Dari Anak Agung Bagus Sutedja hingga I Wayan Koster: Kisah Warisan Kebijakan Para Gubernur Provinsi Bali yang Mengubah Wajah Pulau Dewata
(Tulisan Riset Edisi Mengawal Pilkada Gubernur Bali 2024)
(Sumber: Dok. Istimewa)
Penulis: Teja Wijaya
Pada 14 Agustus 1958, terbentuklah Provinsi Bali yang semula merupakan satu wilayah residen dari Provinsi Sunda Kecil atau Kepulauan Nusa Tenggara menjadi suatu provinsi yang otonom di Indonesia. Provinsi Bali telah dinaungi berbagai macam pemimpin yang mengubah kondisi sosial ekonomi, dan budaya masyarakat Bali. Setidaknya ada delapan gubernur dan tiga pejabat pelaksana tugas gubernur yang telah memimpin Provinsi Bali dengan berbagai latar belakang seperti birokrat/aparatur sipil non-partai, militer hingga partai politik. Pada kali ini, penulis akan membahas perubahan wajah Bali di Era sembilan gubernur yang telah menjabat Provinsi Bali.
Anak Agung Bagus Sutedja
Anak Agung Bagus Sutedja (14 Agustus 1959-1966), merupakan gubernur pertama yang memimpin Bali. Bagus Sutedja sebelumnya menjadi Gubernur, dia sebagai pegawai negeri sipil atau pejabat non-partai sudah menjadi kepala daerah Bali saat Bali masih menjadi wilayah residen dari Provinsi c Kepulauan Nusa Tenggara. Bagus Sutedja mengawali kariernya ketika pemerintahan Bali mengalami transisi sistem politik dari sistem autokrasi-kerajaan kabupaten menuju integrasi pemerintahan Republik Indonesia. Tahun 1958, ketika Bali menjadi provinsi otonom dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR). DPR-GR berfungsi untuk memilih kepala daerah (Gubernur) Bali, yang dimana ajang pemilihan kepala daerah ini yang akan mengubah peta politik Bali. Pada waktu itu ada dua kubu Partai Nasional Indonesia (PNI), partainya Soekarno yang bersaing untuk dapat menjabat sebagai Gubernur yaitu kubu Anak Agung Bagus Sutedja dan Kubu I Nyoman Mantik. Namun Soekarno dan para elit PNI memilih Bagus Sutedja karena adanya kedekatan politik dan pengalaman Bagus Sutedja dalam mengelola wilayah Bali ketika menjadi wilayah residen, akhir Bagus Sutedja dilantik Presiden Soekarno pada 14 Agustus 1959.
Permasalahan besar yang dihadapi Bali Era Gubernur Bagus Sutedja adalah pasca tragedi (yang disebut pemerintah) G30S/PKI dan memanasnya tensi elit politik PNI antara kubu Anak Agung Bagus Sutedja melawan kubu I Nyoman Mantik dan Wedastera Suyasa. Pertikaian dan polarisasi politik inilah yang melahirkan peristiwa kelam yaitu tragedi Hak Asasi Manusia (HAM) pembantaian massal masyarakat Bali Tahun 1965-1966, di mana masyarakat dan elit politik PNI elemen-elemen Sukarnois di kubu Sutedja dihabisi, masyarakat diduga berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dihabisi serta para seniman dan kritikus pemerintah dihukum tanpa melalui proses pengadilan. Pasca G30S tersebut, Sutedja diundang resmi oleh Chairul Saleh selaku Ketua MPRS ke Bandung dan Presiden Soekarno ke Jakarta pada Desember 1965, dan tinggal sementara di Jakarta bersama keluarganya, namun pasca 29 Juli 1966, dia dijemput oleh militer dan nasibnya tidak diketahui dan jasadnya ditemukan. Permasalahan besar tersebut yang mengubah pola sosial dan budaya masyarakat Bali yang dulu suka unjukrasa, pawai, demontrasi kritis terhadap pemerintah menjadi kondisi adem ayem terhadap pemerintah.
