Vonis bahwa istrinya mengidap kanker payudara membuat I Gede Hanjaya beralih ke pertanian organik.
Menurut De Han, panggilannya, praktik pertanian anorganik membuat hasil pertanian terlalu banyak mengandung unsur kimia berbahaya bagi tubuh. Parahnya, unsur kimia itu dikonsumsi banyak orang tanpa mereka sadari. Lalu tubuh mereka jadi korban. Kanker payudara Franziska Rapp, istrinya, salah bukti dampak negatif itu.
Setelah dioperasi, kanker itu memang hilang. Tapi sembuh saja tidak cukup. Istri De Han harus mengimbangi dengan pola hidup sehat dan terapi alternatif. Perilaku sehat itu diikuti pula jenis makanan yang sehat dan bebas dari unsur kimia. Agar tidak tergantung pada makanan hasil pertanian anorganik, De Han memproduksi sendiri makanannya.
Maka, pada 1998, De Han memulai pertanian organik di desa kelahirannya Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali, sekitar 70 km barat daya Denpasar. Pekerjaan sebagai pengusaha garmen sejak 1987 dia tinggalkan untuk bertani. De Han ingin makanan yang mereka konsumsi bebas unsur kimia. “Kami ingin memulai pola hidup lebih sehat dengan makanan organik,” katanya pekan lalu.
De Han mulai dengan memperbaiki saluran irigasi yang mengairi sawah seluas 1,5 hektar di kaki Gunung Batukaru itu. Semula, air dari Tukad (sungai) Mawa itu melewati saluran di tebing sehingga air mudah meresap ke tanah. Akibatnya air pun hanya sedikit sampai sawah. De Han lalu melapisi saluran itu dengan beton agar air tidak merembes ke mana-mana.
Untuk mengolah tanah, alumni Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud) Bali itu tidak menggunakan traktor, tapi bajak sapi. Dia juga tidak memakai pupuk dan pestisida kimia. Ketika mulai, sistem pertaniannya pun masih uji coba. De Han memakai metode SRI yang benihnya berumur 28 hari. “Karena curah hujan tinggi, benih itu malah rusak. SRI mungkin lebih tepat diterapkan di daerah bercurah hujan rendah,” katanya. De Han lalu beralih ke sitem tradisional yang secara turun temurun dipakai petani setempat.
Setelah sempat gagal panen dan berkali-kali mencoba, De Han akhirnya berhasil. Dia tidak tergantung pada asupan luar seperti pupuk dan pestisida kimia untuk bertanian. Produksinya pun meningkat. Kini dia bisa mendapat panen dua kali lipat dibanding sebelum menerapkan pertanian organik.
Hasil pertanian itulah yang dikonsumsi dia dan istrinya tiap hari. “Dari awal kami memang ingin hasil pertanian di sini untuk mencukupi kebutuhan sendiri,” kata bapak dua anak ini. Konsumsi makanan organik diimbangi pola hidup sehat seperti yoga dan meditasi membuat kanker payudara Fransiska tak pernah lagi datang.
Tak hanya pada istrinya, melalui pertanian organik, pria kelahiran Tabanan 21 Agustus 1962 itu juga memberi ruang pada kehidupan lain. Tanpa menggunakan pestisida, De Han tidak perlu membunuh hama seperti belalang dan tikus. Dia hanya melepaskan pemangsa hama seperti ular dan elang yang akan memangsa tikus sesuai kebutuhan tanpa merusak siklus kehidupan. Selain itu De Han juga menggunakan kepiting mati untuk mengalihkan perhatian walang sangit yang merusak padi.
“Alam sudah mengatur sedemikian rupa agar sesama makhluk hidup bisa saling memberi dan menerima. Kita tidak perlu merampas hak hidup makhluk lain demi hidup kita,” ujarnya.
Sebelum menerapkan pertanian organik, rantai makanan di sawah De Han dan sekitarnya bisa dikatakan terputus. Hampir semua hama itu mati karena pemakaian pestisida. Tikus mati makan racun, lalu ular mati karena makan tikus yang beracun. Lingkungan juga rusak. Air terbuang karena tidak diatur dengan bagus. Sedangkan lumpur sawah dangkal dengan bagian bawah mengeras. “Mungkin akibat pemakaian pupuk kimia dan pestisida berlebihan oleh petani,” katanya.
