Matahari baru saja terbit. Jam menunjukkan pukul 07.30 WITA. Tapi Mangku Kubayan sudah bergegas dengan pisau pengiris (golok) dan ember berukuran sedang di pinggangnya. Lengkap dengan pakaian olahraga yang tertulis salah satu nama almamater sekolah dan celana pendeknya, ia dengan lincah memanjat pohon kelapa. Sudah menjadi rutinitas Mangku Kubayan memanjat pohon kelapa rata-rata setinggi 25-30 meter setiap harinya. Tak jarang pula, ia menaiki pohon kelapa setinggi 50 meter.
Mangku Kubayan bernama lengkap I Komang Suartana, sudah lebih dari setengah umurnya ia bersahabat dengan aktivitas memanjat pohon kelapa. Karena pohon kelapa menjadi sumber penghidupan sehari-harinya.
Hari kedua adalah saatnya berkunjung ke rumah-rumah warga dan pelosok Desa Besan, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, salah satu lokasi Kelas Jurnalisme Warga (KJW) tahun ini. Ini sesi paling menarik karena diantar langsung peserta menemui warga, keluarga mereka, dan sudut-sudt desa yang menarik. KJW dilaksanakan di balai Banjar Besan Kelodan. Pesertanya melebihi, sampai 18 orang. Padahal tiap KJW biasanya 10-15 orang saja.
Sebagai penghasil gula aren yang tersohor di Klungkung, petani gula aren Besan memanjat pohon kelapa tanpa menggunakan alat tambahan. Cukup dengan bantuan batang yang dicekokkan, petani gula aren Besan dengan cekatan memanjat pohon kelapa yang tingginya bisa sampai 50 meter.
Seperti Mangku Kubayan, dalam sehari bisa mencari nira kelapa di 15 pohon sebanyak 2 kali waktu panjat. Pagi dan sore. Jika ditotal, maka Mangku Kubayan setiap hari naik turun pohon kelapa sebanyak 60 kali.Pagi ia menaruh ember kosong dan menunggu sampai sore hingga embernya terisi nira Kemudia baru ia naik lagi untuk mengambil nira sekaligus menukar dengan ember baru yang siap diisi nira. Tak lupa berbekal golok pengiris yang digunakan untuk mengiris bagian bakal buah pohon kelapa agar keluar nira.
Sembari menunggu nira di atas pohon menetes memenuhi ember kosong, Mangku Kubayan turun dari pohon kelapa mengambil sebatang inti kayu nangka. Dengan yakin ia memegang goloknya, kemudian memotong inti kayu itu ukuran kecil-kecil sesuai perkiraannya. Selanjutnya, ia menyiapkan air untuk merendam potongan inti kayu nangka tadi dan dicampur dengan pamor. Air rendaman inti kayu dan pamor itu dinamakan lau.
Setelah beberapa lama terendam, lau dipindahkan ke beruk (batok kelapa berbentuk mangkok) untuk membuat campuran gula aren. Takaran inilah yang menjadi rahasia dapur petani gula aren, sehingga setiap petani memiliki cita rasa gula yang berbeda. Ada yang tidak terlihat perbedaannya, ada pula yang jelas terlihat dari warna gulanya. Tapi, ukuran gula besan memiliki pakem tersendiri, yaitu semua berbentuk setengah lingkaran berdiameter dengan berat setengah kilogram. Jika dipasaran biasanya petani menjual per satu kilogram dengan sebutan abungkul.
Setelah Mangku Kubayan turun dari pohon dengan membawa nira kelapa (tuak), ia dan istrinya bersiap menyatukan racikan lau dengan tuak. Dengan perbandingan 2 gelas lau dan 2 liter tuak akan menjadi 4-5 bungkul gula. Tentu saja semua bahan ini diolah melalui pemanasan di atas tungku tradisional diaduk selama 3-4 jam, hingga mengental. Selama menunggu itu, Mangku Kubayan dan istrinya menyiapkan cetakan gula dari batok kelapa yang diisi sepotong daun pisang yang sudah coklat (keraras) di bagian bawah. Ketika sedang ketal-kentalnya, dengan cekatan tangannya menuang gula aren untuk dibentuk ke dalam cetakannya.
Mangku Kubayan adalah salah satu petani gula aren kelapa yang ada di Besan-Klungkung. Sebagai generasi terakhir petani gula aren ia sangat menyayangkan, anak-anaknya tidak mampu meneruskannya. Dulu semua orang Besan membuat gula aren. Namun, hingga generasi saat ini hanya tersisa 40 petani saja yang masih aktif membuat gula aren.
Ia mengatakan petani gula aren kelapa semakin krisis karena tidak ada yang mampu memanjat pohon kelapa. Padahal untuk membuat gula prosesnya tidak terlalu susah. “Yang paling susah dalam proses membuat gula ya memanjat pohon kelapa untuk mengambil nira kelapanya,” ungkap Mangku Kubayan.
Di sisi lain, pohon kelapa yang juga membantu kehidupan Mangku Kebayan adalah bagian daunnya. Biasanya ketika hari raya menjelang, ia tak perlu merogoh kocek untuk bahan-bahan upacara karena cukup mencari dari pohon kelapa. Hanya saja, pohon kelapa yang dicari niranya tidak bisa menghasilkan buah. Karena bakal buahnya sudah diiris dan diambil dalam bentuk nira.
Alur pasar produk khas Besan ini dari petani hanya menyerahkan ke pengepul. Pembayarannya pun menggunakan barter beras.
“Karena yang saya butuhkan setiap hari itu beras, jadi kalau belum punya uang untuk beli beras, saya dikasi ambil beras di pengepul gula, kalau saya sudah punya gula, nanti bayar pake gula itu,” cerita Ni Nengah Sukerti, istri Mangku Kubayan.