Masih banyak pertanyaan: apa saja syarat masuk Bali?
Pertanyaan itu merujuk pada situasi Bali hingga saat ini yang masih menghadapi pandemi COVID-19. Enam bulan lebih, pandemi COVID-19 belum sepenuhnya terkendali di Indonesia, termasuk di Bali. Jumlah kasus masih cenderung naik hingga awal Agustus ini.
Merujuk data resmi Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga akhir Juli ini terdapat 3.407 kasus positif COVID-19 di Bali dengan tingkat kesembuhan mencapai 84,4 persen atau 2.876 pasien. Adapun pasien meninggal sebanyak 48 kasus (1,4 persen).
Jumlah penambahan kasus baru di Bali masih naik turun. Penambahan terbesar sejak 10 Maret 2020, tanggal resmi ditemukannya kasus ini pertama kali di Bali, terjadi pada 11 Juli 2020 dengan 151 kasus. Setelah titik tertinggi itu, penambahan kasus baru masih naik turun, contohnya 77 kasus pada 30 Juli 2020 dan 88 kasus keesokan harinya.
Namun, meskipun kasus baru masih naik turun, Bali telah membuka diri terhadap turis domestik sejak 31 Juli 2020. Malahan, pembukaan ini ditandai dengan meriah oleh para pejabat tinggi Indonesia di kawasan elite Nusa Dua. Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP) bersama Menteri Pariwisata Wishnutama Kusubandio, Gubernur Bali Wayan Koster, Kapolda Bali Petrus R. Golose, Pangdam IX/Udayana Kurnia Dewantara, dan para pejabat lain memukul kulkul dan bersulang arak untuk menandai pembukaan pariwisata Bali di tengah pandemi ini.
Karena itu pula, masih banyak yang bingung: sebenarnya bagaimana kebijakan Bali terkait pandemi ini? Bagaimana syaratnya jika mau keluar masuk Bali?
Saya berusaha menjawab sebisanya berdasarkan pengalaman sendiri ketika keluar masuk Bali pada minggu kedua Juli lalu. Setelah hampir sebulan berlalu, rasanya tidak jauh berbeda karena memang belum ada aturan baru terkait hal itu.
Sebagai informasi, saya terpaksa keluar Bali pada 9 Juli 2020 lalu karena urusan keluarga yang tak bisa ditunda. Jika tidak sangat terpaksa, saya sendiri memilih untuk menghindari keluar masuk Bali saat ini. Alasan utamanya, situasi yang masih belum terkendali.
Prinsip utama kesehatan umum seharusnya masih berlaku, lebih baik mencegah daripada mengobati. Lebih baik menghindari penularan daripada menyesal nanti.
Namun, jika terpaksa tetap harus bepergian keluar masuk Bali di tengah pandemi, berikut kurang lebih panduannya.
Persiapan
Untuk memastikan syarat apa saja yang diperlukan, saya bertanya ke Pusat Pengendalian dan Operasi (Pusdalops) Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) Bali melalui WhatsApp di +6285792240799. Mereka merespon dengan cepat.
Menurut Pusdalops Bali, aturan yang berlaku terkait pengendalian keluar masuk Bali hingga saat itu adalah Surat Edaran Gubernur Bali nomor 10925 tahun 2020 tentang Pengendalian Perjalanan Orang pada Pintu Masuk Wilayah Bali dan Percepatan Penanganan COVID-19. SE ini disahkan Gubernur Bali pada 22 Mei 2020.
Hari ini, saya tanya ke Sekretaris Gugus Tugas Pengendalian COVID-19 Bali I Made Rentin perihal aturan mana yang berlaku setelah dibukanya pariwisata Bali untuk turis domestik. Rentin menjawab aturannya masih mengacu pada SE tersebut.
