Ini kali ke-10 World Water Forum diselenggarakan. Sebelumnya ada Jepang dan Korea Selatan sebagai tuan rumah. Kini, Indonesia khususnya di Bali jadi lokasi terselenggaranya WWF.
Mengutip siaran pers Kemenparekraf, forum ini akan berlangsung pada 18-25 Mei 2024. Ada tiga proses utama, yaitu tematik, regional, dan politik, serta enam subtema. Keenam subtema tersebut berkesinambungan dengan pembahasan Konferensi Air Dunia di New York tahun 2023.
Ada enam subtema yang dibahas dalam WWF. Pertama, ketahanan dan kesejahteraan air. Kedua, air untuk manusia dan alam. Ketiga, pengurangan dan manajemen risiko bencana. Keempat, tata kelola, kerjasama dan diplomasi air. Kelima, pembiayaan air dan keberlanjutan. Keenam, pengetahuan dan inovasi.
Sebagai tuan rumah, bagaimana kondisi air di Bali. Berikut rangkuman kondisi air di Bali dari liputan yang dihasilkan kontributor BaleBengong. Beberapa liputan di BaleBengong mengusung isu tentang air dan masalah yang terjadi di baliknya.
Pertama di Klungkung, sejumlah warga di Dangin Sabang, Desa Besan, Sanggungan, dan Desa Dawan Kaler butuh perjuangan dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Meski memiliki sumber air permukaan dan bawah tanah, sekitar 60 keluarga yang berada di Desa Dawan Kaler dan Desa Besan itu harus berjuang mendapat air karena belum juga mendapatkan aliran air yang dikelola PDAM.
Liputan yang ditulis oleh Osila dan didukung Yayasan IDEP ini memaparkan beberapa kondisi. Selama ini 60 keluarga tersebut memanfaatkan sumber air dari sumur freatis di Pura Tengkada dan Pura Anakan. Kedua pura ini terletak di Desa Besan, namun sering dimanfaatkan oleh 3 desa, yaitu Desa Besan, Desa Dawan Kaler, dan Desa Pikat.
Apabila mengacu pada pendataan sumur bor yang dikelola PDAM, sejumlah 5 sumur bor ada di sekitar wilayah tersebut. Seharusnya, jika banyak sumur bor semestinya distribusi air bersih dapat menjangkau seluruh warga.
Bali utara juga kekeringan
Beberapa wilayah di Bali utara mengalami kekeringan dengan jangka yang panjang. Seperti di Sumberklampok dan Les. Desa Les menghadapi ancaman krisis air lebih dari 40 tahun. Hampir 80 persen penduduknya menjadi petani, tetapi kekeringan dan distribusi air masih melanda. Alhasil banyak yang gagal panen.
Kondisi tersebut sebagian besar dialami masyarakat petani di Bali lebih dari 10 tahun yang lalu. Pada 2012 silam, Stroma Cole melakukan penelitian tentang A Political Ecology of Water Equity and Tourism di Bali.
Kajiannya menemukan air yang mengairi pertanian cenderung bersaing dengan pariwisata. Keadaan ini tidak bisa terlepas dari faktor lingkungan dan politik yang menghasilkan ketidakadilan pendistribusian dari pertanian ke pariwisata. Selain itu, ada industri air minum dalam kemasan (AMDK) dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang memanfaatkan air permukaan maupun air bawah tanah.
Distribusi air
Stroma Cole menyebut pendistribusian air oleh PDAM sebagai bentuk privatisasi air yang menjadikannya sebuah komoditi dan menghasilkan ketidakadilan akses air bagi masyarakat, terutama kelompok marjinal. Itu juga yang dialami masyarakat Desa Les dan daerah kering lainnya di Utara dan Timur Bali, termasuk daerah Hulu.
Berbagai model ketidakadilan akses air dapat terjadi. Mulai dari letak geografis, geologi, hingga prioritas pada sektor tertentu. Berbagai daerah di Bali memiliki karakteristik lapisan bawah tanah yang berbeda, sehingga berpengaruh pada letak air tanah. Oka Agastya dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dalam liputan Gusti Diah mengungkapkan Tejakula khususnya Desa Les yang lebih terjal secara morfologi membuat keberadaan air tanah lebih dalam. Maka ketika akan mencari sumber air, khususnya air tanah itu harus lebih dalam
Jika masyarakat di daerah Buleleng, khususnya Tejakula ingin memanfaatkan air tanah, mereka pun perlu mengeluarkan biaya lebih banyak karena harus mencari air pada lapisan yang lebih dalam. Selain itu, berdasarkan “Dokumen Status Daya Dukung Air Pulau Bali” dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) di Buleleng dan Badung masuk dalam kategori intermitten, yaitu sungai yang mengalir hanya pada waktu musim hujan.
