Oleh Ni Ketut Juliantari
Ini cerita bapak saya, dan kemungkinan jadi generasi terakhir petani tuak di keluarga kami.
Pemandangan hijau menyambut di batas Desa Besan di Kecamatan Dawan Klungkung. Area hijau ini ditumbuhi rumput yang terawat dan pepohonan rindang. Setelah masuk lebih jauh, mulai nampak pemukiman, pura, dan balai-balai banjar.
Dari jalan desa, tak nampak desa ini menjadi penghasil tuak dan gula aren kelapa. Aktivitas petani menyadap nira kelapa ini ada di belakang pemukiman. Tinggal masuk ke salah satu gang, dan bertanya, maka warga akan menunjukkan beberapa lokasi kebun yang menjadi aktivitas petani tiap hari.
Salah satunya I Nengah Mudiarta, lahir di Besan, 26 Agustus 1965. Ia adalah seorang pencari tuak. Dia adalah bapak saya, mencari tuak sejak menggantikan ayahnya sampai sekarang.
Bapak tiap hari memanjat beberapa pohon kelapa untuk ngirisin. Demi menghidupi keluarganya. Ini merupakan salah satu mata pencaharian bapak.
Dalam sehari, bapak bekerja dua tahap, pagi dan sore hari. Pertama untuk mengiris dan menaruh wadah di atas pohon, menampung air nira kelapa sampai wadah cukup terisi. Tidak hanya satu pohon, tapi beberapa, agar nira yang didapat cukup banyak untuk bahan baku gula merah.
Pada sore hari, wadah diambil, diturunkan dari pohonnya. Demikian seterusnya.
Bapak memanjat pohon kelapa tanpa menggunakan alat. Di setiap pohon kelapa berisi platar untuk memudahkan memanjat.
Nira yang sudah menjadi tuak manis karena ditambah lau ini kemudian diberikan kepada istrinya, untuk diolah menjadi gula. Setelah dimasak beberapa jam jadi gula, mereka mendapatkan gula 2 kg.
Setelah jadi gula dijual ke warung, dan uangnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti beras, sayur, dan lainnya.
Namun, tidak ada generasi penerus pencari tuak dan pembuat gula merah untuk menggantikan bapak. Karena anak-anaknya tidak bisa memanjat.
(Salah satu karya dari peserta Kelas Jurnalisme Warga di Desa Besan, Dawan, Klungkung. Difasilitasi BaleBengong, didukung Spendedirekt)