Bagian 1 oleh Gusti Diah
Air mengalir di sepanjang jalur irigasi dan menghidupi padi-padi yang mulai tumbuh di sebuah desa pesisir utara Bali. Desa yang dipenuhi hamparan terasering ini membuka pandangan langsung ke laut. Pemandangan dan masa yang indah itu kali ini hanya menjadi kenangan Made Suartini, petani dari Desa Les, Tejakula, Kabupaten Buleleng.
Tidak pernah terbayang oleh perempuan berusia 70 tahun ini, bahwa padi-padi itu akan hilang dan menjadi lahan kering yang berbentuk terasering. “Dulu kan yehne gede, sing ade kemu-mai, cukup untuk ngurus carik. Mangkin nak nyiram ten dados driki, ten ade iyeh. Wawu hujan, wawu wenten air. [Dulu airnya masih besar, tidak perlu kesana-kesini, cukup untuk menyiram sawah. Tapi sekarang menyiram tidak bisa, tidak ada air. Kalau ada hujan, baru ada air],” ungkap Made Suartini.
Padi-padi sempat menjadi sumber penghasilan masyarakat Desa Les jauh sebelum tahun 1980an. Namun, ketersediaan air mulai berkurang dan bagaimanapun petani perlu beradaptasi untuk bertahan hidup. Di tengah keterbatasan itu, mereka mulai beralih dengan menanam tanaman hortikultura. Bahkan krisis air membuat sebagian warga memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya. “Wenten sungai driki tapi pepes ten wenten air, waktu dulu driki kan wenten air, waktu carik nike, padi. Mangkin kan ten wenten, sami pun keluar. [Disini ada sungai, tapi kerap tidak ada air. Padahal sebelumnya sempat air mengalir, ketika masih menanam padi. Tapi sekarang sudah kering. Warga pun banyak yang merantau],” jelas Made Suartini.
Sudah lebih dari 40 tahun warga di Desa Les menghadapi ancaman krisis air dan ketersediaannya semakin menipis setiap tahunnya. Terasering masih menghiasi perkebunan warga, namun tidak ada padi, apalagi air mengalir. Tanah-tanah mulai kering dan mengeras di tengah panasnya Tejakula. Air yang mengalir hanya keringat Made Suartini yang duduk di tengah kebun yang telah ia rawat bertahun-tahun. Hanya ada tanaman-tanaman buah seperti mangga, rambutan, durian, dan kelapa yang sedikit memerlukan air di tanah seluas 12 are itu.
Meskipun telah menanam tanaman yang tidak memerlukan banyak air, Suartini masih menghadapi gagal panen. Tepat setahun yang lalu, pohon rambutan menjadi layu dan jatuh satu persatu karena air hujan yang tidak kunjung hadir. “Satu tahun yang lalu rambutan niki sampun berbuah, tapi ten wenten iyeh, rebah pun. Amon ten wenten sama sekali nak sing dadi, mati. [Satu tahun yang lalu rambutan yang sudah berbuah ini tidak mendapatkan air, langsung jatuh. Ketika tidak sama sekali mendapat air, sudah gagal panen, mati],” kenang Suartini sambil terenyuh.
Terancamnya kedaulatan pangan
Air memang menjadi fundamental dalam kehidupan, apalagi pertanian. Namun kekeringan semakin hari menghampiri petani. Kondisi ini pun telah dihadapi sebagian besar masyarakat petani di Bali lebih dari 10 tahun yang lalu. Pada 2012 silam, Stroma Cole melakukan penelitian tentang A Political Ecology of Water Equity and Tourism di Bali. Kajiannya menemukan air yang mengairi pertanian cenderung bersaing dengan pariwisata. Keadaan ini tidak bisa terlepas dari faktor lingkungan dan politik yang menghasilkan ketidakadilan pendistribusian dari pertanian ke pariwisata. Selain itu, ada industri air minum dalam kemasan (AMDK) dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang memanfaatkan air permukaan maupun air bawah tanah.
Pendistribusian air oleh PDAM juga disebut Stroma Cole sebagai bentuk privatisasi air yang menjadikannya sebuah komoditi dan menghasilkan ketidakadilan akses air bagi masyarakat, terutama kelompok marjinal. Itu juga yang dialami masyarakat Desa Les dan daerah kering lainnya di Utara dan Timur Bali, termasuk daerah Hulu. “Melihat kemampuan daya beli masyarakat disini, harga PDAM belum terjangkau. Menurut yang sudah mempergunakan, harganya di atas seratus ribu per bulan, jauh berbeda dengan air yang dikelola oleh desa,” jelas I Nengah Nuarta Wakil Pekaseh Desa Les.
