanya (diambil-alih tempat kediamannya yang berupa karang ayahan desa); kawusang mabanjar/madesa adat (diberhentikan sebagai warga desa/banjar); tan polih suaran kulkul matehin pikenoh kapukin (untuk sementara dianggap bukan warga, yang ditandai dengan tidak mendapatkan pemberitahuan sesuatu atau sama dengan dikucilkan); kalatengan (disiksa menggunakan daun lateng); kaople (diarak keliling desa); kapelungguh, kapesajen, karepotang (diberi peringatan lisan); kataban (diambil dan dimiliki); kagringgsiran (ditempatkan sementara dekat kuburan atau di luar tegak desa); ngingu banjar / desa (menjamu seluruh warga banjar / desa); dan lain-lain.
Bentuk-bentuk sanksi adat di atas adalah bentuk-bentuk sanksi yang pernah dikenal dan berlaku di dalam masyarakat Bali. Perkembangan zaman membawa perubahan-perubahan terhadap nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Sehingga rasa kepatutan, rasa keadilan, dan kesadaran hukum di dalam masyarakat juga berubah. Itu sebabnya tidak semua bentuk-bentuk sanksi adat di atas masih hidup di dalam masyarakat Bali saat ini.
Beberapa di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut telah dimodifikasi di dalam pelaksanaannya, bahkan ada sebagian sudah ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan yang berlaku di dalam masyarakat. Disinilah tampak bahwa disamping hukum adat Bali memang kuat memegang tradisi, ia juga dapat berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Konsep desa, kala, patra adalah suatu konsep yang sangat dipegang teguh oleh orang Bali di dalam penerapan nilai-nilai ataupun norma-norma hukum adat.
Berdasarkan konsep ini, penerapan nilai-nilai ataupun norma-norma adat di dalam kenyataannya senantiasa disesuaikan dengan tempat (desa) dimana norma itu diterapkan, waktu (kala) pada saat norma itu hendak dilaksanakan, serta dalam keadaan (patra) apa nilai-nilai ataupun norma-norma tersebut hendak diterapkan. Perubahan-perubahan itu sebagian besar terjadi dari bawah, yaitu berubah dengan sendirinya di dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat, sebagian lainnya berubah karena direkayasa, baik oleh pemimpin-pemimpin masyarakatnya maupun oleh pemerintah, dengan berbagai pertimbangan.
Berikut ini adalah beberapa contoh sanksi adat yang masih berlaku, masih dikenal secara formal (di dalam awig-awig) tetapi tidak pernah diterapkan, sanksi yang dilarang oleh pemerintah, sanksi adat yang disatu tempat masih berlaku tetapi ditempat lain sudah ditinggalkan, dan beberapa contoh sanksi adat yang benar-benar sudah ditinggalkan oleh masyarakat Bali.
Bentuk-bentuk sanksi adat yang masih umum dikenal dan masih berlaku di dalam masyarakat Bali, antara lain adalah: danda artha, seperti: dosa, danda saha panikel-nikelnya miwah panikel urunan. (denda berupa uang beserta denda-denda yang lainnya); ganti rugi benda-benda materiil. Sangaskara, pemarisuda, prayascita, dan lain-lain (upacra pembersihan); mengaksama, mapilaku, lumaku, mengolas-olas, nyuaka (minta maaf).
Matirta gemana atau matirta yatra (melakukan perjalnan suci, untuk golongan pendeta); kepelungguh, kapesajen, karepotang (diberi peringatan lisan); kasepekang kanoroyang (tidak diajak ngomong/dikucilkan); kawusang mabanjar/madesa adat (diberhentikan sebagai warga desa/banjar); tan polih suaran kulkul matehin pikenoh kapuikin (untuk sementara dianggap bukan warga, yang ditandai dengan tidak mendapatkan pemberitahuan sesuatu atau sama dengan dikucilkan).
Sanksi Adat Jarang dan yang Sudah Tak Berlaku
Sanksi adat yang masih dikenal dalam awig-awig (tertulis atau tidak tertulis), tetapi hampir tidak pernah atau jarang sekali dilaksanakan, antara lain adalah: kedaut karang ayahan desanya (diambil-alih tempat kediamannya yang berupa karang ayahan desa); kerampag (harta miliknya diambil paksa atau dirampas); ayahan panukun kasisipan (wajib kerja pengganti kesalahan) dan lain-lain. Sanksi adat yang dilarang secara resmi oleh pihak berwenang, contohnya adalah sanksi ditempatkan sementara dekat kuburan atau di luar tegak desa bagi yang manak salah atau kembar buncing.
Sanksi fenomena kembar buncing telah dilarang berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 10 / 1951 tentang Menetapkan Pesuaran Penghapusan Adat yang disebut “manak salah” pada tanggal 12 Juli 1951. Beberapa sanksi adat yang disatu tempat masih berlaku, sementara di tempat lain ditinggalkan oleh masyarakat, contohnya adalah katataban (ternaknya diambil dan dimiliki); kedaut karang ayahan desanya (diambil alih tempat kediamannya yang berupa karang ayahan desa); kerampag (harta miliknya diambil paksa atau dirampas); tan polih suaran kulkul matehin pikenoh kapuikin (untuk sementara dianggap bukan warga, yang ditandai dengan tidak mendapatkan pemberitahuan sesuatu atau sama dengan dikucilkan).
Sanksi adat yang sama sekali telah ditinggalkan adalah kapademang (dibunuh); katugel limane (dipotong tangannya); kaselong (dibuang ke luar kerajaan bahkan adakalanya ke luar Bali); mapulang ke pasih (ditenggelamkan ke laut); kablagbag (dipasung); kalatengan (disksa menggunakan daun lateng); kaople (diarak keliling desa); ngingu banjar/desa (menjamu seluruh warga banjar / desa), dan beberapa bentuk sanksi adat lainnya.
Beberapa jenis sanksi adat yang masih berlaku diantara sanksi-sanksi yang tersebut diatas yaitu, sanksi kasepekang (dikucilkan) termasuk jenis sanksi adat yang paling berat, selain kanorayang makrama (dipecat sebagai krama desa). Sanksi ini biasanya dijatuhkan oleh desa kepada seseorang atau beberapa orang warganya, disebabkan karena warga tersebut dianggap membangkang secara terus menerus (dikenal dengan istilah ngatuwel), terhadap pasikian pasubayan (kesepakatan bersama) yang dituangkan dalam bentuk awig-awig desa adat.
Mereka yang kasepekang tidak mendapat pelayanan adat selama ia belum memperbaiki diri dan menyatakan tunduk terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sering terjadi, penerapan sanksi kasepekang ini diterapkan melebihi makna yang terkandung di dalamnya yaitu dikucilkan agar yang bersangkutan menyadari kesalahan dan memperbaiki dirinya sehingga dapat kembali bermasyarakat dengan baik.
Kadang-kadang terjadi, mereka yang kasepekang selain dikucilkan juga dilarang menggunakan fasilitas adat, seperti dilarang menggunakan fasilitas adat, seperti dilarang menggunakan balai banjar, dilarang ke pura, dan dilarang menggunakan setra (kuburan milik desa adat), dan lain-kain seperti sanksi yang dikenakan kepada orang yang kanorayang/kawusang makrama (dipecat sebagai krama desa).
Berdasarkan pemaparan pada paragraf sebelumnya, sanksi adat yang dikenakan pada pelanggar hukum adat harus berpedoman pada perkembangan zaman yang meliputi aspek hukum nasional maupun aspek kemanusiaan.