Krisis air pengaruhi subak:
Agenda WWF salah satunya akan mengunjungi subak. Kadek Suardika dalam webinar “Obrolan Santai: Peranan Subak dalam Konservasi Sumber Daya Air” yang diadakan Bali Water Protection pada Jumat, 27 Agustus 2021, mengungkapkan setelah tahun 2015 daerahnya mengalami penurunan debit air. “Setelah tahun 2015, di daerah saya [Subak Uma Lebah, Desa Petulu] debit air mulai menurun dan lahan kering bertambah satu hektar setiap tahunnya,” ungkap Suardika.
Pernyataan itu pun dibenarkan oleh Sumiyati, akademisi dari Universitas Udayana. Berdasarkan penelitian yang ia lakukan, telah terjadi gangguan di hulu sebagai daerah resapan air, sehingga berdampak pada saluran irigasi. Gangguan terbesarnya adalah pembangunan industri akomodasi pariwisata dan hunian yang sangat masif serta kehadiran perusahaan air minum di daerah resapan air. “Ketika hulu terganggu dan tidak bisa menyerap air, maka sumber mata air juga akan terganggu, contohnya musim hujan bisa banjir dan musim kemarau sangat kering,” ungkap peneliti yang memfokuskan kajiannya mengenai subak itu.
Apa yang dapat dilakukan?
Negara mengatur tentang pengelolaan air ini. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air pasal 2 dan 3 jelas menyatakan Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan berdasarkan asas keadilan bagi masyarakat.
Namun melihat kondisi di lapangan, ada indikasi asas tersebut belum terpenuhi oleh pengelola air yang bersumber dari bawah tanah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air yang mendefinisikan air bawah tanah sebagai air yang terdapat di lapisan batuan di bawah permukaan tanah.
Beberapa daerah hadir dengan solusi yang sesuai dengan lokal genius daerahnya seperti Sekaa Yeh. Perkumpulan Sekaa Yeh adalah sebutan bagi kelompok warga yang memanfaatkan air permukaan tanah terutama sungai untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Dengan menggunakan dana swadaya anggota sekaa yeh tersebut. Sejak PDAM masuk desa, keberadaan Sekaa Yeh ini mulai berkurang anggotanya. Sehingga tak jarang mereka membuat jaringan air secara pribadi dengan biaya sampai jutaan tergantung jarak sumber air sungai dengan rumah mereka.
Sekaa Yeh juga mempunyai perananan penting dalam menjaga keberadaan sumber-sumber air. Selain lewat ritual, mereka juga menjaga pepohonan yang ada di sekitar sumber air yang mereka konsumsi.
Selain contoh baik di atas, ada ada beberapa perilaku baik yang dapat menjaga air. Ini dapat dilakukan masyarakat maupun pemerintah dalam menerapkan setiap perilaku yang mencerminkan konservasi air. Perilaku tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, sebagai berikut:
- Kegiatan sebagai perlindungan dan pelestarian sumber daya air. Kegiatan ini merupakan salah satu wujud untuk melindungi setiap debit air yang ada dan mempertahankan lingkungan dimana air tersebut berasal. Di antaranya:
- Melestarikan kawasan hutan lindung dan suaka alam
- Mengendalikan pengolahan tanah di wilayah hulu
- Mengatur sarana dan prasarana sanitasi
- Melakukan rehabilitasi hutan
- Memelihara daerah resapan air hujan
- Membuat kriteria bagi daerah sekitar mata air, yakni minimal 200 meter dari daerah mata air sehingga mata air di hutan tetap terjaga dan bersih dari aktivitas manusia.
- Kegiatan pengolahan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Tujuan dari kegiatan ini menurut UU No. 7 Tahun 2004 adalah untuk mempertahankan dan memulihkan kualitas air, baik air yang sudah masuk ke sumbernya maupun air yang masih berada didalam tanah. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk menerapkan hal tersebut adalah:
· Menanam pohon-pohon penyerapan air di sekitar Daerah Aliran Sungai ( DAS ).
· Menghindari bercocok tanam di daerah rawan erosi.
· Menerapkan teknik terasering di daerah lereng pegunungan.
· Membuat sumur resapan minimal satu di rumah.
· Menghilangkan kebiasaan membuang sampah di sungai.
· Melarang pembangunan rumah maupun bangunan lain di bantaran sungai.
· Memberi sanksi atau aturan yang tegas kepada orang yang membuang sampah ke sungai.
· Menghindari eksploitasi lahan di daerah dataran tinggi dengan ketinggian 1000 meter diatas permukaan air laut. - Kegiatan pengawetan air
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk kuantitas atau ketersediaan air. Kegiatan ini merupakan konservasi dari sisi pengguna air. Manusia sebagai pengguna air harus dapat menghemat air/ menggunakan air sesuai kebutuhan. Penghematan air ini dapat membantu ketersediaan air untuk kedepannya. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah:
· Menampung air hujan yang berlebihan dan digunakan seperlunya.
· Menghemat penggunaan air, seperti dengan cara tidak membuka kran air secara maksimal jika sedang tidak menampung air, mematikan kran air setelah digunakan.
· Mengendalikan penggunaan air tanah.
kalau konservasi air sudah mampu dilakukan dengan baik tentu distribusi air bersih ke semua masyarakat akan lebih adil.