Belum genap enam bulan keluarga Gusti Ngurah Suparta merampungkan rumah barunya saat ini. Rumah lamanya hancur menyisakan hanya cakar ayam beton, digerus air bah di aliran sungai mati di Desa Santi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem pada 17 Oktober 2022 lalu.
Ia masih ingat detail bagaimana kejadian yang mengakibatkan 2 anaknya meninggal. Sejak 2011 ia menempati aliran sungai mati itu, banjir tahun 2022 menjadi kejadian yang tak terduga.
“Tahun 2012 pernah ada hujan 3 hari 3 malam, air hanya setinggi mata kaki,” kenang Gusti.
Sehingga ia tak pernah menduga, hujan yang terjadi Oktober tahun lalu menjadi bencana pahit dalam keluarganya. Air setinggi 2 meter datang dari hulu aliran sungai mati. Membawa material berupa pasir dan batu.
“Anak saya yang kecil ditemukan dalam kondisi tergulung kasur, terkubur pasir,” Gusti menceritakan ketika ditemui di rumahnya (21/7).
Kejadian lainnya juga terjadi di Dusun Geriana Kauh, Duda Utara. Rumah Jero Samar yang terletak di aliran sungai mati menjadi langganan banjir bandang selama 2 tahun terakhir ini. Meski tak ada yang bisa dikatakan beruntung saat menjadi korban bencana, Jero Samar masih bisa menyelamatkan sedikit asetnya, meski sebanyak 3 petak tambak yang berisi sekitar 30 indukan ikan di kolam tergerus banjir bandang.
Banjir bandang tahun 2022 dan awal Juli 2023 menggagalkan panen padi dan ternak tambaknya. Sisa gerusan banjir yang membawa material galian C juga merobohkan tembok pembatas rumahnya. Meski sawahnya sudah tercampur pasir, saat ditemui Bulan Juli lalu terlihat Jero berusaha memanen sekitar 3 are lahan yang masih terisi sisa panen seperti singkong dan ubi.
Tak jauh dari rumah Jero, terlihat sisa rumah yang tertimbun pasir. Jero menceritakan, rumah itu salah satu yang menjadi korban banjir bandang Oktober 2022. Meski saat ini sudah tak dihuni, tapi tumpukan pasir dan isi rumah masih tersisa di pinggiran sungai mati.
Cuaca buruk ketika Oktober 2022 menjadi catatan bencana yang hampir serentak di semua daerah di Bali. Namun masing-masing daerah memiliki karakteristik bencana yang berbeda. Seperti halnya di Karangasem. Dalam data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali selama 5 tahun terakhir di Karangasem, banjir bandang terjadi sebanyak 16 kali. Sedangkan tanah longsor/senderan roboh ada sebanyak 51 kejadian.
Namun anehnya, banjir bandang yang menimpa keluarga Gusti Ngurah Suparta tidak tercatat pada 2022. Demikian juga air bah di Geriana Kauh. Rekapitulasi BPBD Karangasem tidak memasukkannya ke kejadian banjir bandang dalam catatan tahun 2022. Hanya disebut longsor dan senderan ambrol. Begitu juga rekapan BPBD 2023 tak mencatat longsor di wilayah Bebandem.
Dari tiga titik bencana air bah yang ditelusuri, warga menyebut semua sungai itu sebelumnya tidak pernah meluapkan banjir, bahkan lebih mirip sungai mati. Namun, ketika hujan 2 hari saja langsung membawa air bah. Apa yang memicu situasi ini?
Erosi Sungai Makin Parah, Warga Kehilangan Lahan
Pasca banjir bandang pada (30/07) cuaca masih terasa dingin. Kabut putih tipis menyelimuti bebukitan. Sinar matahari perlahan muncul dari timur. Petani, peternak, serta pedagang memulai akivitasnya. I Made Geria (40) satu di antaranya. Pria asal Banjar Dinas Nangka, Desa Buana Giri, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem nampak semangat menyabit rumput di ladang seluas 45 are miliknya. Lahan yang menjadi sumber penghidupan keluarga setiap hari. Sayuran, buah-buahan, dan pisang tumbuh subur di lahannya.
