Pangiwan berasal dari kata dasar kiwa. Artinya kiri. Kata dasar itu mendapat imbuhan berupa konfiks pa-an yang biasanya berfungsi membentuk nomina atau kata benda.
Gabungan antara kata dasar dan konfiks tadi menghasilkan kata ‘pakiwaan’. Kata itu mengalami proses nasalisasi pada fonem /k/ menjadi ‘ng’. Dua fonem vokal /a/ pada bagian belakang, disandikan sehingga menjadi satu fonem /a/.
Begitulah kronologi terbentuknya kata Pangiwan dari sudut pandang linguistik. Sudut pandang linguistik penting saya ketengahkan, agar pendekatan kita dalam membicarakan pangiwan tidak melulu mistik. Berdasarkan kepada kronologi di awal, Pangiwan termasuk ke dalam kata benda.
Begitu menurut linguistik, beda lagi menurut tradisi. Pangiwan dalam tradisi Bali berarti ilmu magis-kiri. Kenapa kiri? Saya menduga ada beberapa sebabnya. Dugaan pertama adalah karena Pangiwan berkaitan dengan klasifikasi teks-teks ajaran Tantra. Sederhananya, teks-teks ajaran Tantra memang dibagi menjadi tiga klasifikasi yakni Daksina, Vama, dan Saiwasiddhanta.
Dari klasifikasi itu, Pangiwan barangkali digolongkan dalam klasifikasi Vama [kiri]. Tapi sampai saat ini, saya belum mencapai titik pembuktian yang memuaskan perihal ini. Sebab Tantra sendiri adalah suatu bidang yang sangat luas.
Dugaan kedua, karena kiri menurut beberapa sumber adalah jalur api dalam tubuh. Api adalah inti dari Pangiwan. Ada tiga jalur dalam tubuh manusia, yakni jalur api, air, dan udara. Karena ada tiga, maka disebut pula Tri. Jalur aliran ketiganya diibaratkan seperti sungai. Pusat kendalinya adalah otak yang dianalogikan seperti gunung. Nama lain sungai dalam bahasa yang lebih kuno adalah Nadhi. Oleh sebab itu, tiga jalur utama dalam tubuh manusia disebut Tri Nadi.
Tiga jalur ini sangat familiar dalam ajaran Yoga. Ketiganya yakni: ida, pinggala dan. susumna. Ada istilah lain untuk menyebut ketiga jalur itu yakni: Anawaha, Toyawaha dan Pranawaha. Anawaha berarti jalur makanan. Toyawaha berarti jalur minuman.
Sedangkan Pranawaha berarti jalur nafas. Ketiga inilah yang diolah dalam praktik Pangiwan, sebagaimana disebutkan dalam lontar.
Apa bukti bahwa jalur kiri adalah api? Dalam teks Mahanirwana Tantra jalur Ida terletak di sebelah kiri.
Jalur ini melingkar dari pusar sampai ke titik pertengahan dahi. Di titik itu jalur Ida tembus ke hidung sebelah kiri. Apa hubungan jalur Ida dengan api? Menurut teks yang lain, semisal Homa Dhyatmika, mantra untuk jalur Ida adalah Ang. Mantra Ang adalah representasi dari kekuatan api rahasia.
Api rahasia ini ada di dalam tubuh, sehingga tubuh bisa terus menjaga kehangatannya. Menurut sumbernya, kehangatan tubuh ini ada hubungannya dengan darah manusia yang dipompa jantung. Tentang api rahasia dan kehangatan suhu tubuh yang berkaitan dengan darah sebaiknya kita bicarakan pada tulisan lain yang khusus.
Keterangan yang diberikan oleh Homa Dhyatmika, memberikan satu petunjuk penting mengapa jalur api disebut ada di kiri dan hubungannya dengan pangiwan. Tetapi bagi saya, hal ini belum cukup memuaskan juga. Sebab di dalam teks yang sama, yakni Mahanirwana Tantra, api konon mengalir dari pangkal susumna yang terletak di tengah. Pangkal jalur ini disebut sebagai nabhi.
Di tempat itu terdapat kundalini api. Sepanjang jalur inilah cakra yang dianalogikan seperti teratai berada. Kalau kita merujuk teks Mahanirwana, kita akan mendapatkan penjelasan yang cukup komprehensif tentang ketujuh cakra ini.
Karena sangat dekat hubungan antara Pangiwan dengan Yoga, maka banyak yang menduga-duga bahwa Pangiwan adalah bentuk yoga kuno Bali. Pandangan ini tidak salah, tetapi tidak juga benar. Terminologi “kuno Bali” bisa ditarik ke kronik waktu yang sangat panjang. Setidaknya dari abad ke-9 Masehi. Sayangnya belum dapat dipastikan teks-teks yoga yang digunakan dari masa itu. Bila yang dimaksud sebagai yoga kuno Bali adalah Kanda Pat beserta turunannya, maka hal ini perlu diragukan lagi.
Teks kanda Pat sangat jarang memuat angka tahun pembuatan, sehingga sangat sulit dibuktikan kronik sejarahnya. Namun tinggalan teks yang bisa dimanfaatkan adalah Purwaka Weda Buddha yang menunjukkan pemakaian ajaran ini dalam pemujaan yang dilakukan oleh Pendeta Buddha Bali. Pendeta Buddha Bali yang kita ketahui sekarang, menurut teks-teks babad berasal dari Jawa.
Bila yang dimaksud yoga kuno Bali adalah Dasa Aksara dan Dasa Bayu, jelaslah teks-teks yang lebih tua yang diwarisi kini di Bali juga berasal dari Jawa. Contohnya adalah teks Jnana Siddhanta. Terminologi ‘yoga kuno Bali’ ini sebenarnya sampai pada titik tertentu sangat kabur, bahkan tidak jelas.
Memang ada kemungkinan bahwa peradaban yang sama sempat berkembang antara Bali dan Jawa. Tinggalan-tinggalan arkeologi pun menunjukkan ke arah itu, semisal prasasti-prasasti Bali Kuno yang masih bisa dibaca sampai hari ini. Bila benar demikian, yoga Kuno yang dimaksud tidak hanya milik Bali. Sama seperti dresta. Dresta yang ditulis d???a dalam Bahasa Sanskerta berarti dilihat, dirasakan; dipelajari, diketahui. Apa yang diketahui, itulah yang dijalani.
Pangiwan sebagai judul ilmu, hanyalah label. Teks-teks yang konon berlawanan dengan Pangiwan yakni Panengen yang artinya kanan, pada dasarnya juga memuat sistem ilmu yang sama. Oleh sebab itu, di tingkat ilmu sesungguhnya keduanya tidak berbeda. Meski ilmu ini disebut Pangiwan atau Panengen, tidak ada hubungannya dengan kiri-kanan seperti dalam pandangan politik yang dimulai dari Perancis tahun 1789.