Ketika kasus COVID-19 di Bali terus menanjak, pemerintah justru segera memulai normal baru.
Kidung dan doa terlantun bersahutan di bagian inti (utama mandala) Pura Besakih di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali pada Minggu, 5 Juli 2020. Menurut kalender Bali, hari itu bertepatan dengan Redita Pahita Sinta, Purnama Kasa yang dianggap sebagai hari baik.
Sekitar seribu umat Hindu Bali melaksanakan Upacara Yadnya Pamahayu Jagat pada Purnama Kasa itu. Setelah sempat ditutup untuk publik sejak Maret 2020 lalu, Pura Agung Besakih, pura terbesar di Bali pun kembali dibuka sekaligus menjadi tempat untuk memulai penerapan normal baru di pulau yang mayoritas penduduknya beragama Hindu tersebut.
Sejumlah pejabat tinggi di Bali pun hadir, termasuk Gubernur Bali I Wayan Koster dan wakilnya, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Panglima Kodam IX/Udayana Kurnia Dewantara, Wakil Kapolda Bali I Wayan Sunartha, dan beberapa bupati di Bali.
Berpakaian dominan putih-putih, mereka yang hadir di Pura Agung Besakih menghaturkan bunga (muspa) hingga sebelas kali, sesuatu yang amat jarang terjadi. Biasanya, dalam sekali sembahyang, umat Hindu maksimal hanya muspa lima kali.
Seusai sembahyang bersama, Gubernur Bali dan para pejabat tinggi menuju aula (wantilan) untuk menyampaikan apa pentingnya sembahyang tersebut dalam penanggulangan COVID-19 di pulau ini.
Menurut Koster, Upacara Yadnya Pamahayu Jagat yang kita haturkan pada hari ini merupakan rasa bhakti dan syukur karena penanganan COVID-19 di Bali telah berjalan dengan baik. “Melalui upacara ini pula, kita memohon izin, restu, tuntunan, serta pelindungan Tuhan agar Beliau berkenan memberikan anugerah terbaik sehingga tiga tahapan (normal baru) dapat berjalan dengan lancar dan sukses dengan penerapan Protokol Tatanan Kehidupan Era Baru di Bali,” katanya.
Koster mengatakan umat Hindu Bali meyakini wabah penyakit merupakan bagian dari siklus alam yang bisa datang dalam kurun dasawarsa, abad, atau bahkan milenium. Pandemi COVID-19, lanjutnya, termasuk penyakit besar (gering agung) sebagaimana lepra yang pernah terjadi di Bali pada 1599 M.
Meskipun demikian Koster yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Bali itu menyatakan bahwa Bali berhasil mengendalikan penyebaran pandemi COVID-19 di Bali. “Hasil yang baik tersebut ditandai dengan terkendalinya muncul kasus positif baru, tingkat kesembuhan yang tinggi, dan jumlah yang meninggal relatif kecil,” ujarnya.
Karena sudah berhasil tersebut, maka Bali pun akan memulai penerapan normal baru (new normal) termasuk untuk pariwisata. Penerapan normal baru itu akan dilakukan dalam tiga tahap.
Pertama, melaksanakan aktivitas secara terbatas dan selektif hanya untuk lingkup lokal masyarakat Bali. Tahap itu akan dimulai pada Kamis, 9 Juli 2020 yang bertepatan dengan hari baik, Umanis Sinta. Sesuai arahan Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan COVID-19, pelaksanaan normal baru itu terbatas antara lain hanya pada sektor kesehatan; kantor pemerintahan; adat dan agama; keuangan, dan pasar modern.
“Untuk sektor pendidikan dan sektor pariwisata belum diberlakukan,” katanya.
Tahap kedua, mulai dibuka untuk aktivitas lebih luas, termasuk sektor pariwisata, tetapi hanya terbatas untuk turis domestik. Tahap ini akan dimulai pada 31 Juli 2020 yang bertepatan dengan hari Jumat Pon, Kulantir.
Tahap Ketiga, melaksanakan aktivitas secara lebih luas sektor pariwisata termasuk untuk turis asing mulai 11 September 2020 bertepatan hari Jumat, Kliwon, Sungsang, Sugihan Bali. Tahap ini berjarak 42 hari (abulan pitung dina) dari Tahap Kedua pada 31 Juli 2020. Menurut Koster, semua tahap itu sudah disesuaikan dengan hari baik yang dipercaya umat Hindu Bali.
Penerapan di Pariwisata
Dewa Made Indra, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Bali menambahkan, normal baru di Bali berarti masyarakat bisa memulai aktivitas seperti sedia kala, tetapi ada hal barunya. “Sekarang harus dilengkapi dengan protokol kesehatan, seperti pakai masker, rajin cuci tangan, jaga jarak, hindari kerumunan, dan hidup sehat,” katanya.
Hal sama pun berlaku di bidang pariwisata. Apalagi, menurut Indra, pariwisata Bali termasuk sektor berisiko tinggi karena melibatkan warga internasional. Saat ini kasus COVID-19 di berbagai negara juga masih tinggi. “Karena itu perlindungan di sektor pariwisata harus lebih kuat,” ujarnya.