Lahan yang digarap Dek Geria, sapaan Made Geria, berada tepat di pinggir Dasar Aliran Sungai (DAS) Mbah Api. Sungai yang mengalirkan air sepanjang tahun saat hujan. Alirannya melewati beberapa desa lain. Mulai dari Desa Buana Giri hingga ke Kecamatan Karangasem. Dalam catatan daftar sungai di Bali, Tukad Mbah Api memiliki panjang sungai 5.000 meter. Sungai berhulu dari Gunung Agung. Debat aliran air akan meningkat di saat hujan deras turun.
Geria bercerita pada Oktober 2022, debat air Sungai Mbah Api dari hulu meningkat. Material bebatuan dan pasir terbawa. Tanaman warga, seperti pohon nangka, alpukat, dan pisang habis diterjang air bah. Aliran sungai meluap hingga mengakibatkan longsor, menggerus kebun warga di Banjar Nangka. Juli 2023 kemarin kembali terjadi.
Dua meter lahan Dek Geria juga tergerus Sungai Mbah Api. Gerusan air bah dekat lahannya tak berlanjut setelah dibuatkan bronjong di sisi kanan jembatan. Bronjong adalah sebuah konstruksi yang digunakan untuk mencegah erosi pada tanah lereng biasanya banyak digunakan pada pinggiran sungai.Tujuan dibangun bronjong untuk memperkuat pondasi jembatan atau struktur tanah di sekitar tebing agar tidak tergerus longsor pada tepi sungai, dan tepi tanggul. Panjang bronjong sekitar 10 meter. Bahannya dari kawat, batu. Kondisi bronjong hampir rusak setelah diterjang air bah Sungai Mbah Api. Kawatnya terputus di beberapa bagian, dan batunya sudah tak beraturan.
“Banyak lahan warga dekat sungai yang tergerus. Lahan di sisi kanan dan kiri masih berpotensi tergerus kembali karena tidak ada pelindungnya. Apalagi kondisi tanah labil. Pembuatan bronjong hanya di dekat jembatan. Pembuatan bronjong tak terlalu panjang,” keluh Dek Geria.
Pria dua anak mengaku, lahan yang tergerus lumayan panjang. Terlihat dari badan sungai yang melebar. Terutama sejak hujan Oktober 2022. Semula, badan Sungai Mbah Api di Banjar Nangka hanya 5 meter. Lalu melebar menjadi 15 meter. Artinya terdapat erosi sungai 10 meter. Petani yang memiliki lahan di pinggir sungai merugi. ”Berapa kerugiannya nggak tahu. Lahan warga yang tergerus kemungkinan sampai hektaran jika dihitung dari hulu,” prediksi Made Geria.
Sebelum dibangun Jembatan Mbah Api Tahun 2018, di tengah sungai ada jalan aspal. Tapi sudah tergerus air bah. Bekasnya sudah tertutup material pasir dan bebatuan.
Kondisi serupa terjadi di aliran Sungai Buhu, Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem. Sungai Buhu merupakan sungai intermitten. Mengalirkan air pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau kering. Aliran airnya melewati beberapa desa lain. Mulai dari Desa Jungutan, hingga Bugbug, Kecamatan Karangasem. Panjang sungai 19.000 meter. Aliran sungai ini berhulu dari Gunung Agung.
I Ketut Padang, warga asal Desa Jungutan, menceritakan, kondisi aliran Sungai Buhu sebelum air bah menerjang. Lebar sempadan Sungai Buhu 3 meter. Samping kanan dan kiri sungai berdiri pepohonan berukuran besar. Seperti pohon jenis pule dan kapuk.
Oktober 2022 hujan deras turun. Air bah dari hulu mengagetkan warga. Material berupa bebatuan dan pasir terbawa arus. Pohon besar yang berdiri kokoh tumbang dihantam air bah. Jalan yang semula aman untuk dilewati saat hujan putus. Lahan samping kanan dan kiri sempadan sungai tergerus. Pertanian warga terendam lantaran luapan air sungai. Akibatnya hasil panen turun. Beberapa alami gagal panen.”Sebelumnya tak pernah aliran air sungai besar,” kata Padang.