Pengelolaan air di Desa Les dilakukan langsung oleh masyarakatnya, ada dua pengalokasian air. Pertama, air untuk keperluan rumah tangga (masak, minum, mandi, dsb), dan kedua, air untuk mengairi perkebunan. Sampai saat ini pemerintah baru memberikan bantuan pendistribusian melalui penyediaan pipa khusus untuk air keperluan rumah tangga. Pengaturannya dilakukan oleh pemerintah dinas dan saat ini sudah dikelola langsung oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Meskipun telah memiliki sumber air dan dikelola desa, debitnya masih tergolong kecil. “Empat hari maan satu jam nike, untuk minum, air ne uli pegunungan. [Air untuk minum mengalir setiap satu jam dalam empat hari, itu untuk keperluan rumah tangga, airnya dari pegunungan],” kata Suartini.
Kemudian air untuk kebutuhan perkebunan dikelola secara swadaya oleh kelompok Subak. “Pastinya proses tata kelola perairan di persubakan niki sudah merupakan warisan dari leluhur kita yang diatur melalui depukan utawi ayah-ayahan,” jelas Wakil Pekaseh Subak Les Uma Wangi.
Depukan juga bisa diartikan biaya atau pajak yang dibebankan kepada penerima air berdasarkan jumlah yang dibutuhkan. Untuk setiap depuk-nya mendapatkan satu jam aliran air, sehingga bila memiliki tiga depuk, maka air akan mengalir ke lahan petani selama tiga jam. Pengairan ini dilakukan secara bergilir selama 12 hari sekali. “Tiang ring driki 12 are maan satu depuk nike. [lahan saya seluas 12 are mendapat satu depuk],” jelas Suartini.
Subak akan memberhentikan aliran air untuk sementara waktu ketika sudah musim hujan, sebab kebutuhan air sudah terisi. Namun, depukan masih tetap berlaku dalam aktivitas adat. “Depukan ini juga untuk menghitung kegiatan-kegiatan adat, seperti pesuan [menyumbang] kelapa, itu sesuai dengan jumlah depuk-nya. Sama juga dengan pica [bingkisan/sedekah], misalnya pica babi, disesuaikan dengan jumlah depuk-nya,” ungkap Nyoman William, Kepala Dusun di Desa Les.
Kehadiran depukan telah membantu masyarakat Desa Les, khususnya kelompok Subak yang terdiri dari 200 KK ini untuk mengairi ladangnya. Meskipun, setiap tahunnya periode pendistribusian air semakin panjang. Keterbatasan air tentu menghambat pertanian di Desa Les. Padahal sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani. “Mayoritas disini petani, hanya 20% nelayan dan sisanya buruh bangunan,” tambah Nyoman William.
Sebanyak 80% dari total masyarakat di Desa Les turut menghadapi krisis air yang menyebabkan gagal panen pada 2020 silam. “Kemarin banyak yang gagal panen di 2020 karena kekurangan air, air ini tidak mengalir sesuai dengan harapan kita. Pada saat tanaman itu perlu air, air tidak ada,” terang Nengah Nuarta.
Beban perempuan dalam krisis air
Tentu gagal panen juga dirasakan Suartini. Kendati seperti petani lainnya, ia telah berupaya untuk adaptif dengan menanam tanaman yang tidak terlalu memerlukan banyak air. “Meganti pun..tiang niki, punyan kayu, apang kuatan bedik. Tapi sing masi ade iyeh. Layu nike. Amon ten wenten iyeh, kar ngujang [Berganti sudah saya, dengan menanam pohon kayu supaya lebih kuat. Tapi tidak juga ada air, membuat pohon kayu layu. Jika tidak ada air, saya tidak bisa apa-apa],” ungkap perempuan beranak tiga ini.
Gagal panen menyebabkan Suartini dan beberapa petani lainnya kehilangan pendapatan. Namun ketika panen besar pun harga kerap merosot jauh, sehingga tidak sebanding dengan biaya produksi. “Kalo ga ada odalan [upacara] kayak waktu niki, turun harga rambutan, sekilo jadi seribu-dua ribu rupiah. Mudah [murah],” kata Suartini sambil menghela nafas.