I Gusti Putu Martha dan Soekarmen
I Gusti Putu Martha (1966-1967) merupakan gubernur kedua Provinsi Bali yang berasal dari golongan non-partai. Dia menggantikan jabatan Bagus Sutedja yang tidak diketahui keberadaannya. Soekarmen (1967-27 Agustus 1978) merupakan gubernur ketiga Provinsi Bali yang berasal dari golongan militer. Dia memimpin Bali selama dua periode yaitu dari tahun 1967-1971 dan 1971-1978, dan merupakan Gubernur Bali pertama yang non-hindu (beragama Islam). Hingga saat ini penulis belum mendapatkan data tentang kebijakan yang dibuat Gubernur Putu Martha dan Soekarmen. Ada catatan buku dari Prof. Henk Schulte Nordholt, seorang ilmuan sosial politik yang menceritakan bahwa sekitar tahun 1970, Pemerintah Provinsi Bali merancang sebuah rencana induk yang memusatkan pariwisata massal di ujung selatan Bali, di kawasan Nusa Dua, Kabupaten Badung (Nordholt, 2007). Namun hal tersebut menjadi kecemburuan kabupaten-kabupaten lain, sehingga pengganti Soekarmen yaitu Gubernur Ida Bagus Mantra kemudian membuka sembilan kawasan wisata tambahan, serta diikuti Gubernur Ida Bagus Oka menambahkan lima belas kawasan wisata pada 1988 dan enam kawasan wisata lagi pada 1993, yang luas total areal wisatanya seperempat Pulau Bali (Nordholt, 2007).
Ida Bagus Mantra
Ida Bagus Mantra (27 Agustus 1978-27 Agustus 1983) merupakan gubernur keempat Provinsi Bali berasal dari golongan non-partai, mempunyai visi dan misi kebijakan bahwa kebudayaan Bali yang berasal dari nilai-nilai Hindu sebagai landasan untuk pembangunan Provinsi Bali. Warisan kebijakan beliau ini menghasilkan program yang dikenal sebagai Pesta Kesenian Bali (PKB) yang diselengarakan pertama kali (20 Juni 1979-23 Agustus 1979). Pembangunan kantor dan gedung-gedung di Bali tak luput dari kebijakan bangunan harus mengimplementasikan kearifan lokal Tri Hita Karana dan ditata bernuansa arsitektur Bali. Istilah yang kita kenal bahwa gedung-gedung kantor, hotel, dan gedung lainnya tidak boleh melebihi ketinggian pohon kelapa dari warisan kebijakannya. Ida Bagus Mantra juga membuat kebijakan yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1986 Tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Desa Adat, sehingga kita bisa merasakan hingga sekarang bahwa desa adat/pakraman menjadi lembaga pemerintahan tradisional yang mengatur spiritual dan budaya untuk mengkonsepsikan Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Bali. Perda tersebut juga memuat tentang hadirnya Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali yaitu badan usaha simpan pinjam yang dimiliki oleh desa adat, yang berguna untuk pembangunan ekonomi masyarakat desa adat dan sumber pendapatan asli desa adat di Provinsi Bali.
Ida Bagus Oka
Ida Bagus Oka (27 Agustus 1993-23 Mei 1998) merupakan gubernur kelima Provinsi Bali berasal dari golongan non-partai. Ida Bagus Oka merupakan gubernur kontroversial pada masanya karena beliau dikenal kooperatif dengan para investor luar dan pemerintah Orde Baru, terkait ekonomi turis di Bali sehingga diberi nama julukan “Ida Bagus OK”. Di Era Ida Bagus Oka, beliau menambahkan lima belas kawasan wisata pada 1988 dan enam kawasan wisata lagi pada 1993, yang luas total areal wisatanya seperempat Pulau Bali, sehingga berdampak lonjakan masif turistifikasi terhadap ekonomi industri pariwisata (Nordholt, 2007). Turistifikasi merupakan suatu proses di mana suatu tempat berubah akibat menjadi objek konsumsi wisatawan, kadangkala dapat berimplikasi negatif bagi tempat wisata karena telah menerima pertentangan informal dan formal pada lingkungan dan masyarakat sekitar.