“Banyak lahan sisi kanan dan kiri di pinggir sungai tergerus karena air bah itu. Dulu, lebarnya sungai 3 meter. Sekarang sudah hampir 7 meter. Permukaan mulai dangkal. Rata dengan jalan raya. Karena material yang dibawa air sungai dari hulu seperti batu ukuran besar, pepohonan, serta pasir.
Peneliti Merekomendasi Pemindahan sekolah
SMP Negeri 3 Bebandem berdiri di Banjar Dinas Butus, Desa Buana Giri, Kecamatan Bebandem. Jumlah siswanya lebih 300 orang dari kelas VII sampai IX. Bangunan sekolahnya antara jalan raya dan Sungai Mbah Api. Jarak antara bangunan sekolah dengan sempadan sungai hanya 2 meter. Sedangkan kedalaman sungai dari sekolah bervariasi 15 meter-20 meter. Sungai penuh pasir dan batu.
Sejak hantaman erupsi Gunung Agung pada 2017 dan air bah pada 2022, sebagian sekolah sudah dinyatakan berisiko ambrol ke sungai karena erosi makin menjadi. Sekolah ini sudah direkomendasikan untuk direlokasi.
Kepala SMP Negeri 3 Bebandem, I Made Wijana, menceritakan kondisi sekolah sebelum air bah mengerus pekarangan sekolah dan mengakibatkan longsor. Jarak sekolah dengan sempadan sungai 10 meter sebelum terjadi erosi dan longsor. Pada Oktober 2022 hujan deras mengakibatkan air bah membuat tanah di bawah bangunan sekolah tergerus.. Sedikit demi sedikit hingga mendekati sejumlah bangunan sekolahnya.
Senderan tempat sembahyang sekolah jebol. Temboknya juga ambruk. Sedikitnya 3 ruangan yakni ruang UKS dan Laboratorium tidak difungsikan karena berpotensi longsor. Tempat sembahyang atau Padmasana sekolah juga tak digunakan. Pemerintah daerah memasang police line di area Padmasana.
“Siswa biasanya kita pulangkan lebih awal kalau sudah turun hujan. Kita tak ingin sesuatu terjadi menimpanya. Dari hasil penelitian ITB, SMP Negeri 3 Bebandem masuk zona rawan. Tanah labil, dan mudah tergerus saat turun hujan. Proses belajar mengajar sementara difokuskan di ruangan yang dinyatakan aman. Kita tidak ingin sesuatu terjadi,” tambah I Made Wijana.
Peneliti ITB, Dr. Eng. Ir.Asep Saepuloh, S.T., Eng menjelaskan, SMP Negeri 3 Bebandem berada dalam kawasan rawan bencana III Gunung Api. Potensi bencana seperti awan panas, abu vulkanik, erosi, lahar dan longsor sangat tinggi. Apalagi material sungai sekitar sekolah adalah gravel (natural w/sand) dan sand (dry/water filled) sesuai visualisasi drone.
“Berdasarkan hasil penelitian yang kita lakukan dari tahun 2018, 2019, dan 2022 diperoleh perubahan signifikan yang terjadi di area sekolah. Awalnya luas sekolah 10.000 m2 tahun 2018, dan di akhir 2022 menjadi 9.338 m2,” jelasnya. Artinya sekitar 662 m2 lahan sekolah tergerus air bah sekitar Sungai Mbah Api.
Karena erosi masih berpotensi meluas, para peneliti ITB ini mengusulkan relokasi sekolah. Hasil penelitian ini disampaikan dalam rapat koordinasi di kantor BPBD Karangasem pada 20 Juli 2023. Hasil diskusi adalah relokasi belum memungkinkan, karena itu ada rencana penguatan sabo dam atau penguatan bangunan sekolah.
Nyoman Teguh Saputra, salah satu perangkat Desa Bebandem dalam diskusi itu minta keseriusan pemerintah untuk mengantisipasi kondisi sekolah. Ia berharap ada pembatasan galian C di sebelah selatan. Menurutnya jika galian terlalu dalam, melebihi puluhan meter, akan berdampak pada sungai dan pemukiman serta sekolah sekitarnya.