Suartini sempat terdiam sejenak sambil menerawang jauh, lalu ia tertawa miris, katanya, “Balik modal keweh. Tare ade meli. Ongkos buruh satu tegen nike lima puluh ribu. Kadang sing ade nak ngangkat, sing ade nak meblanje. [Sulit untuk balik modal, biaya buruh saja untuk satu kali angkut sebesar lima puluh ribu. Terkadang bisa tidak ada yang mau mengangkat. Juga tidak ada yang membeli].”
Krisis air memberikan beban ganda pada Suartini. Sebagai seorang ibu dan petani, hidup menjadi bukan dia seorang, tapi keluarga yang perlu dirawat, juga tanaman-tanaman yang menjadi penopang kehidupan keluarganya. Kondisi ini tidak hanya dialami Suartini, tapi sebagian besar petani perempuan di Bali. “Perempuan kerap menanggung beban, sebagaimana ia bertanggung jawab ‘menyediakan’ air kepada keluarga untuk kebutuhan domestik,” jelas Stroma Cole dalam penelitiannya tentang ketidakadilan akses air di Bali.
Terlebih budaya patriarki masyarakat Bali kerap menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Seperti yang ditemukan Stroma Cole, bahwa “perempuan paling terkena dampak dari kelangkaan air, namun memiliki sedikit kesempatan untuk menyuarakan keprihatinan mereka, karena takut terlihat tidak menunjukan rasa hormat.”
Sungai kering di Desa Les. Foto Gusti Diah
Ketidakadilan distribusi air
Ketidakadilan yang hadir dari krisis air juga terjadi dalam berbagai model, mulai dari letak geografis, geologi, hingga prioritas pada sektor tertentu. Berbagai daerah di Bali memiliki karakteristik lapisan bawah tanah yang berbeda, sehingga berpengaruh pada letak air tanah. “Secara morfologi, seperti di Tejakula [Desa Les] lebih terjal, sehingga keberadaan air tanah lebih dalam. Maka ketika akan mencari sumber air, khususnya air tanah itu harus lebih dalam,” terang Oka Agastya, Ahli Geologi dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).
Jika masyarakat di daerah Buleleng, khususnya Tejakula ingin memanfaatkan air tanah, mereka pun perlu mengeluarkan biaya lebih banyak karena harus mencari air pada lapisan yang lebih dalam. Selain itu, berdasarkan “Dokumen Status Daya Dukung Air Pulau Bali” dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) di Buleleng dan Badung masuk dalam kategori intermitten, yaitu sungai yang mengalir hanya pada waktu musim hujan.
Meskipun banyak dari sungai di Buleleng dan Badung sama-sama masuk dalam kategori intermitten, namun kesulitan mengakses air bersih lebih banyak dialami masyarakat di Buleleng. Seperti yang dialami sebagian besar petani di Desa Les. Meskipun peran mereka penting untuk kedaulatan pangan Bali, namun dukungan distribusi air pada pertanian belum diprioritaskan.
Subak beserta ayahan [anggota] masih melakukan pengelolaan secara swadaya, bahkan ketika terjadi bencana seperti banjir dan tanah longsor. Kondisi yang berbeda dengan pendistribusian air di wilayah selatan Bali, khususnya Badung dan Denpasar. “Biasanya daerah pariwisata itu yang diutamakan. Bisa dilihat seperti Uluwatu, Jimbaran, dan lain-lain sebenarnya dia pasokan airnya susah. Tapi karena di wilayah pariwisata jadi bisa diprioritaskan,” ungkap Putu Bawa yang aktif mengkampanyekan permasalahan air melalui program Bali Water Protection Yayasan IDEP.
Daerah Selatan yang mendapat prioritas pendistribusian air juga banyak yang memanfaatkan air tanah. “Hotel paling banyak, rata-rata hotel. Komplek perhotelan di sekitar Nusa Dua, Benoa, Kuta,” jelas IB Surya Manuaba, Sekretaris Disnaker dan ESDM Provinsi Bali. Fakta ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Politeknik Negeri Bali (PNB) bersama Bali Water Protection (BWP) terkait eksplorasi air tanah. Daerah-daerah yang memanfaatkan sumur dalam jumlah yang relatif banyak adalah Kabupaten Badung, Tabanan dan Gianyar.
Karpet merah bagi industri pariwisata justru menyebabkan krisis air karena dapat mengakibatkan intrusi air laut semakin cepat. PNB telah melakukan uji kualitas air tanah pada 49 titik di Bali dan menemukan dua daerah yang kandungan klor-nya tinggi–indikator intrusi air laut–yaitu Badung dengan 73% dari 44 sampel dan Buleleng dengan 68,3% dari 60 sampel. “Dari sekian sampel di setiap kabupaten/kota itu lebih dari 50% menghasilkan analisis bahwa sudah terjadi penurunan kualitas air,” jelas Lilik Sudiajeng, tim peneliti dari PNB.