Salah satunya beliau memberikan izin pembangunan Bali Nirwana Resort di Tabanan (lokasinya dekat dengan lokasi suci Pura Tanah Lot). Kontroversi analisis dampak lingkungan pembangunan resort tersebut membuat gerakan protes seantero pulau Bali, mulai dari para akademisi, mahasiswa, aktivis LSM, Koran daerah Bali Post, dan wakil-wakil dari partai oposisi PDI. Gerakan protes pun akhirnya dihentikan ketika ada intervensi dari Presiden Soeharto dan Le Meridien Nirwana Golf and Spa Resort mulai mengiklankan soft-opening-nya pada 1997 (Nordholt, 2003). Selain kasus Tanah Lot, juga ada kasus pembangunan resor besar di Pantai Padanggalak, Desa Kesiman, Sanur pada 1997, yang memberikan perlawanan dari masyarakat karena pantai tersebut merupakan situs religious bagi warga Denpasar untuk melakukan upacara melasti dan pemurnian pasca-kremasi. Pada akhir November 1997, Gubernur Oka menyatakan segala kegiatan pembangunan di Pantai Padanggalak dibatalkan, sehingga kejadian tersebut menjadi sejarah bahwa protes kalangan kelas-menengah dan perlawanan berbasis desa cukup kuat untuk mengalahkan koalisi antara investor luar dan pejabat lokal (Nordholt, 2007).
I Dewa Made Beratha
I Dewa Made Beratha (27 Agustus 1998-28 Agustus 2008) merupakan gubernur keenam Provinsi Bali yang menjabat dua periode yaitu 1998-2003 dan 2003-2008. Pada masa pemerintahannya, munculnya sentiment negatif para cendekiawan dan tokoh Hindu Bali akan hadirnya banyak pendatang muslim dan orang-orang dari Indonesia Timur. Maka dari itu, pada Januari 2003, beliau bersama para bupati/walikota membuat kesepakatan mengeluarkan kebijakan yang seragam tentang pungutan bagi orang-orang Non-Bali harus membayar Rp. 200.000 per tahun untuk izin tinggal mereka, dan para perantau dari tempat-tempat lain di Bali dikenakan Rp. 20.000,00 per tahunnya (Nordholt, 2003). Kebijakan pungutan tersebut menjadi salah satu warisan beliau hingga saat ini. Di era beliau, lahirlah Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Peran Desa Adat yang memberikan wewenang penuh (otonomi kepada desa pakraman (desa yang mempunyai kekuasaan mengatur adat) untuk menjalankan urusan internalnya, dan merumuskan hukum akan kehadiran pecalang sebagai satuan tugas kemanan tradisional khususnya yang berkenaan dengan kegiatan adat dan agama (Nordholt, 2007). Otonomi istimewa desa pakraman tersebut menjadikan desa pakraman berhak atas tanah desa yang tidak boleh dijual maupun tidak dikenai pajak pemerintah, dan terbukanya kesempatan bagi desa pakraman untuk menyediakan kredit, membuka bisnis lokal, dan menuntut uang dari hotel-hotel sekitar untuk pemandangan asli desa yang dinikmati tamu hotel.
Dewa Made Beratha juga berperan penting mendukung media lokal Bali Post (Kelompok Media Bali Post / KMBP) yang dinahkodai Satria Naradha. Satria Naradha ini merupakan orang yang meluncurkan konsep Ajeg Bali, sebuah konsep tentang wacana pelestarian budaya Bali. Ajeg Bali diperkenalkan pada peresmian Bali TV (saluran televisi dari KMBP), ketika Dewa Made Beratha mendorong pemirsa televisi untuk meng-ajeg-kan adat dan budaya Bali (Nordholt, 2007). Konsep Ajeg Bali yang dibawakan Bali TV antara lain pembawa acara berita dan reporter membawakan ucapan salam pembuka Om Swastyastu dan penutup Om Santhi Santhi Santhi Om, menyiarkan doa Hindu (Puja Trisandya) pada pukul 6 pagi, 12 siang, 6 petang dengan mencontoh format Islam dan ungkapan gaya berdoa Kristen, dan acara wicara Dharma Wacana (Nordholt, 2007). Warisan konsep penyiaran doa Puja Trisandya ini masih eksis hingga sekarang baik di siaran televisi lokal maupun nasional. Perpolitikan dan kampanye Ajeg Bali yang kaitannya dengan Bali Post sebagai media lokal, membuat Dewa Made Beratha terpilih kembali menjadi Gubernur Bali pada Agustus 2003 (Nordholt, 2007).
