Kampanye Pemilu 2024 telah berlangsung sejak akhir tahun 2023 lalu. Alat peraga kampanye (APK) seperti baliho, spanduk, poster calon presiden maupun calon legislatif marak ditemui setiap sudut jalan saat ini. Sayangnya, alat-alat kampanye tersebut tidak teroganisir dengan baik dan justru menambah pelik masalah sampah. Saat ini publik ataupun masyarakat juga mulai mempertanyakan efektivitas pemasangan alat peraga kampanye di jalanan. Langkah ini cukup mengindikasikan bahwa demokrasi tetap mengalami evaluasi dan transisi ke cara yang lebih ramah lingkungan.
Pemilu 2024 tinggal menghitung hari, kontestasi politik sudah bisa dirasakan oleh masyarakat. Kampanye yang dilakukan oleh caleg, partai politik, maupun calon presiden sudah mulai terpampang di jalanan. Alat peraga kampanye gambar wajah-wajah yang tersenyum lebar dengan janji-janji manis, telah menjadi pemandangan yang tidak asing di sepanjang jalan.
Alat peraga kampanye caleg yang terpampang di setiap sudut jalanan tidak dapat diabaikan lagi. Mereka telah bertransformasi dari sarana kampanye menjadi tumpukan sampah visual yang merusak panorama daerah. Alat peraga kampanye caleg yang tersenyum dengan janji-janji besar, seringkali hanya menjadi pemandangan yang melelahkan bagi mata dan pikiran warga masyarakat. Alat peraga kampanye yang terpasang tidak memberikan nilai edukatif, sehingga hanya menjadi sampah masyarakat. Selain itu, alat peraga kampanye ini juga menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan yang serius.
Mengapa alat peraga kampanye caleg bisa dianggap sebagai sampah lingkungan? Pertama, bahan pembuatan alat peraga kampanye yang umumnya terbuat dari plastik atau bahan sintetis lainnya sulit terurai oleh alam. Ini berarti alat peraga kampanye yang tidak lagi diperlukan akan menjadi sampah yang bertumpuk dan mencemari lingkungan. Kedua, proses produksi alat peraga kampanye juga dapat menyumbangkan dampak buruk terhadap lingkungan, mulai dari penggunaan sumber daya yang besar hingga polusi akibat limbah produksi.
Masalah sampah alat peraga kampanye setiap pelaksanaan pemilu harusnya sudah mendapat perhatian lebih dari setiap pemegang kebijakan di pusat maupun di daerah. Pemasangan alat peraga kampanye yang tidak teratur, berserakan di jalanan, hingga yang entah kapan akan dilepas menambah pelik permasalahan sampah.
Keberadaan sampah alat peraga kampanye tersebut seringkali justru mengganggu keindahan dari sebuah daerah, dan masyarakatlah yang seharusnya menyadari akan ketidaknyamanan tersebut. Evaluasi seputar tata kelola daerah perlu dikaji lebih mendalam, bukan hanya tentang letak bangunan yang bersifat permanen, namun juga letak iklan-iklan yang strategis agar tidak mengganggu fungsi sarana dan visual suatu daerah.
Pemasangan alat peraga kampanye secara sembarangan telah mereduksi kegiatan kampanye menjadi sekadar cara mendapatkan jabatan, bukan sosialisasi visi-misi dan cara mendapatkan dukungan rakyat. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 memberi ruang kepada peserta pemilu untuk memasang APK berupa baliho, spanduk, dan umbul-umbul dengan ukuran yang sudah ditetapkan. KPU juga mengatur agar peserta pemilu mencetak APK dengan mengutamakan penggunaan bahan yang bisa didaur ulang.
Alat Peraga Kampanye yang memenuhi ruang publik saat ini sebagian besar memakai bahan plastik yang berbahaya bagi lingkungan. Bukan hanya menghasilkan emisi yang berbahaya bagi lingkungan hidup dan manusia, alat peraga kampanye berbahan dasar plastik juga jadi sampah visual yang sangat mengganggu sebab para peserta pemilu memasang baliho dan spanduk di tempat sembarangan.