Sedimentasi makin tak terelakkan karena tiap air bah membawa material pasir dan bebatuan. Di sejumlah sungai intermiten (hanya berisi air saat hujan) ada sejumlah titik penambangan galian C (batu dan pasir), sumber pendapatan asli daerah Karangasem.
Salah satu warga, Geria, menyebut pendangkalan sangat tinggi. Misalnya di Sungai Mbah Api bisa mencapai lebih 2 meter. Itu terlihat dari jalan yang sudah hilang tertanam material. Tebing sempadan sungai yang semula lebih tinggi dengan permukaan sungai, kini rata dan sejajar. ”Bentuk sungai sudah berbeda dengan sebelumnya. Kedalamannya maupun lebar. Dulu tidak ada bebatuan, sekarang banyak,” lanjutnya.
Peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Bidang Geologi, Edi Sucipta, membenarkan kondisi ini. Aliran Sungai Mbah Api sekitar Br. Dinas Nangka memang alami sedimentasi cukup cepat. Ia juga memperkirakan di beberapa titik mencapai 4-5 meter. Karena luapan air sungai kini sudah mencapai jalan, serta menggerus lahan penduduk. Kondisi ini sangat membahayakan dalam jangka panjang.
“Apalagi kondisi tanah sekitar sempadan sungai labil, terlihat dari warna tanah yang agak kecokelatan. Sehingga mudah digerus,” kata Edi Sucipta saat memantau kondisi Mbah Api pada Juli 2023.
Kepala Pelaksana BPBD Karangasem Ida Bagus Ketut Arimbawa menjelaskan Karangasem dikepung 12 jenis dari 14 jenis bencana.
Bencana pada 6-10 Juli membuat infrastruktur banyak rusak seperti jembatan ambrol dan kerusakan rumah serta sekolah. Jumlah penduduk terdampak bencana makin banyak, 2 tahun terakhir 7 orang meninggal. Edukasi siaga bencana sejauh ini fokus gempa bumi dan erupsi.
Salah satu programnya adalah Desa Siaga Bencana (Destana), saat ini ada 10 desa. Warga dilatih penanganan mandiri. Di antaranya Besakih, Temukus, Sege, Sogra, Sebudi. “Tapi anggaran minim,” keluhnya. Karena itu pihaknya kerap kerja sama dengan sejumlah lembaga.
Untuk banjir bandang, antisipasinya dengan membangun beberapa sabo dam untuk menampung material dan menahan luncuran material. “Akan dibangun lagi di SMPN 3 Bebandem, juga perlu koordinasi galian C agar tak terlalu masif, tapi izinnya kan di provinsi,” sebutnya.
Sementara untuk bencana longsor, sejumlah daerah yang hampir tiap tahun ada kejadian adalah Duda Timur. Pihaknya mengantisipasi dengan menyampaikan surat peringatan cuaca ke camat. “Begitu hujan lebat warga bergeser ke tempat yang lebih aman. Itu yang kita lakukan,” jelas Arimbawa.
Banjir bandang dan longsor adalah dua bencana yang paling banyak membuat kerugian dan korban. Bagaimana dengan dampak tambang? Karena pada 2022 dan 2023, banjir bandang kerap membawa material pasir dan batu.
Ia mengaku belum mengkaji. Namun, air hujan diakui makin sulit meresap dan meluncur ke sungai-sungai kecil di jalur-jalur rumah warga, membawa batu pasir, hingga aliran sungai tertutup. Meluaplah ke rumah-rumah warga.
Karena pernah ada erupsi Gunung Agung, sungai berpotensi untuk galian. ”Terlepas ada izin atau tidak itu bukan konteks kami. Yang jelas di hulu sungai itu ada aktivitas galian penambangan pasir. Apakah itu penyebabnya? Itu bukan kapasitas kami yang berbicara di sana karena kami tidak tau secara teknis,” jawabnya. Ia mengutip BMKG, pemicunya adalah hujan intensitas tinggi, durasinya lebih lama, dan tidak terserap ke tanah.