Menurunnya kualitas air di Bali akibat eksploitasi air tanah melalui sumur bor juga diungkapkan Oka Agastya, “ketika penggunaan air tanah itu tinggi, dia akan menyedot air laut, sehingga air laut yang asin ini mudah masuk ke daratan. Padahal secara alami sebenarnya air laut tidak bisa masuk ke daratan karena berat jenis yang berbeda. Tapi karena dia terganggu oleh sumur bor, ujung-ujungnya air asin ini yang disedot oleh sumur bor.” Terlebih masifnya pertumbuhan pariwisata juga berarti tingginya tingkat penggunaan air tanah. Kondisi ini pun berdampak pada kualitas air tanah dan ketersediaan air di Bali.
Pariwisata di Bali memang telah hadir dari masa kolonial Belanda dan kehadiran turis semakin meningkat ketika masa pemerintahan Soeharto. Selama era Orde Baru (1966-1998), agenda pembangunan salah satunya membuka Bali untuk pariwisata massal. Pada 1960an, turis yang mendatangi Bali sekitar sepuluh ribu, lalu terus meningkat hingga tahun 1980an mencapai ratusan ribu. Perkembangan ini juga mendapat dukungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam program Pembangunan Pariwisata Komprehensif pada 1972 dan Proyek Pembangunan Berkelanjutan Bali 1989-1994. Pada saat yang bersamaan, ratusan petani di Tejakula, khususnya Les mengalami krisis air dan berusaha untuk beradaptasi dengan berganti sistem pertanian ke lahan kering.
Bencana dan konflik horizontal
Lantang napas pariwisata dengan segala keleluasaannya di tengah petani yang semakin megap-megap karena krisis air terus berlanjut. Semakin hari debit air terus berkurang, apalagi musim kemarau. Tidak hanya menghadirkan kekeringan, juga kebakaran di perbukitan Desa Les. “Kebakaran sempat ada waktu kemarau, karena memang kering sekali, tumbuh-tumbuhan, padang rumput itu kebakaran. Proses penanganannya sekitar satu sampai dua bulan,” ungkap Gede Eka Prabawata, pemuda Desa Les.
Kebakaran terjadi di musim kemarau dan banjir hadir di musim hujan. Bahkan setiap tahunnya Desa Les menerima banjir. “Kalau banjir pasti jatuhnya ke sini, setiap tahun ada, kalau sudah hujan lebat ya banjir otomatis, banjir bandang,” keluh Wakil Pekaseh Subak itu.
Ia juga mengeluhkan konflik air yang masih berkepanjangan di daerahnya. “Debit air itu bisa berkurang, pertama pengaruh alam. Kedua, kerimbunan hutan juga berpengaruh, kemudian tidak kalah pentingnya juga oknum-oknum yang punya modal mengambil air secara ilegal,” ungkap Nuarta.
Krisis air yang melanda wilayah Tejakula, khususnya Les dan desa sekitarnya telah memecah konflik antar warga. Padahal mereka sama-sama dilanda krisis dan berjuang untuk bertahan hidup. Dalam keterbatasan itu, ketidakadilan hadir ketika berbagai industri pariwisata dan AMDK dapat mengambil air dengan mudahnya dan ‘terlihat’ berlimpah. “Alih-alih menuntut tanggung jawab pemerintah, warga justru saling berebut dan berkonflik untuk memperoleh air,” jelas Stroma Cole dalam penelitiannya.
Kekesalan Nuarta sebagai pemimpin Subak beralasan meskipun ada peran regulasi dari pemerintah tentang manajemen air yang patut dibenahi. Selama bertahun-tahun, bahkan jauh sebelum Negara Indonesia hadir, masyarakat Les dan beberapa desa hilir lainnya memiliki hubungan yang erat dengan Batur sebagai daerah hulu, baik secara ekologi maupun adat.
Solidaritas air masyarakat hulu-hilir
Desa Les sendiri masuk dalam area cekungan air tanah (CAT) Tejakula bersama dengan beberapa daerah lainnya di Tejakula dan Karangasem Utara. Kemudian secara sosiokultural, masyarakat adat di Desa Les juga memiliki hubungan yang erat dengan Batur. Hubungan ini dapat dilihat dari cerita rakyat yang berkembang secara turun temurun, tentang perjalanan Ida Ratu Ayu Mas Membah. “Beliau berjalan, berjualan air dari kawasan Timur Bali sampai kemudian ke utara. Dalam perjalanan itu, beliau bertemu dengan masyarakat-masyarakat seperti di Munti Gunung, Les, Tejakula, Bon Dalem, dan seterusnya, lalu sampai di Air Sanih,” kata Ketut Eriadi yang juga sebagai Jero Penyarikan Duuran di Batur.
