Kepada apa atau siapa manusia mesti mengucapkan terima kasih atas hidup yang telah dinikmatinya? Lalu bagaimana cara mengungkapkan terima kasih itu sebagai wujud syukur bagi kehidupan?
Kedua pertanyaan itu, akan coba dijawab dengan satu perspektif: Bali. Bali dalam tulisan ini tidak saja diposisikan sebagai ruang geografis, tetapi juga sebagai cara pandang. Cara pandang ini bisa didapat dengan berbagai cara, yang dalam hal ini ada dua yakni melihat warisan tekstual dan ritual.
Cara pandang tekstual, saya dasarkan pada keberadaan manusia sebagai organisme yang hidup. Sebagai organisme hidup, manusia punya tubuh, tempat jiwa bersemayam. Tanpa tubuh, manusia tidak dapat disebut hidup secara harfiah. Meskipun, memang ada pengertian hidup yang tidak harfiah-biologis. Contohnya: pemikiran seseorang yang masih terus ‘hidup’ dalam batin orang lain yang dipengaruhinya.
Tentu yang dimaksud hidup dalam tulisan ini, bukanlah hidup dalam definisi yang demikian. Hidup dalam konteks ini adalah eksistensi tubuh secara biologis. Dengan kata lain, kebertubuhan adalah teks. Kebertubuhan sebagai teks bisa dibaca dengan bertumpu pada keterangan-keterangan lontar yang membagi tubuh menjadi beberapa lapisan.
Ada yang membagi tubuh menjadi lima lapis, sehingga disebut Panca Maya Kosa. Lima lapis tubuh itu, bisa diperas menjadi tiga disebut Tri Antah Karana Sarira yang terdiri dari Sthula Sarira, Suksma Sarira, dan Antah Karana Sarira. Ketiga tubuh inilah yang dijaga betul-betul ketika masih hidup.
Cara pandang ritual, didasarkan pada praktik-praktik upacara yang masih eksis. Tentu ada banyak praktik ritual yang bisa ditemukan di Bali. Bila ritual-ritual itu diperhatikan dengan seksama, maka kita akan menemukan bahwa semua itu tidak jauh-jauh dari manusia dan tubuhnya.
Saya berpandangan, praktik ritual itu tidak melulu hanya persoalan pemujaan kepada Tuhan, tapi juga feedback menguntungkan untuk manusia. Manusia adalah sentral dari segala aktivitas religius itu, sedangkan Tuhan hanya atas nama. Meski demikian, bukan berarti manusia Bali adalah orang-orang sekuler.
Mereka percaya bahwa Tuhan adalah penggerak alam semesta, termasuk manusia di dalamnya, yang memungkinkan dunia ini terus ada dan sebagai sebab dunia ini meniada. Contoh kecil misalnya seorang tukang bangunan percaya bahwa tubuhnya hanya perantara bagi Wiswakarma [Dewa Arsitek], seorang penari percaya tubuhnya adalah singgasana Smara-Ratih [Dewa-Dewi Keindahan], seorang penulis percaya bahwa tubuhnya adalah perantara Saraswati [Dewi Pengetahuan].
Intinya, segala pengetahuan hanya milik Tuhan semata, sedangkan manusia hanya alat. Dengan begitu, kita disajikan sebuah pemandangan yang sublime tentang segala keunggulan milik-Nya dan segala kekurangan milik manusia. Lalu, dengan rituallah segala kekurangan itu disampaikan dengan penuh hikmat.
***
Lapisan terluar tubuh manusia disebut Anamayakosha. Anamaya berarti kesehatan. Lapisan kesehatan dilihat dari kondisi fisik yang terdiri dari lima unsur, yakni: unsur padat seperti daging dan kulit, unsur cair seperti darah dan keringat, unsur panas seperti suhu tubuh, unsur udara seperti nafas yang keluar masuk, unsur suara seperti dengung dalam kepala.