Secara ringkas, SE ini mengatur perjalanan masuk Bali melalui tiga pintu yaitu udara, darat, dan laut. Untuk perjalanan lewat udara, orang yang masuk Bali wajib membawa hasil negatif dari uji swab berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR). Surat keterangan ini berlaku tujuh hari setelah dikeluarkan laboratorium rumah sakit pemerintah maupun laboratorium yang dirujuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
Adapun perjalanan lewat darat dan laut cukup dengan hasil negatif dari rapid test yang dikeluarkan rumah sakit yang ditunjuk pemerintah maupun pihak lain yang berwenang. Masa berlaku surat keterangan ini juga sama, tujuh hari.
Namun, jawaban Rentin ternyata kurang akurat. Setelah saya cek ricek lagi, ternyata ada SE Gubernur Bali terbaru tentang Persyaratan Wistawan Nusantara Berkunjung ke Bali. SE nomor 15243 ini baru diterbitkan pada 28 Juli 2020.
Meskipun demikian, syarat-syaratnya kurang lebih sama: menunjukkan surat bebas tes cepat (rapid test) atau uji usab (swab test) berbasis PCR yang masih berlaku, wajib mengisi aplikasi sebelum berangkat, dan wajib melaksanakan protokol pencegahan COVID-19 selama di Bali.
Tes Cepat
Karena keluar Bali lewat darat, saya hanya memerlukan hasil tes cepat.
Setelah cari beberapa informasi, ternyata tes bisa dilakukan langsung di kantor perusahaan bus yang melayani perjalanan keluar Bali, Gunung Harta. Tes ini pada hari yang sama karena memang cepat keluar hasilnya. Saya datang pukul 11 pagi WITA untuk tes sedangkan bus berangkat sekitar pukul 3.30 sore.
Ada dua dokter yang melakukan tes. Mereka memberikan penjelasan singkat bahwa tes cepat (rapid test) tidak ditujukan untuk mengetahui kita positif COVID-19 atau tidak. “Tes cepat ini hanya untuk mendeteksi apakah kita punya antibodi atau tidak. Kalau hasilnya reaktif, maka kita perlu lanjutkan dengan tes usap untuk mengetahui positif COVID-19 atau tidak. Kalau negatif, berarti tidak ada,” kata Anindya, dokter muda yang memeriksa.
Pengambilan darah sendiri tak sampai 5 menit. Setelah itu saya menunggu sekitar 15 menit untuk tahu hasilnya. Non-reaktif. Artinya saya bisa keluar Bali.
Meskipun demikian, tes ini juga bisa dilakukan di tempat lain, rumah sakit atau klinik. Tarifnya berkisar Rp 180.000 hingga Rp 250.000. Dalam kasus saya, bayarnya Rp 250.000. Mahal, tapi ya bagaimana lagi. Benar-benar perlu dan mendadak.
Untuk tes usap banyak tempat lain bisa melakukannya dengan tarif beragam. Komang Sayu, teman saya yang akan bepergian keluar Bali, ikut tes di Rumah Sakit Universitas Udayana, Jimbaran. Tarifnya Rp 900 ribu. Hasilnya keluar tiga hari setelah tes dilakukan.
Hal yang kemudian baru saya tahu, surat keterangan hasil tes cepat itu ternyata tidak diperiksa sama sekali dalam perjalanan keluar Bali. Bahkan pada saat masuk Bali seminggu kemudian pun, menurut pengalaman saya sendiri, sebenarnya bisa saja tanpa bawa surat keterangan tersebut.
Syarat Masuk
Saya kembali ke Bali sekitar seminggu kemudian. Seperti berangkatnya, saya kembali naik bus.
Saat mau beli tiket bus, saya bertanya ke perusahaan bus apa saja syarat masuk Bali. Staf mereka bilang saya hanya diharuskan membawa surat hasil rapid test dan fotokopi KTP. Menurut SE Gubernur Bali nomor 10925 tahun 2020, sebenarnya saya harus mengisi formulir di cekdiri.baliprov.go.id, tetapi lantjar djaja juga meskiun saya tidak melakukannya. Selama perjalanan dari Surabaya hingga Denpasar, tidak ada sama sekali yang menanyakan tentang form cek diri ini.
Bahkan, tidak juga untuk urusan surat bebas COVID-19 seandainya saya melakukan.