Menurut kisah perjalanan Ida Ratu Ayu Mas Membah, desa-desa yang membeli air, nantinya akan dialiri air yang berhulu di Batur. Kisah ini rupanya masih terawat di antara masyarakat Batur dan mereka yang berada di hilir yang memiliki daerah resapan di Batur. “Dulu waktu saya SD pernah diceritakan kalo dulu ada dewi yang menjelma menjadi orang tua dan berjualan air sampai ke sini [Desa Les],” ungkap Eka Prabawata.
Masyarakat adat khususnya Subak menjadikan kisah perjalanan itu sebagai acuan secara historis. Dalam Raja Purana, ada 45 subak yang memiliki ikatan secara spiritual dan historis dengan Batur. Namun jumlahnya terus berkembang mengikuti situasi terkini. “Ada sampai ratusan, mungkin ada pemekaran desa, jadi ada pemekaran subak, tapi mereka masih berhulu ke batur,” jelas Jero Penyarikan.
Subak yang airnya bersumber dari Batur pun mengikuti berbagai ritual adat yang berlangsung di Pura Ulun Danu Batur. “Jadi diyakini oleh subak-subak, bahwa Pura Ulun Danu Batur ini adalah pengulun [hulu] dari Subak,” terang Jero Gede Batur. Ada berbagai ritual yang berlangsung di Batur, salah satunya Upacara Ngusaba Kedasa. Pada upacara ini setiap subak melakukan persembahyangan dan subak-subak yang memiliki ikatan historis dari kisah Ida Ratu Ayu Mas Membah akan mempersembahkan suwinih [hasil bumi] daerah masing-masing.
Seperti di Desa Penarukan yang menghaturkan kerbau, kemudian kawasan Gianyar akan mempersembahkan beras dan kelapa. Setiap persembahan berbeda-beda sesuai dengan purana [aturan] yang telah disepakati bersama. “Hasil bumi yang dipersembahkan kepada Ida Bhatari itu bisa dibilang juga seperti pajak atau kompensasi terhadap masyarakat hulu yang sudah menjaga kawasan resapan air, ketika ada permasalahan air pun masyarakat akan meminta petunjuk Jero Gede Batur,” papar Jero Penyarikan.
Masyarakat adat, khususnya subak masih memerlukan petunjuk dari Jero Gede Batur sebagai pemimpin adat di daerah hulu, Batur. Mulai dari permasalahan debit air yang berkurang, hingga konflik air yang terjadi di hilir. “Kami sudah sampaikan kepada Jero Gede Batur terkait permasalahan legalitas [secara adat] penggunaan air ini, karena kita merasakan aci-aci [pajak] yang kita sudah bayar setiap tahunnya, itu sesuai dengan purana-nya,” ungkap Nengah Nuarta.
Meskipun masyarakat hilir telah memberikan suwinih setiap tahunnya sebagai bentuk solidaritas kepada masyarakat hulu yang menjaga daerah resapan air, namun perlu ada gerakan dari berbagai pihak untuk menjaga daerah resapan air. “Secara ritual iya sudah mencukupi, baik kerbau dan lainnya itu untuk upacara Ngusaba. Tapi memang ke depan dengan tantangan yang semakin beragam tentu menjaga lingkungan tidak bisa hanya masyarakat di hulu saja, jadi kerja kolektif itu diperlukan,” jelas Jero Penyarikan.
Nilai-nilai pada setiap ritual, bahkan cerita rakyat yang diyakini masyarakat adat pada dasarnya memiliki pesan penting untuk melestarikan alam dan keharmonisan Bali. Pesan-pesan itu terselip dalam setiap ritual yang masih dirawat hingga saat ini. Terlebih Bali memiliki relasi yang erat dengan alam, terutama air sebagai sumber kehidupan. “Saya kira pesan ini yang hilang, selama ini mungkin kebanyakan dari kita menggelar ritual hanya sekedar ritual, itu sebagai sebuah simbol, pada ritual itu sebagai pesan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan kita,” tambah Jero Penyarikan yang telah melakukan penelitian pada lontar-lontar tentang peradaban Batur.