Terkait anggaran mitigasi bencana, ia akui saat pandemi Covid, sangat minim. Sementara pada 2022-2023, angaran BPBD Karangasem sebesar Rp800 juta.
Bencana pada 2022 itu menurutnya memungkinkan dinyatakan tanggap darurat. Dana tanggap darurat bisa dikeluarkan oleh bupati berdasarkan kajian teknis dari dinas terkait kemudian BPBD membuat suratnya. “Tidak ada dana tanggap darurat karena dinilai dana sudah cukup dana dari kegiatan rutin PUPR untuk perbaikan. Seperti jalan putus, jalan tergerus,” ujarnya terkait bencana 2022.
Saat darurat, penanganan PUPR hanya bersifat sementara, misalnya pakai kayu untuk buat bronjong. Setelah tanggap darurat, dinyatakan transisi pemulihan baru bisa menggunakan dana rutin dan perbaikan permanen, dana itu selalu tersedia sekitar Rp3 miliar.
Normalisasi Sungai Kalah Cepat dengan Bencana
Gunung tertinggi di Pulau Dewata mulai memuntahkan material tanggal 21 November 2017, dan berlanjut hingga awal 2019. Status Gunung Agung pun saat itu ditingkatkan ke awas.
Peneliti dari ITB Bidang Geologi, Edi Sucipta, mengatakan, pendangkalan di sungai yang berhulu di Gunung Agung disebabkan beberapa faktor. Selain air bah juga erupsi Gunung Agung. Lava yang dimuntahkan gunung terbawa air, menyebabkan banjir lahar dingin dan menambah sedimentasi.
Dalam siaran pers Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Mei 2019, volume lava di kubah lava mencapai 25 – 28 juta kubik sesuai pengamatan citra satelit. Sedangkan kapasitas kubah Gunung Agung mampu menampung 60 juta kubik. Kumpulan lava di kawah Gunung Agung sedikit demi sedikit dimuntahkan melalui erupsi. Sehingga lontaran batu, pasir, dan abu berjatuhan di dalam serta luar kawah.
Jatuhan material terbawa air hujan melewati sungai yang berhulu di Gunung Agung, sehingga menyebabkan bahaya sekunder berupa aliran lahar hujan. Fenomena ini terjadi saat turun hujan. Setelah hujan berhenti, material akan mengendap di sempadan sungai, sehingga menyebabkan sedimentasi. Di antaranya di aliran DAS Sungai Mbah Api dan Sungai Buhu.
Bencana hidrometeorologi yakni bencana air bah, banjir dan tanah longsor juga menambah sedimentasi di beberapa sempadan sungai. Dari 494 bencana di Karangasem selama dua tahun terakhir, 2022-2023, hampir 80 persen disebabkan hidrometeorologi. Didominasi pohon tumbang, tanah longsor, banjir bandang, air bah, dan erosi.
A.A Putu Eka Putra Wirawan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah III Denpasar, mengatakan hujan dikatakan lebat jika curah hujannya melebihi 50 mm/24 jam (per hari). Curah hujan tinggi pada 2022 yakni Januari, Februari, Mei, Oktober, dan November mencapai 100-200 mm per hari.
Curah hujan pada Juli 2023 juga tinggi. Curah hujan tinggi di musim kemarau ini disebut karena fenomena global dan regional sekitar perairan Indonesia.
Dr. Edi Riawan, peneliti ITB bidang hidrometeorologi mengatakan, derasnya hujan pada Oktober 2022 dan Juli 2023 sangat berpotensi terjadi erosi dan sedimentasi. Debit aliran sungai yang tinggi akan mempercepat proses erosi dan sedimentasi. Apalagi material bekas erupsi Gunung Agung masih ada di sekitar lereng Gunung Agung dan sempadan sungai.
Jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Karangasem sebanyak 78 titik. Hanya 37 DAS dikategorikan sungai perennial, mengalirkan air sepanjang tahun. Sedangkan sisanya masuk kategori sungai intermitten. Artinya sungai hanya mengalirkan airnya pada musim penghujan, sedangkan kemarau airnya kering. Lokasi sungai tersebar di semua kecamatan.