Ada yang memasang di tiang listrik, di atas pohon, di trotoar, di pertigaan jalan sampai menutupi rambu lalu lintas, bahkan ada yang memakunya di pohon-pohon. Padahal, pohon-pohon ini telah berkontribusi menjadi paru-paru lingkungan hidup. Karena alat peraga kampanye yang dipasang sembarangan, fungsi trotoar untuk berjalan kaki tak bisa digunakan. Pengendara atau pengguna jalan raya kehilangan fokus berkendara atau ada yang kecelakaan karena rambu lalu lintas terhalang oleh alat peraga kampanye.
Di beberapa titik, publik tak jarang melihat alat peraga kampanye yang dipasang serampangan jatuh di jalan. Kondisi ini tentu membahayakan pengguna jalan. Pascapemilu, alat peraga kampanye ini akan menjadi sampah plastik yang sulit diurai dan didaur ulang.
Dengan kata lain, para politisi yang memasang alat peraga kampanye secara sembarangan dan serampangan tak mengindahkan peraturan, etika lingkungan, estetika, kebersihan dan keindahan kota. Selain merusak alam karena menyumbang emisi dalam jumlah besar, tindakan itu juga mengganggu kenyamanan dan membahayakan masyarakat yang memakai jalan.
Idealnya, para politisi di negara demokrasi berpolitik dengan memperhatikan aturan dan mengedepankan etika, termasuk etika lingkungan. Sebab, rule of law dalam demokrasi dibuat dalam kerangka mengatur agar kehidupan bersama dan kedaulatan rakyat terjaga. Para politisi yang memasang alat peraga kampanye secara sembarangan telah mereduksi praktik politik menjadi upaya meraih kekuasaan tanpa mengindahkan etika dan aturan.
Mereka melanggar aturan pemasangan alat peraga kampanye dan tak memikirkan dampak kerusakan lingkungan dan emisi yang dihasilkan. Demi popularitas dan menaikkan elektabilitas, mereka berkampanye secara sembarangan tanpa memikirkan alat peraga kampanye mereka jadi sampah fisik yang sulit didaur ulang. Jika sekarang sudah menabrak aturan, merusak lingkungan, dan mengabaikan kenyamanan rakyat demi popularitas dan elektabilitas, ketika terpilih, hampir pasti mereka akan mengedepankan ego dan kepentingan pribadi.
Tentu saja, masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi tentang caleg dan program-program mereka. Namun, ada cara yang lebih baik untuk melakukan kampanye politik tanpa merusak estetika kota dan lingkungan. Berikut adalah beberapa ide yang dapat diadopsi untuk kampanye caleg yang lebih menarik dan berkelanjutan:
1. Kampanye Digital
Di era teknologi informasi ini, kampanye politik dapat lebih efektif dilakukan secara digital. Caleg dapat menggunakan media sosial, situs web, dan platform online lainnya untuk menyampaikan pesan-pesan mereka kepada pemilih. Ini tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga lebih tepat sasaran karena dapat mencapai khalayak yang lebih luas. Tentu dengan strategi yang jelas dan bukan sekadar upload apalagi kontennya tidak memiliki nilai edukatif.
2. Kampanye Kreatif dan Edukatif
Caleg dapat mengadopsi pendekatan yang lebih kreatif dan edukatif dalam kampanye mereka. Mengadakan pelatihan, seminar, lokakarya, atau diskusi terbuka tentang isu-isu penting yang dihadapi masyarakat seperti UMKM, Kesehatan masyarakat di daerah, pencegahan stunting dan sebagainya yang dapat meningkatkan interaksi dan pemahaman antara caleg dan pemilih.
Regulasi yang ketat dalam penggunaan alat peraga kampanye dalam berpolitik merupakan hal yang sangat penting dalam konteks kampanye politik. Tanpa pengawasan yang memadai, calon-calon cenderung menggunakan strategi kampanye yang tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga mengancam keselamatan pengguna jalan. Oleh karena itu, penerapan regulasi yang ketat dapat menjadi solusi efektif untuk menciptakan standar yang jelas terkait lokasi pemasangan, jumlah baliho, dan jenis bahan yang dapat digunakan.
Melalui pendekatan yang lebih kreatif dan berkelanjutan, caleg dapat tetap berkomunikasi dengan pemilih tanpa merusak lingkungan dan mengganggu keseimbangan visual di suatu daerah. Dengan kerja sama antara caleg, masyarakat, dan pihak berwenang, kita dapat menciptakan kampanye politik yang lebih bermakna dan berdampak positif bagi semua pihak.
(I Gede Perdana Yoga SH.,MH, staf Rumah Sakit Universitas Udayana)