Warna-warna itu seolah berloncatan, berpindah dari lukisan ke lukisan.
Cetak saring atau sablon bermula dari teknik stensil tradisional pada zaman Dinasti Song di Tiongkok, sekitar tahun 960 – 1279 Masehi. Teknik cetak sablon kemudian dikembangkan di Jepang. Awalnya, diaplikasikan pada kimono, pakaian khas Jepang, sebagai kebutuhan efisiensi atas mahalnya harga kimono. Sebelumnya motif pada kimono yang demikian banyak dilukis secara manual dengan tangan.
Dari Jepang cetak sablon berkembang ke Eropa. Tekstil Jepang menginspirasi para pengrajin di Inggris dan Prancis. Mereka mulai menggunakan screen dari sutra dengan stensil dari kertas untuk mencetak pada kain.
Pada tahun 1907 papan screen berkain chiffon (bahan rajut dari kassa) dikembangkan oleh Samuel Simmon. Pola gambar pada kain kassa sebagai media untuk menghasilkan gambar cetakan. Teknik sablon terus berkembang hingga ditemukan bahan kimia foto-reaktif, emulsi peka garam asam kromat dan stensil foto-reaktif. Inovasi ini merevolusi industri sablon komersial. Seniman-seniman yang menggunakan teknik sablon antara lain Andi Warhol, Roy Lichtenstein, Robert Rauschenberg, Peter Blake, Clare Halifax, Laurie Hastings, Emma O Hara.
**
Nama Devy Ferdianto (b.1968) tak asing di kalangan pegrafis Indonesia. Beberapa penghargaan yang diperoleh menegaskan eksistensinya di seni grafis. Sertifikat dari Kementerian Pendidikan Indonesia diperolehnya pada tahun 2000 sebagai penghargaan untuk dedikasi dan inovasi dalam pengembangan litografi/alugrafi. Penghargaan lain di tahun 2019 adalah Sertifikat Kompetensi sebagai penilai kompetensi, diberikan oleh otoritas sertifikasi profesi Indonesia.
Dia pernah magang di Hochschule fuer Bildende Kuenste Braunschweig, Jerman dan Canadian School for Non-Toxid Printmaking, Kanada. Pada tahun 1993 mendirikan studio grafis RedPoint di Bandung yang mendapat respon positif dari para seniman papan atas Indonesia.
Tahun 2020 lalu dia bergabung di Black Hand Gang, sebuah studio grafis di Ubud, Bali. Di samping sebagai co-founder, Devy menjabat Kepala Studio.
Mengusung 15 karya cetak saring (di antaranya 7 karya terdiri dari rangkaian beberapa panil) seniman grafis lulusan ITB, Bandung ini menggelar pameran tunggal perdananya ‘Color of Shades’ pada 4 – 26 Juni 2021 di Titik Dua, Ubud. Pameran ini dikuratori Asmudjo J Irianto.
Tribute to Maestros
Memasuki ruang pamer, mata kita disergap oleh pendaran aneka warna. Warna yang diolah sungguh memanjakan mata, barangkali karena saking beragamnya. Warna-warna itu seolah berloncatan, berpindah dari lukisan ke lukisan, berulang kembali dan lantas berpindah ke tempat lain lagi. Demikian seterusnya. Entah, apakah karena pegrafis ini juga seorang musisi sehingga menata ruang pamer ini ibarat membuat sebuah komposisi musik.
Sebagian besar karya yang dipamerkan menampilkan sosok-sosok masyhur yang dikenal di dunia seni lukis dan musik. Nampak sosok The Beatles, Raden Saleh, Basquiat, Andy Warhol, Rudolf Bonnet, Rene Margritte dan Leonardo Da Vinci. Di samping bermacam warna diisikan ke dalam figur-figur tersebut, ragam pola arsir dan berbagai motif patern juga menempel di sana. Karya cetak saring ini dicetak di atas F.S.C. grade cotton paper, 285 gsm dengan menggunakan warna acrylic.
**
Sejak kuliah Devy sudah tertarik dengan Dadaisme dan Surealisme. Salah satu ikon yang menarik perhatiannya adalah Rene Magritte. Pada lukisannya ‘The Treachery of Images’ (‘La trahison des images’) yang menggambarkan pipa cangklong layaknya sebuah iklan toko tembakau, Magritte menuliskan “Ceci n’est pas une pipe” (ini bukan pipa) di bawah gambar pipa yang terkesan kontradiksi namun logis; lukisan itu bukan pipa, itu adalah gambar pipa. Magritte menjungkirbalikkan dan mempermainkan logika dan realita. Kecenderungan ini nampak pada lukisan-lukisannya yang surealistis.