Neke Krisna Yana dari Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida mengakui ada beberapa DAS di Karangasem yang mengalami sedimentasi cukup tinggi. Ini dipicu oleh erupsi Gunung Agung dan pengerukan galian C. Material yang bersumber dari erupsi dan pengerukan terbawa air hingga mengakibatkan sedimentasi. BWS Bali Penida berencana akan lakukan normalisasi di beberapa titik daerah yang rawan dan berpotensi terjadi banjir serta air bah.
“Seperti Sungai Ketes ada usulan, cuma belum direalisasikan menunggu ketersedian anggaran. Tahun 2023 ini ada aliran Sungai Buhu yang dinormalisasi. Nanti akan kita survei lagi kondisi sungai di Karangasem,” janjinya.
Kabid Sumber Daya Air Dinas Perumahan, dan Permukiman Karangasem Made Wiguna menambahkan, hampir semua DAS di Karangasem mengalami sedimentasi. Terutama di DAS Unda, Mbah Api, dan Buhu. Pemerintah Daerah (Pemda) Karangasem tidak bisa melakukan normalisasi secara keseluruhan terkendala anggaran. ”Rata-rata normalisasi 1 kilometer dengan lebar sekitar 8 meter,” ungkap Wiguna.
Ada 11 titik normalisasi pada 2021 dan 2022. Misalnya Sungai Dalem Hulu di Kecamatan Kubu. Anggarannya hanya Rp 150 juta. Lalu ada Sungai Batuniti-Desa Tulamben, Sungai Belong-Desa Ban. Selanjutnya Sungai Buhu, Sungai Petiwasan-Manggis, Sungai Sayong-Kubu, Sungai Sehe-Abang, dan Sungai Wates-Tianyar Tengah. Masing-masing anggaran dananya Rp 200 juta.
Sedangkan pada 2022, pemerintah hanya normalisasi Sungai Buwatan di Kecamatan Manggis, Sungai Deling-Kubu, dan Sungai Ketes-Abang. Untuk 2023, proyek normalisasi nihil karena terkendala anggaran. ”Sungai yang dinormalisasi rata-rata dekat dengan permukiman. Agar tak ada korban jiwa dan kerugian,” jelas Wiguna.
Mengoptimalkan Pajak dari Tambang Menambah Kerentanan?
Jalan aspal berlubang, daun berselimutkan debu, panas menyengat, barisan truk penuh beban merayap perlahan menuruni jalan. Berpapasan dengan truk lain yang hendak mengambil material pasir di hulu. Pengendara motor mengekor di belakang pantat truk, menunggu celah kecil untuk menyalip.
Inilah perjalanan ketika menyusuri jalanan dari Desa Budakeling menuju Desa Nangka, Kabupaten Karangasem. Tidak jauh berbeda ketika melintas di sekitar Desa Selat menuju Desa Sebudi. Titik terpadat lokasi penambangan material batu dan pasir (Galian C).
Berada di kaki Gunung Agung, gunung berapi tertinggi di Pulau Bali membawa berkah bagi kabupaten di ujung timur Pulau Bali ini. Sampai dikenal dengan sebutan Gumi Lahar (tanah lava) Dengan luas wilayah 839,54 Km2, Kabupaten Karangasem dibagi dalam delapan kecamatan, empat kecamatan berbatasan langsung dengan Gunung Agung yakni Kecamatan Rendang, Selat, Bebandem, dan Kubu. Tiga kecamatan terakhir merupakan daerah dengan potensi material pasir dan batuan melimpah.
Bahkan pendapatan pajak 2 tahun terakhir terbanyak dari penambangan. Pada 2021, berdasarkan data Laporan Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karangasem, pajak daerah kategori Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan hampir Rp 52 miliar melampaui target yakni Rp 46 miliar.
Pajak ini menyumbang sekitar 67% dari target pajak daerah pada tahun tersebut yakni lebih dari Rp 77 miliar.
Pada 2022, Pemkab Karangasem meningkatkan target PAD dari pendapatan pajak menjadi hampir Rp 142 miliar, dua kali lipat dari target 2021. Pendapatan pajak dari sektor pajak mineral bukan logam dan batuan mencapai 68% atau lebih dari Rp 96 miliar. Nilai ini bahkan jauh lebih besar dari pajak hotel 16% dengan besaran lebih dari Rp 23 miliar dan Pajak Restoran sekitar 8% lebih dari Rp 11 miliar.