Pemeriksaan hasil rapid test hanya dilakukan pada saat mau masuk Bali, tepatnya di Terminal Banyuwangi, sebelum masuk Pelabuhan Ketapang. Kernet bus mengingatkan setiap orang untuk menyiapkan surat hasil rapid test dan salinan bukti identitasnya. Namun, saya lihat tidak semua orang turun menyerahkan dokumen persyaratan itu.
Malam itu, lewat tengah malam, sekitar 50 orang antre berbaris untuk diperiksa kelengkapan syaratnya. Mereka menunjukkan surat hasil tes cepat dan salinan KTP. Mereka terdiri dari para pelaku perjalanan seperti saya maupun sopir angkutan logistik. Ada pula yang sedang duduk-duduk menunggu hasil rapid testnya.
Di sini memang ada tempat rapid test baik yang dilaksanakan lembaga resmi maupun komunitas sopir secara gratis.
Setelah sekitar 1 jam ikut antre, saya memperlihatkan surat keterangan hasil rapid test dan salinan KTP kepada petugas. Dicek sebentar, lalu distempel bahwa DOKUMEN VALID. Mudah. Cepat. Tidak bertele-tele.
Setelah kembali ke bus dan duduk, saya kembali berpikir bisa saja penumpang yang mau masuk Bali tidak usah turun sama sekali. Toh, tidak ada yang memeriksa ke dalam bus.
Sebelum bus kembali melanjutkan perjalanan, kernet mengingatkan. “Mohon siapkan lagi surat keterangan hasil rapid test dan fotokopi KTP-nya. Nanti akan ada pemeriksaan lagi begitu keluar dari pelabuhan di Gilimanuk,” katanya.
Selebihnya, saya duduk manis di dalam bus sampai bus masuk kapal penyeberangan Ketapang – Gilimanuk. Di dalam kapal, saya sempat melihat petugas bus sebelah sedang mengumpulkan syarat-syarat dokumen dari para penumpangnya.
Lalu, saya terlelap ketika bus masih asyik bergoyang di tengah Selat Bali.
Saya bangun ketika bus sudah berada di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Deretan pohon sepanjang jalan menjadi penandanya. Sebagai orang yang sudah lebih dari 20 tahun melewati daerah ini tiap kali melakukan perjalanan Denpasar – Gilimanuk, saya mengenalnya dengan baik.
Karena sudah berada di kawasan TNBB artinya kami sudah melewati Pelabuhan Gilimanuk dan lolos tanpa mendapat pemeriksaan hasil rapid maupun identitas. Ternyata jauh lebih mudah dari yang saya kira. Tidak ada pemeriksaan ketat ketika masuk Bali meski di tengah pandemi.
Begitu pula ketika kami hampir tiba di tujuan akhir, Denpasar. Saya pernah membaca berita bahwa ada petugas pemeriksaan di Terminal Mengwi untuk setiap orang yang turun di sini. Namun, kali ini saya tak perlu melakukannya. Bus kami langsung menuju titik terakhir pemberhentian di kawasan Ubung, Denpasar.
Tidak ada petugas pemeriksa. Tidak ada proses ribet masuk Bali meski di tengah pandemi. Entah karena saya yang memang beruntung, atau memang begitulah sebenarnya praktik sehari-hari. Jauh sekali dari kerumitan yang saya bayangkan bahkan sebelum berangkat.
Masuk Bali di tengah pandemi ternyata tak serumit yang saya bayangkan sebelumnya. [b]
salam dr surabaya mas Anton
jd sekarang tidak sulit ya masuk ke bali hanya cukup menunjukkan hasil Rapid Test dan identitas diri (KTP) dalam perjalanan darat/laut
tgl 15 september ini saya akan melakukan perjalanan ke bali tp saya bingung dengan persyaratan masuk ke bali. perayaratan yang valid and non valid, setelah baca artikel ini saya jadi legah dan tenang tdk perlu bingung yg sudah tahu persyaratannya.
terima kasih infonya mas ?