======
=====
Hulu sebagai Penyangga Air Malah Krisis Air
Bagian 2 oleh Sayu Pawitri
Air seolah menjadi hal yang paling sering ditemui masyarakat di hulu Bali, Batur sebagai daerah hulu Bali dikenal sebagai salah satu pusat peradaban air di Bali. Hal ini dapat dilihat dari suplai cadangan air di wilayah hutan Gunung Batur, wilayah Danau Batur, dan sebelas sumber air yang mengeliling Batur. Sering disebut sebagai petirtaan solas yang juga menjadi sumber toya bagi umat hindu di Pura Ulun Danu Batur.
Dekatnya warga Batur dengan sumber air ini seolah menjadi paradoks di kemudian hari, bahwa kosmologi yang diturunkan leluhurnya dengan begitu canggih itu perlahan dihantui oleh krisis air yang semakin menjadi. Sulitnya mengakses sumber-sumber air telah dirasakan oleh I Wayan Arya, petani yang juga menjadi Jro Kasinoman di Pura Ulun Danu Batur. Selain karena faktor geografis, faktor lain terkait distribusi dari PDAM juga dirasa masih kurang berpihak. “Dulu di sini ndak ada mengaliri air. Dulu ngambil sendiri-sendiri ke sana [sumber air]. Pake belek atau jerigen. Sekarang sudah ada mesin. Wenten pompa. Tapi yen ampun musim panas, ngantre. Bergilir, dapat dikit-dikit. Paling cukup untuk kebutuhan rumah tangga aja. Ndak bisa make air untuk nyiram itu. Untuk nyemprot ndak bisa. Kurang itu.” pungkas I Wayan Arya.
Selain memikirkan persediaan air untuk kegiatan pokok seperti minum, memasak, dan mencuci, sepanjang tahun sejak ia memutuskan menjadi petani, I Wayan Arya juga harus berpikir dua kali bagaimana caranya memenuhi kebutuhan air untuk kebun jeruk yang menjadi sumber penghasilan utamanya. Selain harus pandai menghemat pasokan air yang turun hanya pada musim hujan saja, ia juga dituntut untuk pandai dalam mengelola cadangan air yang didapat baik dari sumber mata air atau dari sumur tangkapan air hujan yang ia bangun secara mandiri.
Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk beradaptasi dan bertahan dari kondisi yang sewaktu-waktu bisa mengantarkannya pada lubang krisis. Batur sebagai daerah hulu dan penyangga cadangan air memiliki sisi dilematis bagi masyarakat dan makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Mereka dituntut untuk tanggap dalam setiap keadaan, baik saat air datang berlimpah di musim hujan, atau bahkan saat air mulai mengecil dan menghilang dari sumber utamanya di musim kemarau. Strategi bertahan dari kondisi geografis yang ditambah dengan krisis air hari ini membuatnya seolah kebal akan keadaan yang sewaktu-waktu bisa saja menyulitkan kehidupan mereka.
Di satu sisi, keberlimpahan hayati termasuk cadangan air seolah menjadi sumber energi utama bagi Batur. Namun di sisi lain kondisi geografis yang didominasi oleh dataran tinggi menyebabkan Batur kesulitan dalam mengakses air, dibandingkan dengan wilayah selatan (hilir) yang menerima pasokan air setiap harinya dari hulu. Bukan hal yang mudah ketika masyarakat hulu berkewajiban menjaga hutan penyangga airnya, sedangkan mereka masih mengalami kesulitan dalam akses air bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Dilema ini kemudian juga berkaitan erat secara kosmologi, di mana menurut masyarakat Batur, air menjadi salah satu sumber kehidupan yang vital. Air digunakan dalam banyak upacara dan ritus-ritus keagamaan di Batur. Pola pemuliaan air ini yang kemudian juga berkaitan erat dengan masyarakat di hilir yang menikmati air dari Batur.
Upaya petani jeruk bertahan
I Wayan Arya bercerita banyak tentang bagaimana ia harus adaptif dengan setiap keadaan minim akses air di tempat tinggalnya. Tanpa diminta hemat air ia telah kesulitan dalam mengakses air untuk sehari-hari. Tidak ada kata hemat baginya, karena sedari awal tidak pernah ada sumber air yang berlimbah baginya, terutama untuk menyirami perkebunan jeruknya. “Air itu di sini itu kalau musim panes ndak mungkin hemat air [karena sudah kekurangan/krisis]. Kalau hujan semampu bapak menampung itu, ” ceritanya ditemui di depan kebun jeruknya.