I Made Mangku Pastika
I Made Mangku Pastika (28 Agustus 2008-29 Agustus 2018) merupakan gubernur ketujuh Provinsi Bali yang menjabat dua periode yaitu 2008-2013 dan 2013-2018. Dia berasal dari purnawirawan polisi dan menjadi politikus yaitu gubernur Provinsi Bali. Kebijakan Mangku Pastika yang paling dikenang dalam dunia kesehatan masyarakat adalah program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 6 Tahun 2010. Latar belakang Kebijakan JKBM ini lahir untuk menyinkronkan program jaminan kesehatan masyarakat Bali dengan Pemprov bersama pemerintah kabupaten/kota se-Bali membagikan pembiayaan jaminan kesehatan, karena sebelumnya masing-masing kabupaten mempunyai program jaminan kesehatan mereka sendiri misal ada Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) dan Askes Mandiri Tabanan (Januraga, 2010). JKBM berfungsi untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang adil bagi masyarakat Bali dengan pembiayaannya disubsidi oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di luar yang telah memiliki jaminan kesehatan lainnya (Januraga, 2010).
Mangku Pastika mempunyai kebijakan di sektor pendidikan yaitu Pemprov Bali bersama Yayasan Putera Sampoerna mendirikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Bali Mandara pada 2011. Sekolah ini dilegitimasi dengan adanya Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali Nomor 680/03-A/HK/2011. SMA Negeri Bali Mandara merupakan sekolah negeri bagi siswa Bali yang kurang mampu dimana pemerintah provinsi menanggung seluruh biaya (pendidikan, makan, pakaian, dan kebutuhan lainnya) tanpa memungut biaya dari siswanya. Bukan hanya SMAN Bali Mandara yang dibangun, pada 2013 juga didirikan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Bali Mandara yang mulai beroperasi pada Juli 2015. Kebijakan pendidikan ini berdampak besar bagi generasi muda Bali pada masa itu sehingga mereka yang tidak mampu secara finansial dapat melanjutkan pendidikan sekolah menengah. Para alumni SMAN/SMKN Bali Mandara juga melanjutkan sekolah kedinasan dan perguruan tinggi negeri maupun swasta untuk mendapatkan beasiwa dan biaya pendidikan.
I Wayan Koster
I Wayan Koster (5 September 2018-5 September 2023) merupakan gubernur kedelapan Provinsi Bali. Latar belakang beliau pernah menjadi tokoh komunitas Hindu yaitu Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia dan Prajaniti Hindu Indonesia. Karir politik beliau sebelum menjadi gubernur adalah anggota DPR-RI dari tahun 2004-2018. Banyak regulasinya berjudul “menjaga adat dan budaya” misalnya ketentuan tentang Desa Adat Bali supaya masuk ke dalam Undang-Undang Desa (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014). Latar belakang inilah yang membuat beliau sebagai gubernur mempunyai visi-misi dan arah kebijakan populis terkait menjaga kelestarian alam Bali dan masyarakat adat Bali. Koster bersama DPRD Provinsi mengeluarkan Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, dimana Pasal 3 ayat (2) Perda tersebut desa adat berfungsi salah satunya menyelenggarakan lembaga pemajuan adat, agama, tradisi, seni, dan budaya, serta kearifan lokal masyarakat desa adat. Maka dari itu Pemprov Bali membentuk perangkat daerah yang menangani urusan desa adat melalui Perda Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2019 yaitu Dinas Pemajuan Masyarakat Adat di Bali. Dinas tersebut berfungsi untuk mengelola dan menangani desa adat secara khusus.
Koster membuat kebijakan yang populis guna melestarikan pakaian adat Bali yang tertuang dalam Pergub Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang penggunaan busana adat Bali. Dampak kebijakan ini membuat seluruh pegawai instansi pemerintah dan swasta, para pelajar sekolah dan mahasiswa perguruan tinggi, serta pekerja pelayanan publik menggunakan busana adat setiap hari kamis, purnama, tilem, dan hari ulang tahun Provinsi Bali tanggal 14 Agustus. Koster juga membuat Pergub Bali Nomor 80 Tahun 2018 yang dimana guna melestarikan bahasa, aksara, dan sastra Bali, maka ruang publik dalam penulisan papan nama kantor, jalan, gedung, sarana pariwisata, dan fasilitas umum lainnya menggunakan aksara atau huruf Bali. Bidang lingkungan hidup, beliau juga membuat kebijakan larangan plastik sekali pakai yang diatur dalam Pergub Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai dan Pergub Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Kedua aturan tersebut, Pemprov Bali berharap masyarakat dapat mengurangi timbulan sampah plastik hingga 70% pada tahun 2025.
