Saya pertama kali mengenal karya Yandy Laurens di web series ‘Sore – Istri dari Masa Depan.’ Setelahnya, saya selalu mengikuti karya-karyanya. Sebut saja, Mengakhiri Cinta dalam Tiga Episode, Janji, Perjalanan Terbaik Sepanjang Masa, dan Yang Hilang dalam Cinta.
Sore dan Mengakhiri Cinta dalam Tiga Episode menurutku series dengan cerita yang spektakuler mengingat, di Sore-Istri dari Masa Depan, sang istri berasal dari masa depan. Sedangkan Mengakhiri Cinta dalam Tiga Episode, karakternya bisa melakukan telepati.
Tapi, di sinilah menariknya, Yandy selalu bercerita dengan cara yang paling sederhana. Bercerita sesuai dengan apa yang akan karakternya rasa. Meskipun karakter berbalut science fiction, ceritanya masih terasa dekat karena menyoal bagaimana karakter merespon tentang hal-hal tadi.
Feature film pertamanya, “Keluarga Cemara” sukses membuat saya hampir meneteskan air mata sebelum saya buru-buru menghapusnya karena melihat teman yang sudah menangis duluan. Ketika Jatuh Cinta Seperti di Film-Film tayang per 30 November 2023, saya buru-buru untuk datang menonton.
Jatuh Cinta Seperti di Film-Film bercerita tentang Bagus (Ringgo Agus Rahman), seorang penulis naskah film, yang sedang menulis naskah film berdasarkan kisah cinta pribadinya kepada seorang perempuan bernama Hana (Nirina Zubir). Hana sendiri sebenarnya masih dalam masa berkabung setelah kepergian suaminya.
Untuk memberi sedikit gambaran, iya, film ini merupakan film dalam film. Atau film yang bercerita tentang sebuah film. Tidak akan membuat bingung, menurut saya ini film ini diceritakan dengan cara yang mudah untuk dimengerti.
Selain itu, film ini dibuat dengan 80 persen dalam bentuk hitam putih. Meskipun demikian, gambar di film ini tetap menarik untuk dipandang. Warna hitam putih bagi saya tidak mengganggu sama sekali.
Dalam wawancara bersama Ernest Prakasa, Yandy Laurens mengatakan bahwa hitam-putih dipakai untuk menangkap lebih subtle bagaimana seseorang merasakan duka, Gambar hitam putih bagi saya memang memberi kesan lebih mendalam mengenai kesedihan yang dialami seseorang.
Beberapa scene yang menangkap dari dekat mata dan raut wajah Hana dalam film ini menjadi scene yang bisa membuat menelan ludah. Dialog-dialog panjang dalam film ini juga sangat seru untuk diikuti.
Film ini juga dibalut dengan komedi-komedi yang pas. Sebagian datang dari karakter yang memang komikal. Sebagian yang lain juga datang dari adegan-adegan dan situasi yang memang layak untuk mendapatkan tawa.
Film ini sepertinya juga datang dari keresahan si sutradara akan Industri film di Indonesia. Banyak adegan-adegan yang rasanya benar-benar diambil dari apa yang terjadi di lingkup produksi film. Hal ini secara tidak langsung menjadi kritik terhadap industri film itu sendiri.
Meski dibalut dengan komedi, film ini tetap merupakan film romantis. Ringgo dan Nirina memainkan perannya dengan sangat effortless dan loveable.
Yandy Laurens, si sutradara dalam film ini menyinggung soal bagaimana duka itu bekerja. Di dalam film yang diceritakan dalam film ini misalnya, grief atau duka digambarkan bisa begitu sangat dalam. Duka kadang bisa memberi lubang di hati yang menganga.
Bagian ini jadi subplot yang menarik untuk dipahami.
Menggunakan teknik bercerita film-dalam-film, dengan warna gambar hitam putih, namun dengan gaya bercerita yang sangat menyenangkan. Film ini adalah film yang usai ditonton memberi rasa puas. Sebuah film yang layak untuk mendapatkan sisihan waktu untuk menikmatinya di layar lebar.