Ini kisah tim relawan Parmedis Jalanan Bali dalam tugas kemanusiaan yang bergerak dengan sarana terbatas.
Aksi penolakan UU Ciptaker di Denpasar diinisiasi oleh mahasiswa yang tergabung di dalam Aliansi Bali Tidak Diam (BTD) bersama buruh dan masyarakat. Berbekal berbagai kajian dan hal-hal nyeleneh dalam proses penyusunan UU Ciptaker ini, Bali Tidak Diam aksi demontrasi pada 8 Oktober 2020 di depan kampus Universitas Udayana, Jalan PB. Sudirman, Denpasar.
Saya sendiri merasakan ketegangan aksi yang dihujani tembakan gas air mata ini. Di tengah hirup pikuk teriakan, ada sebuah tim yang harus menyelamatkan korban gas air mata saat itu.
Berbeda dari aksi sebelumnya dalam isu UU KPK, dalam aksi tolak UU Cipta Kerja ini terbentuk sebuah solidaritas yang menamakan dirinya Paramedis Jalanan Bali. Sebenarnya solidaritas dalam bentuk paramedis jalanan ini juga telah ada dalam aksi sebelumnya dalam isu UU KPK namun baru dalam aksi kali ini Paramedis Jalanan Bali membuka relawan melalui poster di media sosialnya sendiri, dengan akun instagram atas nama @paramedisjalananbali.
Salah satu kawan yang tergabung dalam Paramedis Jalanan Bali ini, Ani, sebut saja demikian, berbagi pengalamannya. “Saya sebenarnya tidak memiliki pengalaman sebagai tenaga medis sebelumnya, teman-teman kumpul satu hari sebelum aksi, kami open volunteer dan terkumpul sebelas orang yang mau menjadi volunteer sebagai paramedis jalanan,” urainya.
Ia mengingat ada sekitar 20 orang yang terkena gas air mata, termasuk satu satpam kampus. Tentu sebagai tenaga medis sukarela dengan pengalaman seadanya, ia dan kawan-kawan lainnya harus membantu semua orang yang butuh pertolongan. Tak ada pembedaan antara peserta unjuk rasa ataupun satpam kampus.
Saya pun merasakan, saat itu sangat mencekam sejak polisi menembakkan gas air mata pukul 18.00 WITA sampai dengan pukul 21.00. Baru pertama kalinya dalam hidup saya menyaksikan langsung ledakan gas air mata yang sangat keras mirip bom ukuran kecil. Saat ini beruntung saya sempat berlindung ke salah satu gedung tepat di seberang kampus Unud.
Miris memang dengan kondisi alat medis terbatas. Paramedis Jalanan Bali ini hanya punya 3 oksigen portable, sedangkan obat-obatan dibawa masing-masing oleh teman-teman paramedis. Beruntung ada bantuan dari Indonesian Escorting Ambulance (IEA) yang menyediakan ambulance dan juga bertugas membuka jalan untuk ambulance.
Melihat kondisi di lapangan, sejak pukul 6 sore polisi mulai menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa aksi. Kondisi ini tentunya kondisi pertama kali bagi kawan-kawan di aliansi BTD karena dalam beberapa aksi demonstrasi di Bali belum pernah ada penembakan gas air mata.
Massa aksi mulai berlarian ke arah selatan menjauhi polisi yang menembakkan gas air mata beruntun, ada pula massa aksi yang lari berlindung ke dalam kampus. Ternyata penembakan gas air mata juga ke arah kampus, bagi saya keputusan menembakkan gas air mata ke dalam kampus ini cukup berisiko mengingat ada kendaraan dan beberapa fasilitas yang rentan kerusakan di dalam kampus. Hampir 3 jam lebih penembakan ini berlangsung, ini membuat saya juga harus berlindung ke salah satu kantor perusahaan berita di sekitar jalan PB. Sudirman.
Jujur saya tidak tahu langsung kondisi kawan-kawan yang ada di dalam kampus, hanya mendapat beberapa kabar bahwa kondisinya sangat mencekam dan panik akibat dari tembakan gas air mata yang dimuntahkan terus-menerus ke dalam kampus. Tentunya kondisi yang berat juga bagi kawan-kawan paramedis jalanan, dengan kelengkapan terbatas dan harus membantu massa aksi yang terkena gas air mata.
Bagi saya, solidaritas dan keberanian dari kawan-kawan paramedis jalanan ini tidak dapat dianggap muncul dengan mudah. Memilih untuk menjadi penolong di saat kita juga butuh pertolongan merupakan keputusan luar biasa melawan ketakutan. Perjuangan memang membawa sendiri pejuang-pejuangnya.
Omnibus cilaka
Penolakan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah terjadi sejak UU ini masih menjadi rencana, namun bukan direspon dengan baik tapi pemerintah menggenjot terus pembahasan UU dengan metode Omnibus ini.
Omnibus sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti berkaitan atau mencakup tentang banyak hal. Sesuai dengan arti katanya, UU Ciptaker yang menggunakan metode Omnibus ini memang menggabungkan 79 undang-undang yang di dalamnya menyangkut aturan tentang ketenagakerjaan, penyederhaan perizinan, persyaratan investasi, hingga administrasi pemerintahan.
Perjalanan UU ini tampak mulus sampai akhirnya disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 5 Oktober 2020, 8 bulan sejak pemerintah mulai melakukan roadshow ke 18 kota di Indonesia untuk menyerap aspirasi masyarakat. Mulai terjadi penolakan dari buruh sebagai salah satu stakeholder dalam penyusunan Undang-undang ini.
Pasca disahkannya UU Ciptaker pada tanggal 5 Oktober 2020, gelombang penolakan kembali membesar hampir di beberapa kota di Indonesia. Salah satunya terjadi aksi unjuk rasa serentak pada tanggal 8 Oktober 2020 di Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Surabaya, Medan termasuk di Denpasar Bali.