• Tanya Jawab
  • Mengenal Kami
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Kontributor
    • Log In
    • Register
    • Edit Profile
BaleBengong
Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Mendalam
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Mendalam
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Budaya

Diskriminasi Leyak di Bali

IGA Darma Putra by IGA Darma Putra
11 November 2020
in Budaya, Esai, Kabar Baru
0

Menyeramkan dan jahat. Begitu pandangan stereotip pada Leyak oleh orang-orang kebanyakan.

Orang kebanyakan yang saya maksud, bisa jadi orang terpelajar, bisa juga orang yang sangat terpelajar. Bagi saya, ini jelas diskriminatif. Tidak ada keadilan di dalam pandangan itu.

Kenapa? Karena pandangan itu lahir dari cerita-cerita yang diwariskan turun temurun bahkan oleh orang yang sama sekali tidak pernah lihat Leyak, tidak membaca sumber lontarnya, dan tidak paham pada apa yang mereka sebut menyeramkan.

Pada titik itulah saya tidak habis pikir, kenapa diskriminasi semacam ini masih hadir justru pada era kemajuan pengetahuan. Apakah mungkin pengetahuan yang ditelan itu tidak benar-benar mengubah cara kita menafsir sesuatu?

Bukankah jika benar begitu, itu artinya tidak ada manfaat yang sungguh-sungguh kita nikmati dari segala bentuk pengetahuan? Mungkin saja kita ini hanya makhluk purba yang mengkamuflase diri dengan tampilan yang seolah modern dan pengetahuan di alam pikiran yang konon juga dimodern-kan.

Apa itu Leyak? Jangan membayangkan Leyak adalah sosok makhluk aneh seperti: badan tanpa kepala, kepala tanpa badan, tangan tanpa badan, kaki tanpa badan, dan lain-lain. Makhluk yang demikian itu punya namanya tersendiri, contohnya: Tangan-tangan [tangan tanpa badan], Enjek-enjek Pupu [kaki tanpa badan], dan masih banyak lagi.

Leyak menurut saya adalah manusia yang makan nasi, minum air. Sebagai manusia, mereka bisa ngopi di warung atau coffee shop, bisa ke pasar atau ke mall, bisa berpakaian adat atau bisa juga berpakaian necis.

Untuk menjawab pertanyaan formatif itu, ada dua cara yang bisa kita lakukan. Pertama, adalah dengan bertanya pada orang-orang yang paham. Kedua, dengan jalan membaca sumber-sumber tekstual tentang ilmu Leyak. Untuk kepentingan tulisan ini, saya menggunakan cara kedua. Cara ini saya anggap paling aman untuk sementara ini.

Alasannya, karena kita sedang dalam situasi pandemi, jadi harus jaga jarak. Cara ini juga saya anggap lebih bisa menerangkan konsep dasar ilmu ini dari pada bertanya pada praktisi, karena umumnya para praktisi tidak berkenan menjelaskan ilmu yang sudah mereka pelajari. Bukan karena pelit, tapi itulah salah satu syarat agar ilmu yang dipelajari bisa berguna dengan baik. Kalau dilanggar, menurut sumbernya ilmu itu tidak akan sempurna [tan siddhi phalanya].

Apa saja sumber-sumber lontar yang bisa kita baca tentang Leyak? Ada beberapa nama-nama Ilmu Leyak yang bisa kita baca, di antaranya: Aji Pangleyakan, Aji Lakan, Kereb Akasa, Geni Sabhuwana, Siwa Wijaya, Cambra Berag, Rambut Sapetik, Maduri Reges, dan lain-lain. Tiap ilmu yang disebutkan tersebut, punya ciri khas tersendiri. Ciri khas itu bisa ada pada mantra, cara melakukannya maupun sarananya.

Berbagai teks yang berisi ilmu Leyak, umumnya memang berisi mantra, kelengkapan pemujaan, jenis sesajian, cara memusatkan pikiran, waktu yang baik melakukan pemujaan, serta tata cara menjalankan pemujaan. Kelengkapan pemujaan misalnya kain yang sudah digambar sesuai petunjuk sumber ilmunya.

Jenis sesajian biasanya berupa daftar nama-nama sesajian dan dimana mesti dihaturkan. Cara memusatkan pikiran, menerangkan titik mana dalam tubuh yang dijadikan objek pemusatan pikiran. Waktu yang baik, berisi petunjuk tentang perhitungan hari baik. Biasanya perhitungan ini didasarkan pada dua katagori hari. Tata cara menjalankan pemujaan biasanya menerangkan tempat, arah dan tahapan melakukan pemujaan.