Hingga tahun 2023, pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Ketenagakerjaan, Energi dan Sumber Daya Mineral (Disnaker ESDM) memaparkan bahwa di Provinsi Bali terdapat sebanyak delapan Cekungan Air Tanah (CAT) yang menjadi sumber cadangan air di Pulau Bali. Melalui peta sebaran CAT ini, diketahui data penggunaan air bawah tanah yang terdaftar di Bali berdasarkan izin yang masih berlaku pada 2019-2021 sebanyak 21.90 juta m3/tahun. Jika dilihat hanya yang sudah dapat izin, tak heran neraca CAT versi pemerintah di Bali masih surplus. Eksploitasi baru 1,4% dari volume imbuhan CAT hampir 1.600 juta m3.
Namun demikian, jumlah eksploitasi CAT diperkirakan masih banyak yang belum terdaftar di Disnaker Provinsi Bali. Salah satu indikator eksploitasi air tanah di Bali dapat dilihat dari penelitian Badan Lingkungan Hidup Kota Denpasar pada Desember 2010, sebanyak 1.088 sumur bor yang mengantongi izin operasional di Kota Denpasar. Volume pengambilan air tanah selama bulan November 2010 hampir 4.2 juta m3. Jika dirata-ratakan selama setahun, maka eksplorasi air tanah yang dilakukan oleh industri di kota Denpasar sebesar 50 juta m3. Jauh lebih besar dibanding yang mendapat izin. Ini baru di Denpasar saja.
Laporan akhir Bali Water Protection tahun 2018 juga menerangkan bahwa ada laju penurunan air tanah pada kurun waktu 1985 – 2004 untuk Cekungan Air Tanah Denpasar-Tabanan sebesar 1,4 – 29 meter/tahun. Penurunan muka air tanah ini juga menjadi perhatian peneliti geologi. Catatan akhir tahun 2019 Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah Bali memaparkan bahwa tingkat eksploitasi air tanah secara terus-menerus di Bali mengakibatkan terjadinya subsiden atau penurunan permukaan tanah. Dalam konteks ketersediaan air, CAT menjadi salah satu sumber cadangan air yang paling vital. Hal ini juga ditegaskan oleh Lilik Sudiajeng dari PNB. Ia memaparkan bahwa CAT adalah sumber air cadangan yang menjadi warisan bagi generasi sekarang kepada generasi ke depannya. CAT adalah sumber daya penting dan vital yang akan menentukan apakah kita masih bisa bertahan hidup di bumi.
Meski demikian, ada beberapa perusahaan yang belum mendaftarkan izin untuk eksploitasi sumber air bawah tanah ini. Hal ini yang kemudian menjadi catatan bagi Disnaker Provinsi Bali untuk melakukan sosialisasi yang masif terhadap perusahaan yang belum mengurus izinnya sampai saat ini. Menurut Sekretaris Disnaker Provinsi Bali, pemanfaatan air bagi perusahaan terbagi ke dalam dua bagian, yaitu air bawah tanah dan air permukaan.
“Tergantung volume, tergantung peruntukan, ada perusahaan memakai dua-duanya , ngambil air permukaan juga dia ngambil air bawah tanah juga,” jelas IB Surya Manuaba. Kedua-duanya bayar pajak cuma pajaknya untuk air permukaan disetorkan ke provinsi, air bawah tanahnya atau ABT ada kilometernya untuk pencatatan nilai pajak. Air permukaan juga begitu.
Pengawasan wilayah CAT ini adalah pola manajemen air. Langkah-langkah eksplorasi dan eksploitasi sumber CAT ini juga dijelaskan oleh Disnaker ESDM melalui informasi selebaran untuk memberikan informasi terkait mekanisme penggunaan air dalam tiap CAT yang ada di Bali.
Namun, ketiadaan manajemen satu pintu dalam mengelola air di Bali membawa dampak yang kurang baik bagi warga penyangga di hulu. Timpangnya distribusi menyebabkan kesulitan akses air menjadi salah satu permasalahan bagi masyarakat di Batur dan Les. Hal ini dipaparkan pegiat BWP. “Airnya sebenarnya dari utara, kayak di kintamani tapi orang kintamani tidak dapat akses air, nah ini kan bisa dilihat dari faktor geografis. Airnya memang di bawahnya dia terus dia bermukim di atas, nah ini kan masalah keadilan distribusi,” ungkap Putu Bawa.