Nengah Adi Suteja, staf teknis Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (PKAD) Karangasem yang dikonfirmasi 10 Oktober 2023 menyebut sebanyak 13% pajak daerah jadi bagi hasil untuk pemerintahan desa. Ada 75 desa di Karangasem. Juga ada 5% untuk insenif pemungut pajak, selebihnya yakni 72% dialokasikan sebagai biaya penunjang pemerintah Karangasem.
Dari dokumen perubahan APBD tahun anggaran 2022, program penanggulangan bencana sebesar Rp2,3 miliar lebih, dibagi ke program pencegahan dan penanganan, belanja barang dan jasa, dan lainnya. Sedangkan tahun 2023, nilai penanggulangan bencana bertambah menjadi Rp2,5 miliar lebih.
Visualisasi PAD:
Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan pada penerimaan daerah dari pajak tambang ini. Berdasarkan data One Maps Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), setidaknya ada sekitar 40 badan usaha penambangan mineral non logam dan batuan yang beroperasi di Karangasem. Jenis ijinnya bervariasi, ada yang baru pada tingkatan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), ada yang sudah pada Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.
Dari posisi lokasi wilayah penambangan, beberapa perusahaan yang beroperasi di kecamatan Selat dan Bebandem berada pada wilayah hulu, sementara di kecamatan Kubu berada di wilayah hilir.
Di Kecamatan Selat misalnya setidaknya ada sekitar 4 badan usaha memiliki izin status WIUP dengan luasan bervariasi antara 1-10 hektar, tersebar di wilayah Desa Sebudi. Sementara di Kecamatan Bebandem terdapat sekitar 12 badan usaha dengan status pemegang WIUP, dengan luasan 1-7 hektar. Satu badan usaha berada di kawasan Kecamatan Abang, dengan luasan WIUP sekitar 2,8 hektar.
Sementara jumlah terbanyak ada di wilayah kecamatan Kubu, dengan jumlah sekitar 23 badan usaha dengan status WIUP sampai IUP Eksplorasi. Luasnya pun bervariasi, dari sekitar 1 hektar hingga 172 hektar. Pemberi izin pun beragam, ada yang mendapatkan dari kementerian atau pemerintah provinsi.
Nah, masalah izin ini jadi sumber masalah. I Nyoman Wiratmo Juniarta, Analis Kebijakan dari Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui ada sejumlah masalah dalam manajemen pertambangan mineral bukan logam ini. Mulai dari pengawasan dan pemberian izin. Provinsi yang mengeluarkan izin pertambangan, namun hasilnya diterima kabupaten. Sedangkan anggaran pengawasan dan sumberdayanya di provinsi.
“Tidak adilnya, PR di sini (provinsi), RP-nya d Karangasem. Kesulitan mengeluh. Kita koar-koar pengawasan, tidak nyambung. Mungkin perlu dibenahi. Lebih pas (pengawasan) di kabupaten, karena tahu wilayah, provinsi hanya membina. Lingkungan rusak dan wilayah kan punya kabupaten, duitnya juga untuk recovery,” tuturnya pada wawancara di kantor 28 Juli 2023.
Jika ada pelanggaran, pihaknya kerap kesulitan menjangkau. Misalnya ketika diminta turun ke lokasi tambang, misalnya dalam fungsi penegakan aturan oleh Satpol PP. Karena itu ia menyarankan, pengawasan akurat di pemilik lahan dan penyanding, “Kami tak mampu mengawasi per bulan. Kalau lahan diobrak-abrik teriaklah ke Kadus, kalau tidak bisa ke Camat, kalau tidak baru kita,” lanjut Wiratmo.
Salah satu hal yang nampak dilanggar adalah minimnya pemulihan di lokasi tambang. Karena pengusaha tambang terus menggali material sampai habis, termasuk di pinggiran yang mendorong erosi. Terutama ketika dilalui air bah usai hujan.