Rusaknya lingkungan diikuti sedikitnya hasil pertanian. Dari sawah seluas sekitar 1,5 hektar, petani setempat hanya bisa mendapat 33 tegen (sekitar 900 kg). Menurut De Han, hal itu terjadi akibat revolusi hijau yang terlalu mementingkan hasil tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. “Di sisi lain revolusi hijau juga membuat petani egois karena merasa bisa melakukannya sendiri-sendiri mulai mentraktor, memupuk, hingga memanen. Tidak ada lagi kebersamaan antar petani,” ujar De Han yang menghabiskan masa kecil di desa tersebut.
Padahal ketika masih tinggal di desa hingga SMP kelas II, anak pertama dari empat saudara ini ingat bagaimana petani setempat saling membantu ketika membajak sawah, menanam dan memanen benih, membudidayakan tanaman, hingga memanen hasil pertanian. Menurut De Han revolusi hijau tidak hanya merusak lingkungan tapi juga memutuskan relasi sosial.
Meski tidak mudah, setelah sepuluh tahun menerapkan pertanian organik De Han pelan-pelan bisa mengembalikan rantai makanan dan relasi sosial itu. Tikus dan belalang yang menyerang tanaman tidak perlu dibunuh dengan pestisida. Mereka memang masih ada dan menyerang tanaman. Tapi menurutnya, hama itu tidak akan mengambil lebih dari kebutuhan mereka sendiri. Di sisi lain, petani setempat pun kini mulai mengakui dan mengikuti bertani organik.
Dulu petani setempat pesimis dengan apa yang dikerjakan De Han. “Mereka mikir, kalau pakai pupuk saja hasilnya sedikit, bagaimana mungkin tanpa pupuk bisa dapat hasil lebih banyak,” ujar De Han. Namun setelah melihat bahwa hasil peranian organik yang dilakukan De Han menghasilkan lebih banyak, beberapa petani setempat mulai menerapkan pertanian organik pula. Mereka tak lagi tergantung pada asupan luar tinggi seperti pupuk dan pestisida kimia.
Bersama empat petani lain di areal itu, De Han menghidupkan lagi Sekaa (Kelompok) Subak Carik Tangis yang berarti sawah menangis. Seluruh anggota sekaa sekarang bertani organik. Karena ingin membentuk manusia organik, maka hasil pertanian mereka bukan untuk dijual tapi dikonsumsi sendiri.
“Kalau hasil pertanian organik mereka dijual lalu mereka membeli produk anorganik untuk dimakan, itu sama saja omong kosong. Sebab petani itu sendiri tidak sehat. Padahal manusia organik terbukti lebih sehat dan bisa kerja lebih maksimal,” katanya.
Seperti umumnya subak di Bali, Sekaa Subak Carik Tangis berprinsip pada filosofi Tri Hita Karana (tiga prinsip keseimbangan hidup) yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan alam (palemahan). Parahyangan diterapkan melalui upacara-upacara, pawongan melalui proses tenggang rasa, dan palemahan dengan tidak merusak lingkungan.
Petani setempat menerapkan rotasi tanaman. Jika usai panen padi, mereka menanam sayuran seperti selada dan rokula. Sisa panen digunakan sebagai pupuk. Sayuran itu pun dikonsumsi mereka sendiri. Jika lebih baru dijual ke restoran De Han. Di sebagian sawahnya, De Han memang membuat restoran dilengkapi 12 bungalow sejak 2001.
Bungalow itu, menurut De Han, dibuat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat secara spiritual. Jadi makanan organik diimbangi kesehatan spiritual. Di tempat itu, empat kali dalam setahun diadakan meditasi dan yoga bersama. Sebagian besar pesertanya warga Eropa seperti Belanda, Perancis, Inggris, dan Jerman. Beberapa lembaga spiritual seperti Samdhana Institute dan Bali Meditasi juga melakukan yoga dan meditasi bersama di sana.
Meski berhasil membentuk manusia organik, De Han mengaku masih menghadapi sejumlah masalah. Masih sedikit petani yang sadar dan bersedia menerapkan pertanian organik. Hal ini terjadi akibat telanjur mengakarnya pendapat bahwa bertani hanya untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya meski itu mengorbankan kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia. Selain itu usia produktif di desa hanya sedikit. Generasi muda desa lebih tertarik bekerja di kota sebagai pegawai negeri, staf kapal pesiar, dan buruh pariwisata lainnya. Di desa itu hanya tersisa petani tua.
De Han berharap pertanian organik pun akan bisa mengembalikan generasi muda ke desa. [b]
Dear, saya sangat tertarik sekali membaca artikel diatas mengenai Gde Hanjaya Membentuk Manusia Organik, bagaimana caranya saya bisa contact/kenal pak De Han?
terimakasih,
agus