Teks dan Foto Ilustrasi Luh De Suriyani
Wajah Kuta pada Sabtu malam (6/3) seperti biasa adalah jalanan yang macet, terutama Legian dan Seminyak serta hilir mudik wisatawan di pedestrian yang padat. Dan hampir setahun ini, bertambah dengan kelompok-kelompok kecil anak-anak yang dipekerjakan malam hingga dini hari di beberapa ruas jalan kawasan Kuta, etalase Bali ini.
Di sepanjang Jalan Raya Pantai Kuta saja, sedikitnya terlihat delapan bocah laki-laki dan perempuan berusia 2-12 tahun. Mereka menawarkan gelang yang dibuat dari jalinan potongan kulit imitasi. Pada wisatwan domestik, gelang ditawarkan paling murah Rp 2000 per buah, sementara pada turis asing Rp 5000.
Di jalan depan Pantai Kuta ini, ada kelompok Ni Ketut Santi (nama samaran) dan ketiga anaknya yang berusia di bawah 12 tahun, serta bayi berusia 7,5 bulan dalam perutnya. Bahkan si bungsu, bocah laki-laki 2 tahun yang dipanggil Komang sudah bisa memaksa orang-orang untuk membeli gelang-gelang yang dibuat Santi ini.
Santi hanya duduk di bawah rimbun pohon mengawasi dua anaknya yang agresif menawarkan gelang pada turis yang lalu lalang. Bocah-bocah penjual gelang ini memang khusus berjualan sore hingga malam hari di Kuta. “Lumayan bisa bawa uang Rp 15-25 ribu pulang,” ujar Santi.
Santi mengaku berasal dari Pedahan, Karangasem. Delapan bocah ini tidak bisa membaca dan menulis. “Rata-rata sekolah sampai SD kelas 1. Tidak kuat sekolah, lebih baik kerja di jalanan saja, jelas dapat uangnya,” katanya lagi.
Ia tak ingat lagi, sudah berapa kali ditangkap Satpol PP atau hansip kelurahan Kuta karena cukup sering. Demikian juga anak-anaknya. “Ditangkap, dikembalikan ke Karangasem, kami datang lagi,” katanya.
Santi mengatakan, puluhan anak-anak lainnya di Kuta yang tak datang bersama orang tuanya, punya bos yang akan menerima bagian hasil penjualan gelang. Santi menyebutnya penampung, karena si bos memberikan tempat tinggal dan mengantar ke Kuta.
Sangat mudah menemukan tubuh-tubuh mungil lainnya di tengah ribuan manusia dewasa di Kuta. Mengikuti arah jalan dari Jalan Pantai Kuta, lalu belok ke Jalan Melasti Legian, terlihat satu kelompok bocah lagi. Kali ini didominasi bocah perempuan, juga dengan ikatan gelang-gelang kulit di genggaman mereka.
Tak sedikit wisatawan yang memperhatikan bocah-bocah ini dengan tatapan heran. Mereka terlihat menyerbu sebuah bar ramai. Jika terlihat satu turis memberikan uang pada satu bocah, maka bocah-bocah lainnya akan datang mengerumuni si turis.
“Saya harus pulang bawa uang. Setelah menjual gelang sampai jam 10 malam, saya bekerja di tempat massage,” ujar salah seorang bocah perempuan yang terlihat paling modis. Kulitnya putih, wajah cantiknya berkilat karena kosmetik, rambutnya agak pirang di bagian ujung. Ia berbahasa Inggris paling lancar di antara yang lain, ketika menawarkan gelang. Usianya sekitar 12 tahun. Ia dan sepupunya bekerja di salon massage untuk mendapatkan lebih banyak uang.
Kelompok bocah-bocah sekitar 10 orang di kawasan Jalan Melasti Legian ini juga tak bisa baca tulis.
I Nyoman Darga, salah seorang tulang ojek di kawasan Jalan Pantai Kuta menjadi saksi eksploitasi anak-anak ini. Ia kerap diminta mengantar ke tempat tinggal sementara di kawasan Tegal, Monang-Maning, Denpasar Barat.
“Saya kasihan. Entah berapa kali ditangkap petugas keamanan kelurahan tapi tak bisa menghentikan mereka,” ujarnya. Ia hanya bersimpati tapi tak bisa melakukan apapun. Pedagang lain di sekitar Kuta juga menurutnya cuek, dan menganggap biasa jika ada kelompok pengemis dan anak-anak jalanan dari Karangasem.
“Orang-orang tuanya pemalas,” ujar Darga lagi. Tak hanya di kawasan Kuta, orang-orang dewasa, biasanya ibu bersama bayi dan anak-anaknya dari beberapa desa miskin di Karangasem juga banyak di Denpasar. Misalnya dari Munti Gunung.
“Dari laporan salah seorang observer anak-anak ini di Kuta, selain mendapat kekerasan fisik dan mental dari penampungnya, beberapa bocah juga rentan mendapat kekerasan seksual,” ujar Asana Viebeke Lengkong, pendiri Iam An Angel, sebuah organisasi donor yang melakukan pengamatan soal anak-anak ini. Ia menyebut ada indikasi yang kuat dari ancaman pelaku pedofilia.
“One is too many. Satu anak saja yang dieksploitasi itu sudah sangat banyak bagi Bali. Ini wajah anak-anak Bali,” tambah Viebeke yang mengididentifikasi ini sebagai bentuk perbudakan anak. Ia berharap pemerintah mulai menangkap satu saja pelaku eksploitasi anak ini untuk menyelamatkan lebih banyak anak-anak.
Laporan kasus anak-anak di Kuta ini pun sudah sampai di tangan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) Bali. “Kami mendesak aparat mengimplentasikan Perda tentang Perdagangan Anak dan UU Perlindungan Anak untuk menangkap pelakunya,” ujar Luh Putu Anggreni, pengurus KPAID Bali. [b]