Kepada siapa pemujaan dilakukan? Kepada Durga. Durga adalah sosok Dewi yang dipuja oleh kaum Leyak. Penjelasan tentang hal ini, bisa kita baca pada teks berjudul Aji Pangleyakan. Aji Pangleyakan berarti ilmu tentang cara menjadi Leyak.

Menurut teks itu, jika seseorang hendak menjadi Leyak, ia harus melakukan pemujaan kepada Dewi Durga. Dahsyatnya lagi, Durga yang dipuja bukanlah Durga yang ada di luar, tapi yang ada di dalam tubuh [regepang Durgane di sarira]. Jika apa yang dikatakan teks Aji Pangleyakan kita terima sebagai suatu yang harfiah, artinya Durga yang dipuja oleh Leyak sesungguhnya sudah ada di dalam tubuh sendiri. Artinya, tiap manusia punya Durga di dalam tubuhnya.

Apa yang harus dilakukan untuk belajar ilmu Leyak? Untuk belajar menjadi Leyak, orang harus mendekatkan diri pada Dewa. Dalam catatan saya, ada sepuluh Dewa yang harus didekat-dekati. Agar tetap rahasia, saya tidak menyebut kesepuluh nama Dewa itu. Atau kita semua bisa menyebutnya ‘Bunga’, karena para Dewa itu menyebar ke sepuluh penjuru arah seperti kelopak Bunga Teratai.

Setelah sepuluh Dewa tadi berhasil didekati, barulah seseorang bisa menjadi Leyak. Apakah arti menjadi Leyak? Tidak ada penjelasan eksplisit di dalam lontar bahwa yang dimaksud Leyak adalah makhluk tertentu. Biasanya lontar memberikan penjelasan pada satu kata yang menurutnya belum terelaborasi dengan baik, tapi konsep Leyak sama sekali tidak dijelaskan dengan cara yang biasa.

Lontar biasanya menjelaskan konsep tertentu dengan kalimat ‘iti ngaran…’, yang artinya ‘ini namanya…’. Atau jika beruntung, kita bisa mendapatkan frase ‘Leyak ngaran…’ [Leyak adalah…]. Sayangnya saya bukan termasuk orang yang beruntung itu. Jadi saya mengkonsepsikan Leyak dengan cara berbeda.

Deskripsi tentang Leyak bisa kita dapatkan dari mantra yang digunakan. Contohnya adalah mantra dari Gni Sabhuwana ‘Ong idep aku rumawak sang hyang kala ludhra gni murti’ [Ong bayangkan aku berwujud Sang Hyang Kala Ludra Gni Murti]. Mantra ini menerangkan bahwa orang yang sedang mempraktikkan Pangleyakan, membayangkan tubuhnya seperti api yang dahsyat [Ludra Gni].

Mantra lainnya juga memiliki indikasi yang sama: matapakan aku bhedhawang gni [aku berwahanakan kura-kura api] [lontar Pangiwa Siwa Wijaya]; amurtining lwihing sang hyang surya [berwujud keutamaan dari matahari] [lontar Cambra Berag]; angadakang gni ngambara [mengeluarkan api yang terbang] [lontar Rambut Sapetik].

Semua lontar yang disebutkan tadi menyebutkan api sebagai horizon harapan oleh Leyak. Api yang dimaksudkan berbeda-beda warnanya. Ada api putih, kuning, hitam, merah, dan lima warna. Perbedaan warna api ini pula yang membedakan jenis-jenis Leyak, seperti Leyak Putih, Leyak Kuning, Leyak Abang [merah], Leyak Ireng [hitam]. Selain warna api, Leyak juga dibedakan dari rambutnya. Contohnya adalah Leyak Gundul [dalam lontar Rambut Sapetik].

Untuk apa belajar ilmu Leyak? Untuk bisa jadi manusia super. Sekali lagi, petunjuk ini bisa kita dapat pada mantra-mantra sebagai cerminan harapan bagi pelaku. Menurut beberapa lontar, biasanya orang belajar nge-Leyak untuk menaklukkan musuh-musuhnya [teka bega hatine satru musuhku wong kabeh: lontar Rambut Sapetik]. Selain itu juga untuk menaklukkan segala jenis makhluk [bhuta bhuti nembah maring aku: lontar Sang Hyang Wijaya Murti].

Apakah ilmu Leyak bisa digunakan untuk menyakiti? Bisa. Ada sebuah ilmu bernama Cempaka Petak. Ilmu ini adalah ilmu guna-guna. Tujuannya untuk mendapatkan cinta. Cinta yang dimaksud, bisa datang dari manusia, makhluk halus, bahkan para dewa. Ada juga Cambra Berag, pada bagian mantra berisi rapalan agar orang menjadi gila, lupa rumah, lupa diri [tan inget ring umahnya, tka paling].