Ia menyebut penggalian kedalamannya bervariasi antara 10-20 meter. Namun syaratnya pengusaha harus membuat terasering agar tidak longsor. Termasuk ada batas jarak 5 meter dari lahan penyanding.
Salah satu pelanggaran lain adalah penambangan tidak berizin di kawasan Tukad Mbah Api (ada yang menulis Mbaa Api). Sedikitnya ada 10 titik penambangan material galian C. Sementara sudah ada satu sekolah SMPN 3 Bebandem yang direkomendasikan untuk relokasi karena berlokasi di sempadan sungai ini karena makin terancam jebol. Akibat erosi sungai.
Sekolah ini diapit titik penambangan di hulu dan hilirnya. Wiratmo menyebut tidak ada yang berizin dan pernah didatangi Satpol PP. “Harus ada kajian teknis apa penyebabnya. Agar berjangka panjang solusinya. Saya tidak berani memberi solusi,” serunya.
Ketika itu, pengusaha berjanji menyender sempadan sekitar sekolah. Namun kembali dihantam air bah saat hujan deras Juli 2023 lalu. Peneliti dari ITB sudah menganalisis, potensi ambrol adalah setengah dari bangunan sekolah saat ini.
Bagaimana mekanisme penanganan tambang yang tidak berizin itu? “Kita punya Perda, ranahnya Satpol PP untuk penegakan hukum, kami ikut jadi bagian. Pengusaha saat itu mau patungan untuk mengamankan tebing agar tidak makin parah. Sambil menunggu kajian dan dana,” jawabnya.
Kadek Antien Susy Susanthi, pegiat pemetaan berbasis masyarakat di Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Bali yang diminta bantuan untuk mengestimasikan luas tambang di daerah aliran sungai Mbah Api itu menyebut lebih dari 62 Ha dari 14 titik yang terlihat di peta google earth.
Digitasi ini menggunakan quantum GIS. “Biasanya kalau ambil titik-titik di lapangan menggunakan GPS akurasi titik eror 3 meter. Karena ini hanya delianiasi citra dan tidak turun langsung ke lapangan kemungkinannya 50%,” jelasnya. Untuk kepastian luasan tambang harus dipetakan langsung ke lapangan.
Inilah titik-titik tambang yang berizin menurut data pemerintah:
https://www.google.com/maps/d/embed?mid=1lhghKnMeZSpuTMJI0Z3KwYR0TEOT7w0&ehbc=2E312F
Menyusu pada Lahar
Material yang selama ini ditambang merupakan produk vulkanik yang dimuntahkan oleh Gunung Agung. Muntahan dialirkan melalui cerukan-cerukan sungai yang berhulu di gunung. Material vulkanik tersebut menggunakan aliran sungai sebagai jalan utama untuk melintas dari hulu menuju hilir.
Jika melihat peta Minerba One Maps Indonesia (MOBI) ESDM, ada citra yang menarik antara luas izin dan luas area yang telah ditambang. Hal ini hanya bisa dilihat melalui citra satelit, tidak ada ukuran yang jelas berapa area yang selama bertahun-tahun telah dikeruk untuk diambil pasir dan batuannya.
Pemerintah Provinsi Bali yang mengeluarkan izin pertambangan ini mengaku kesulitan mengawasi usaha tambang. Selain kurangnya anggaran untuk pengawasan, juga ada perubahan kewenangan.
Perda Provinsi Bali No.4 tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan menggugurkan batasan ketinggian 500 mdpl sebagai lokasi pertambangan dalam Perda Karangasem. Hal tersebut memudahkan hulu jadi lokasi pertambangan. Setelah itu muncul UU No 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyatakan kewenangan perizinan di pemerintah pusat. Lalu kemudian muncul Perpres 55/2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengubah tata kelola perizinan juga.
Kontradiksinya, tata kelola ruang diatur dalam RTRW tingkat kabupaten, namun perizinan dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dan pusat.
Infografis bencana Karangasem:
Penulis: Ni Ketut Juniantari, I Gede Rai Astrawan, dan Saiful (Tribun Bali).
Liputan ini adalah kolaborasi antara wartawan media di Bali dengan pewarta warga di Karangasem, didukung Kurawal Foundation.