Perlindungan itu akan dilakukan secara bertahap mulai dari keberangkatan yang harus menyertakan hasil tes PCR negatif, pemeriksaan kesehatan ketika baru tiba di bandara, sampai saat masuk hotel atau mengunjungi objek wisata. “Semua harus menggunakan protokol ketat, misalnya menerapkan social distancing,” lanjutnya.
Untuk memastikan berjalannya protokol itu, kata Indra, pengawasan juga akan dilakukan di semua titik. Pada saat berangkat, pengawasan dilakukan oleh pihak maskapai. Pada saat tiba di Bali akan diawasi karantina atau petugas kesehatan bandara. Pada saat di hotel, pengawasan oleh pihak hotel. “Pengawasannya berlapis-lapis,” katanya.
Meski Bali menyatakan siap membuka pariwisata sebagai bagian dari normal baru, sejumlah pelaku pariwisata masih menanggapinya dengan hati-hati. Pengelola desa wisata Penglipuran, Bangli, misalnya, mengaku siap tetapi semua pihak harus disiplin dan jujur. “Sebelum pariwisata dibuka, perlu diverifikasi bila perlu ada semacam simulasi agar petugas betul betul siap,” kata I Nengah Muneng, Ketua Pengelola Desa Wisata Penglipuran.
Penglipuran merupakan salah satu desa wisata di Bali. Desa ini terkenal karena tata desanya yang rapi dengan pintu gerbang yang sama. Sebelum terjadi pandemi COVID-19, sekitar 750 turis tiap hari berkunjung ke sini. Tahun lalu, mereka mendapatkan pemasukan hingga Rp 4,9 miliar dari uang tiket.
“Itu belum termasuk dari warga yang mengelola homestay dan art shop,” kata Muneng.
Sebagai adaptasi dengan normal baru, Muneng melanjutkan, pengelola Desa Penglipuran sudah mempersiapkan tempat cuci tangan di pintu masuk, toilet lebih banyak dan berkualitas, alat penyemprot disinfektan, dan masker. “Beberapa bagian masih kami siapkan, seperti thermogun dan tata tertib dalam bentuk papan informasi,” katanya,
Secara terpisah, Ketua Satgas Gotong Royong Penanggulangan COVID-19 Desa Penglipuran I Wayan Liwat berharap pembukaan normal baru di desanya dilaksanakan secara terbatas. “Bisa saja dibuka, tetapi sangat terbatas karena objek ini akan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Kalau tamu tidak masuk rumah penduduk, itu akan mengurangi risiko warga kami,” katanya.
Liwat menambahkan, pariwisata di Bali bisa segera mulai dibuka karena dampak pandemi COVID-19 tidak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga ekonomi. Sebagai warga yang tergantung dari pariwisata, Liwat mengaku sudah kehilangan pendapatan sama sekali sejak pariwisata di desanya ditutup pada 18 Maret 2020 lalu.
Lampu Kuning
Namun, menurut Gusti Ngurah Mahardika, guru besar virologi Universitas Udayana, penerapan normal baru di Bali termasuk buru-buru. Apalagi karena jumlah kasus positif COVID-19 di Bali terus meningkat.
Menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Bali, hingga 5 Juli 2020 terdapat 1.849 kasus positif dengan 20 kematian. Adapun pasien sembuh sebanyak 967 orang sedangkan pasien dalam perawatan mencapai 862 orang.
“Data tersebut tidak menunjukkan data sebenarnya saat ini karena ada indikasi Bali masih kurang jumlah deteksinya. Ini hanya puncak gunung es. Data tersebut juga diperoleh dari hasil tes sekitar seminggu sebelumnya sehingga tidak real time,” katanya.
Mahardika mengatakan klaim keberhasilan oleh Gubernur Bali juga masih perlu dipertanyakan karena data kasus sesungguhnya tidak pernah dibuka kepada publik. Peningkatan kasus di Bali saat ini bisa jadi karena pemeriksaannya memang banyak. Jika pemeriksaan tinggi dan temuan kasusnya juga tinggi, maka itu wajar.
“Kalau penjangkauan dan pemeriksaan memang tinggi, tetapi hasil positifnya menurun, itu baru bisa disebut berhasil,” ujarnya.
Menurut Mahardika, situasi COVID-19 di Bali saat ini masih masuk lampu kuning karena angka kematian masih tinggi. Berdasarkan informasi yang dia peroleh, jumlah pasien yang dirawat juga masih banyak. “Sebagian besar rumah sakit juga tidak bisa merujuk lagi karena orang yang dirawat intensif juga bertambah,” katanya.
Namun, menurut Indra, data kasus yang terus bertambah di Bali saat ini adalah capaian. Hasil kerja keras untuk melakukan tracing massal karena mau membuka. Pencarian massal itu, lanjutnya, perlu dilakukan sebagai tahapan sebelum membuka. “Kita perlu tahu dulu berapa sebenarnya penularan di masyarakat. Untuk bisa mengetahui, maka kita harus cari lewat tracing dan testing,” ujarnya.
Di sisi lain, Mahardika memberikan saran tambahan, agar Pemertintah Bali tak hanya tracing dan testing. “Saya menyarankan pemerintah Bali lebih baik duduk bersama dengan para ahli dan membuka data untuk dianalisis dan dievaluasi bersama sebelum menerapkan normal baru,” katanya. [b]
Catatan: versi lain artikel ini diterbitkan pertama kali oleh BBC Indonesia.