Pada seri karya ‘Homage to Margritte’ Devy mengangkat tema ‘self critic’. Sesungguhnya bukan ditujukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi kita yang hidup di zaman serba abu-abu. Ada 3 karya di sini, masing-masing Hear No Evil, Just Open Up Your Ears! – Speak No Evil, Just Open Up Your Mouth! – See No Evil, Just Open Up Your Eyes!
“Bagaimana aku hidup di masa di mana aku tidak bisa lagi membedakan antara mana yang benar dan mana yang salah. Hoax di mana-mana maka terkadang filosofi tutup mata, kuping dan mulut untuk hal yang jahat perlu dilakukan, tapi kadang pula hal sebaliknya malah patut juga dilakukan.”
Di karya ini data edisi seperti nomor, judul dan tahun pembuatan karya sengaja ditulis terbalik 180* untuk mengenang Magritte yang kerap membalik fakta dan mempermainkan subject matter.
**
Ada beberapa seri Homage to Basquiat. Figur Basquiat menjadi ikon di seni rupa kontemporer seperti halnya Andy Warhol yang khas. Juga Salvador Dali dengan kumisnya yang melengkung ke atas. Sosok Basquiat memang artistik dan eksotik. Penampilannya banyak mempengaruhi pelukis-pelukis muda. Homage to Basquiat #1 dicetak monokromatis dengan teknik carborundum dan monoprint.
Pola sapuan kuas dengan warna saturasi kehijauan terlihat impresif mengisi bidang background, menyelaraskan dengan pola rambut rasta yang berceranggah tak beraturan bak tumbuhan liar. Pola arsir ‘cross hatching’ biru saturasi yang teratur dan bervolume mengikuti struktur bentuk pada paras Basquiat terkesan kontradiktif dengan karakter background. Namun demikian justru menguatkan ekspresi wajah yang dingin. Komposisi yang menempatkan figur di pinggir bidang berformat lanskap memunculkan tafsir terkait kehidupan kelam Basquiat yang mati muda.
Supradimensi
Dalam konsep ‘still life photography’ dikenal ungkapan ‘menghidupkan yang mati’. Benda-benda mati dihidupkan dengan pencahayaan, komposisi, angle, suasana dan karakter. Pada seri ‘still life’ nampak unsur-unsur tersebut. Suasana dibangun dengan bayangan yang pekat dan kontras yang tinggi. Dengan menggunakan pola arsir digital, karakter objek diolah sehingga memunculkan kesan ilusif. Latar belakang yang polos membiarkan objek tampil maksimal sebagai fokus, nampak pada karya-karya The Fruits #1 – 3. Adakalanya warna background dibiarkan merasuk pada objek.
**
Draperi kain poleng berkelindan menciptakan efek irama. Petak-petak hitam seperti intonasi nada, ada yang tegas dan mengabur. Jejak-jejak lipatan kain, tekstur serat dan bayang-bayang lembut maupun keras bagaikan bunyi-bunyian lain yang saling meningkahi dan bergesekan.
Visualisasi kain poleng ini berperan penting mengiringi ‘nada utama’ berupa sepasang ‘Pear’ dengan pencahayaan yang kontras dan bayangan hitam memanjang terproyeksi dari buah tersebut. Warna hijau terang pada pear sebagai ‘center of interest’.
**
Di karya ‘The Fruits #2’ objek berupa susunan buah-buahan ini dibentuk oleh bayangan hitam dengan pengaturan kontras yang tinggi. Nampak warna gelap pekat di sekitar objek menyebabkan bentuk objek terlihat jelas. Background magenta yang datar menyusup pada sebagian objek, menyisakan sebagian objek lainnya yang berada di depan sehingga menghadirkan ‘tone’. Warna hijau terang yang dilekatkan pada objek utama menjadikannya sangat menonjol. Komposisi karya ini apik dengan bayang-bayang hitam yang artistik.
Pengaturan intensitas kontras yang menghasilkan bayangan yang pekat, pilihan warna dengan level kecerahan yang tinggi, background yang esensial dalam mendukung objek utama telah membangun dimensi. Penerapan pola arsir yang didesain secara digital memberi karakter kuat pada objek. Pada seri still life ini nampak dimensi yang melampaui dimensi pada biang foto yang jadi bahan studi pembuatan karya. Saya menyebutnya ‘supradimensi’. Tribute to Devy yang telah memberi kehidupan baru pada benda-benda. [b]