Pernyataan dalam beberapa teks lontar yang sudah kita baca bersama-sama tadi, semoga bisa menjadi satu gambaran lain tentang ilmu Leyak. Pandangan stereotip yang diajukan pada awal tulisan ini tidak salah, tapi tidak juga sepenuhnya benar. Jika kita menyebut ilmu ini menyeramkan, mengapa kita tidak melihat tubuh sendiri dengan cara yang sama?

Pemujaan yang dilakukan Leyak jelas ditujukan pada Durga. Tempat tinggal Durga adalah kuburan, dan menurut teks Pangleyakan, Durga juga bersemayam di dalam tubuh. Artinya, tidak ada bedanya kuburan dengan tubuh. Menurut Palguna dalam tulisannya berjudul Desan Anak Setran Awak, tubuh ini dipandang seperti kuburan karena di tubuh segala jenis bangkai diolah [baca: dimakan].

Tentang jahat atau tidak jahat, kita mesti melihatnya dari pemanfaatan. Apakah nuklir adalah bentuk kejahatan? Apakah kopi sianida bentuk dari kebaikan? Bagaimana Leyak?

Share this:

  • Twitter
  • Facebook
Tags: durgaleaklontar pengleakan
ShareTweetSendSend
IGA Darma Putra

IGA Darma Putra

Related Posts

Next Post
Bapak Petani Tuak, Ibu Mengolahnya Jadi Gula Merah

Bapak Petani Tuak, Ibu Mengolahnya Jadi Gula Merah

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

AJW 2020
  • Terpopuler
  • Komentar
  • Terbaru
Kakao Lestari yang Mengubah Hidup Petani

Bali, Berhenti Mendewakan Bule, Kembalilah Bertani

6 February 2021
Berhitung Angka Dalam Bahasa Bali

Berhitung Angka Dalam Bahasa Bali

5 June 2013
Mengaku Sulinggih, Kini Tersangka Kasus Pencabulan

Mengaku Sulinggih, Kini Tersangka Kasus Pencabulan

13 February 2021
Pelajaran Agung dari Desa di Pegunungan Bali

Pelajaran Agung dari Desa di Pegunungan Bali

18 February 2021
Mendayung Generasi Nyegara Gunung

Lirik Lagu Anak-Anak (Gending Rare) Daerah Bali

12 October 2010
AJW 2020, Urun Daya Warga Menghadapi Corona

AJW 2020, Urun Daya Warga Menghadapi Corona

4
Sesungguhnya, Tak Semua Pasien WNA sesuai Citranya

Sesungguhnya, Tak Semua Pasien WNA sesuai Citranya

3
Mengaku Sulinggih, Kini Tersangka Kasus Pencabulan

Mengaku Sulinggih, Kini Tersangka Kasus Pencabulan

2
Berbagi ditengah pandemi Covid19

Perjalanan Sehari dan Sesari Kecil

5
Ilustrasi: Tata Cara Ngelidin Corona

Ilustrasi: Tata Cara Ngelidin Corona

1
rambut sedana

Batu Rambut Sedana, Batu Mulia untuk Para Pengusaha

21 February 2021
Perayaan Hari Peduli Sampah Nasional bertujuan untuk mengingatkan pentingnya pengelolaan sampah. Foto: Get Plastic Indonesia.

Menjaga Alam di Hari Peduli Sampah Nasional

20 February 2021
Maaf, Aku Gagal Menggoda Patung Siwa

Maaf, Aku Gagal Menggoda Patung Siwa

19 February 2021
Pelajaran Agung dari Desa di Pegunungan Bali

Pelajaran Agung dari Desa di Pegunungan Bali

18 February 2021
Akreditasi Perpustakaan Sekolah dan Desa di Karangasem

Akreditasi Perpustakaan Sekolah dan Desa di Karangasem

17 February 2021

Kabar Terbaru

rambut sedana

Batu Rambut Sedana, Batu Mulia untuk Para Pengusaha

21 February 2021
Perayaan Hari Peduli Sampah Nasional bertujuan untuk mengingatkan pentingnya pengelolaan sampah. Foto: Get Plastic Indonesia.

Menjaga Alam di Hari Peduli Sampah Nasional

20 February 2021
Maaf, Aku Gagal Menggoda Patung Siwa

Maaf, Aku Gagal Menggoda Patung Siwa

19 February 2021
Pelajaran Agung dari Desa di Pegunungan Bali

Pelajaran Agung dari Desa di Pegunungan Bali

18 February 2021
BaleBengong

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

Informasi Tambahan

  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Peringatan
  • Panduan Logo
  • Bagi Beritamu!

Temukan Kami

No Result
View All Result

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com