Kelima unsur itulah yang membentuk tubuh manusia menurut lontar-lontar. Agar unsur pembentuk tubuh itu terjaga, manusia memerlukan asupan nutrisi yang bersumber dari tiga hal pokok yakni makanan, minuman dan nafas [oksigen]. Ketiga unsur pokok ini konon mengalir melalui tiga nadi utama yang disebut Tri Nadi. Tri Nadi itu terdiri dari ida, pinggala, dan sumsumna. Artinya, manusia membutuhkan asupan dari ketiga sumber, dialirkan melalui tiga saluran utama, tujuannya untuk menjaga eksistensi kebertubuhannya.
Makanan yang dimakan manusia berasal dari tumbuhan dan hewan. Minuman dapat bersumber dari mata air maupun tumbuhan. Sedangkan oksigen juga bersumber dari alam yang itu-itu juga. Karena semua komponen itu menyebabkan manusia hidup, maka wajarlah manusia mengucapkan dan mengungkapkan terimakasih kepadanya. Ungkapan terima kasih inilah yang kita kenal sebagai upacara.
Terima kasih kepada tumbuhan. Karena tumbuhan memberikan manusia kesempatan untuk hidup lebih sejuk. Akar-akarnya menyimpan air dan melindungi tanah agar tidak longsor. Tumbuhan juga menyediakan makanan bagi manusia, sehingga manusia bisa bertahan hidup. Ritual kepada tumbuhan digelar, salah satunya kita sebut Tumpek Panguduh atau Tumpek Wariga.
Siklus ini berulang setiap 210 hari sekali, tepat pada Sabtu Kliwon wuku Wariga. Tapi terima kasih pada tumbuhan saja belum cukup, karena ada sebab dari segala sebab yang memungkinkan tumbuh-tumbuhan itu hidup. Kita menyebutnya Dewa. Jadi manusia juga berterimakasih kepada Dewa Sangkara karena telah berjasa menumbuhkan segala tumbuhan.
Terima kasih pula kepada seluruh binatang. Karena mereka menjaga rantai makanan tidak terputus, sehingga siklus hidup dapat berlangsung dengan baik. Mereka pula yang menyediakan sumber makanan untuk manusia.
Maka manusia sudah selayaknya berterimakasih kepada para hewan. Kalau tidak, maka manusia bica dicap tidak tahu terima kasih. Tidak paham cara balas budi. Lalu ritual digelar lagi, namanya Tumpek Kandang. Digelar tiap 210 hari, tepat pada Sabtu Kliwon wuku Uye. Sekali lagi, terima kasih kepada hewan saja tak cukup, Dewa Rare Angon sebagai petugas menjaga segala hewan turut dihaturkan terima kasih. Apalagi konon setelah hewan-hewan itu dimakan manusia, Dewa Rare Angon turut mengalir bersama darah di dalam tubuh manusia. Ia turut memberi manusia kehidupan, jadi terima kasih.
Setelah kepada sumber makanan dan minuman, pada siapa lagi manusia mengucap terima kasih? Jangan lupa, manusia hidup karena bernafas. Karena nafas keluar masuk, jantung bisa bergerak. Karena jantung bergerak, seluruh tubuh mendapat sumber-sumber hidup. Termasuk otak, yang di dalamnya ada pikiran yang selalu dibanggakan manusia.
Apalagi segala macam gerak tubuh manusia selalu berkelindan dengan nafas [tenaga]. Jadi manusia berterimakasih kepada nafas yang memberinya kehidupan. Terima kasih ini juga dilakukan tiap enam bulan sekali, tepat pada hari kelahirannya yang dihitung dengan Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Inilah otonan.
Sesekali, manusia berterimakasih sekaligus membayar hutang hidup kepada nafas. Terima kasih dan pembayaran hutang itu salah satunya berupa ritual mabayuh. Mabayuh berarti bertenaga atau bernafas. Ini hutang pada nafas, hutang pada hidup, hutang kepada leluhur. Kenapa leluhur? Karena tanpa leluhur, manusia tak dapat lahir. Jadi terimakasih leluhur, terima kasih ibu bapak, terima kasih bumi-langit, terima kasih.