Menurut Bawa untuk mempertegas peran pemerintah dalam mengakomodir kebutuhan primer akan air dengan mengedepankan manajemen terpadu satu pintu untuk cadangan air di Pulau Bali. “Kalau kita pisah-pisahkan, keadilan itu akan susah sekali tercapai karena itu nanti orang akan ngomongin skup kabupaten, skup kecamatan desa, Pamsimas, dan lainnya,” ungkap Bawa. Kajian terkait air dibuat oleh Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA), tingkat kewenangan teknis di ESDM, pembangunan infrastrukturnya ada di PU. Artinya terdapat perbedaan wewenang yang mengatur proses perumusan kajian dari awal hinggal implementasi akhir di tiap lembaga.
Menyirami kekeringan
Sebagai sumber peradaban air, Batur juga merupakan wilayah resapan air yang menjaga cadangan air sebelum dialirkan ke sumber-sumber air di hilir. Jero penyarikan bercerita bagaimana secara spiritual dan lingkungan pihaknya mengupayakan dilaksanakannya penjagaan terhadap daerah penyangga air di Batur. Misalnya revitalisasi idi kaldera, di kawasan di Pura Jati sampai ke Toya Yeh Mampeh. Kemudian ada Alas Pingitan yang ditanami tanaman-tanaman upakara selain tanaman berkayu.
Meski demikian, pihaknya dari pemucuk Pura Ulun Danu Batur tetap mengharapkan ada upaya dan kebijakan lain yang dibangun pemerintah untuk menjaga ketersediaan air di Bali. Menurutnya, Batur dan model konservasinya itu bisa disebut juga One Island One Management, yang berarti perlu adanya upaya kolektif antara hulu dan hilir dalam menjaga daerah resapan air dan cadangan air tanah.
Pemerintah membawa rencana baru yang diklaimmampu menampung persediaan air. “Nanti kan ada proyek besar ya, untuk pembangunan bendungan. Itu sebenarnya secara tidak langsung adalah sebagai upaya untuk pelestarian air tanah. Walaupun fokusnya di air permukaan ya,” sebut lilik Sudiajeng.
Menurut siaran resmi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Bendungan Sidan akan memenuhi keperluan air di wilayah Sarbagita–Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Proyek ini dikerjakan oleh Konsorsium PT. Brantas Abipraya (Persero) – PT. Universal Suryaprima dengan kontrak mencapai Rp 809 miliar.
Anggaran yang besar telah dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan air di Bali Selatan. Lalu bagaimana dengan Bali Utara yang harus menunggu lebih dari sehari untuk mendapat aliran air?
Selain keluarnya anggaran, pembangunan bendungan seluas 82,73 hektar ini bisa berdampak pada kestabilan ekosistem, seperti beberapa daerah di Indonesia. Ada pembangunan bendungan di Sumatera merampas ruang hidup Orang Utan. Lalu, pembangunan Bendungan Bener di Wadas yang mengancam hutan dan masyarakat lokal.
Ada lingkungan dan biodiversitasnya yang direlakan agar terlaksananya mega proyek pemerintah untuk menyuplai air di kawasan Sarbagita. Lalu kekeringan masih menjadi keseharian masyarakat di Desa Les–Bali Utara–dan di hulu–Batur adalah sebagian kecil contoh yang membuktikan ketidakadilan akses air yang terjadi di Bali. Bahkan mereka yang mendapat pengakuan secara adat sebagai pemimpin juga menghadapi krisis air, seperti Nengah Nuarta–Wakil Pekaseh Subak Les Uma Wangi–dan I Wayan Arya–Guru, Jero Kasinoman.
Masyarakat adat yang lebih memahami daerahnya justru tak punya kendali akan daerahnya sendiri. Apalagi Made Suartini, petani perempuan yang semakin terhimpit dan sulit bersuara di tengah keterbatasannya dalam mengakses air. “Driki amon ten wenten air driki, mati, punyan kayu mati, kayang tiang nike mati. [Disini jika tidak ada air, mati, pohon kayu mati, sampai saya juga bisa mati],” ungkap Suartini dengan tersenyum pilu.
Dengan berbagai macam irisan yang muncul dari kompleksitas permasalahan air di Bali, bagaimana wajah Pulau Bali dalam dua puluh tahun ke depan, mampukah ia mempertahankan cadangan airnya? Siapa yang akan menjadi pemompa utama cadangan air untuk pulau yang kecil ini?
Tim penerima beasiswa liputan mendalam Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2023:
Penulis: Gusti Diah, Sayu Pawitri.
Fotografer & Videografer: Bandem Kamandalu.
Great line up. We will be linking to this great article on our site. Keep up the good writing.