Koster juga mengeluarkan kebijakan yang populis lainnya tentang kebijakan keluarga berencana (KB) Krama Bali, yaitu mengubah jumlah anak yang dianjurkan sebelumnya dua orang menjadi empat orang. Kebijakan tersebut bertujuan untuk melestarikan nama anak dalam budaya Bali yakni Wayan/Gede/Putu (anak pertama), Made/Kadek/Nengah (anak kedua), Nyoman/Komang (anak ketiga), dan Ketut (anak keempat), dimana Koster menarasikan kekhawatirannya akibat pertumbuhan penduduk di Bali 14% lebih rendah daripada pertumbuhan penduduk nasional pada 2018, jika ini berlangsung maka populasi orang Bali akan cepat habis (Sukmaning Wahyu, dkk., 2021). Kebijakan tersebut tertuang dalam Instruksi Gubernur Nomor 1545 tentang Sosialisasi Program Keluarga Berencana (KB) Krama Bali ditetapkan pada tanggal 14 Juni 2019, dilatarbelakangi persoalan demografi dan sentimen anti-pendatang yang dimana pembatasan kelahiran dipandang sebagai upaya mengkerdilkan kekuatan sumber daya manusia Bali (Sukmaning Wahyu, dkk., 2021). Koster menyukseskan program KB Krama Bali dengan cara membuat kartu KB Krama Bali, yang nantinya Pemprov Bali akan menyalurkan berbagi bantuan untuk Krama Bali (masyarakat adat asli *Bali Hindu) yang memiliki empat anak. Kebijakan Koster ini didukung politisi, pejabat publik, dan media yaitu: I Ketut Suiasa, Wakil Bupati Badung yang menerbitkan kebijakan untuk meringankan beban ekonomi masyarakat yang melaksanakan program KB Krama Bali; Nyoman Sutjidra, Wakil Bupati Buleleng mendorong desa pakraman menyukseskan program KB Krama Bali demi adat dan budaya Bali.
Pada masa pemerintahannya, Indonesia khususnya Bali terkena dampak ekonomi dengan hadirnya Pandemi Covid-19 pada 2020. Untuk mengatasi dampak tersebut, Koster membuat suatu kebijakan ekonomi berupa jaringan pengaman sosial yang dimuat dalam Pergub Bali Nomor 15 Tahun 2020. Suatu kebijakan langkah strategis Pemprov Bali untuk mendistribusikan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat terdampak selama bulan Mei-Juli 2020, bertujuan agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka seperti ketersediaan pangan, biaya pendidikan, dan kebutuhan dasar lainnya (Wijaya, dkk., 2023). Kebijakan ini terealisasi dengan cukup baik, namun ada permasalahan yaitu realisasi bantuan sosial tunai (BST) kepada mahasiswa tidak tercapai dengan maksimal, produk pertanian lokal masyarakat Bali masih kurang terserap dalam bantuan pangan non-tunai (BNPT), dan permasalahan bansos yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan akibat tumpang-tindih data pemerintah (Wijaya, dkk., 2023). Kebijakan ini ada sangkut-pautnya dengan kepentingan politis Koster, beliau ingin menguatkan kepentingan dan kekuasaan patron-klien akan hubungannya dengan para pendukungnya yaitu desa adat dan masyarakat adat Bali (Wijaya, dkk., 2023). Hal tersebut dapat dibuktikan dalam beberapa pasal Pergub tersebut mengemukakan bahwa persyaratan penerima BNPT dan BST harus ber-KTP Bali, dan mendapatkan surat rekomendasi dari Bendesa Adat, dimana penerima terdaftar sebagai krama desa adat (Wijaya, dkk., 2023).
Daftar Pustaka: