Rencana zonasi pesisir Bali justru merencanakan empat proyek yang rentan merusak lingkungan.
Kamis, 10 Januari 2018, WALHI Bali dan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) menggelar diskusi publik dengan tema Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Masa Depan Pesisir Bali. Diskusi diadakan di Taman Baca Kesiman, Jalan Sedap Malam Nomor 234, Kesiman Denpasar.
Pembicara diskusi adalah Ir. I Ketut Sudiarta, M. Si sebagai Ketua Tim Ahli penyusunan dokumen RZWP3K serta Dewan Daerah WALHI Bali Suriadi Darmoko. Diskusi diadakan agar publik memahami konsekuensi apabila Ranperda RZWP3K Provinsi Bali ditetapkan.
Dalam proses diskusi terungkap banyak proyek di wilayah pesisir Bali, khususnya Bali Selatan. Setidaknya terdapat empat proyek besar yang sejak awal dimasukkan yaitu rencana reklamasi Teluk Benoa, rencana pertambangan pasir laut di perairan Kuta dan sekitarnya seluas 1.916 hektar, perluasan Pelabuhan Benoa seluas 1.377,41 hektar dan perluasan Bandara Ngurah Rai dengan cara reklamasi seluas 147,45 hektar.
Masing-masing pembicara menyampaikan respon atas keberadaan proyek yang dimasukkan dalam dokumen RZWP3K tersebut. Dalam penetapan status Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim, I Ketut Sudiart menyampaikan bahwa ia sebagai tim ahli penyusunan dokumen RZWP3K menyampaikan telah menemukan status konservasi yang tepat untuk kawasan Teluk Benoa yakni sebagai kawasan konservasi maritim.
Dorongan memasukkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim tersebut menurutnya didasarkan hasil peta titik suci yang dibuat oleh ForBALI. “Kami menggunakan kajian titik suci yang dilakukan ForBALI. Titik suci itu kami terjemahkan sebagai situs suci. Sehingga dalam Ranperda RZWP3K Teluk Benoa dimasukkan sebagai kawasan konservasi maritim perlindungan budaya dan situs-situs suci,” ujarnya.
Meskipun sudah diakomodir sebagai kawasan konservasi maritim, penetapan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim dalam Ranperda RZWP3K akan menemui kendala besar, yakni dari Menteri Susi Pudjiastuti selaku Menteri Kelautan dan Perikanan yang telah menerbitkan izin lokasi reklamasi baru di Teluk Benoa.
Karena perbedaan tersebut, Sudiarta menyampaikan dalam setiap pertemuan-pertemuan bersama Menteri Susi Pudjiastuti, untuk soal Teluk Benoa tidak pernah menemukan jalan tengah. Penetapan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim dalam RZWP3K terhalangi Menteri Susi Pudjiastuti yang terlanjur menerbitkan izin lokasi reklamasi Teluk Benoa yang baru pada 29 November 2018.
“Namun, kami tetap ngotot, sebagai inisiatif daerah bahwa Teluk Benoa menjadi kawasan konservasi maritim, walau itu tidak akan mudah”, ujarnya.
Soal pertambangan Pasir laut dalam RZWP3K, ada dua izin pertambangan pasir laut yang diakomodir dalam dokumen RZWP3K. Izin tersebut diberikan Kepada PT. Hamparan Laut Sejahtera seluas 974 Ha dan PT. Pandu Khatulistiwa seluas 942 Ha.
Ketut Sudiarta menyoroti masuknya pertambangan pasir laut dalam Ranperda RZWP3K karena pemerintah daerah mengeluarkan izin rekomendasi dan izin pertambangan. “Kalau pasir itu ditambang, yang hancur itu bukan hanya Pantai Kuta, tapi dari hasil simulasi sampai Pantai Desa Tibu Biu sampai Tunggal Mengkeb,” jelasnya.
Dalam diskusi tersebut WALHI Bali juga menyoroti maraknya proyek yang coba dimasukkan dalam Ranperda RZWP3K. Terkait tambang pasir tersebut misalnya, Dewan Daerah WALHI Bali ini mencurigai rencana pertambangan pasir laut tersebut tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasir bagi proyek strategis nasional saja.
Berdasarkan rekam jejaknya, kedua perusahaan yang mendapatkan IUP Eksplorasi pertambangan pasir laut tersebut adalah perusahaan-perusahaan yang pernah terlibat di berbagai proyek reklamasi yang ada di Indonesia. PT. Pandu Katulistiwa dan PT Hamparan Laut Sejahtera adalah perusahaan yang mendapatkan IUP Eksplorasi tambang pasir laut.
Keduanya terlibat di berbagai proyek reklamasi di Indonesia, di antaranya reklamasi Teluk Jakarta yang pasirnya ditambang di Lontar, Pulau Tunda. Adapun di Sulawesi Selatan, PT. Hamparan Laut Sejahtera juga mengeruk pasir dari perairan Galesong untuk reklamasi Center Point of Indonesia, Makasar, Sulawesi Selatan.
“Dengan rekam jejak itu maka WALHI Bali mencurigai pertambangan pasir laut yang masuk dalam dokumen RZWP3K bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasir bagi proyek strategis nasional, tapi juga untuk proyek lain seperti rencana reklamasi Teluk Benoa,” ujarnya.
Terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa, Darmoko menegaskan bahwa WALHI Bali terus melakukan protes pada setiap proses-proses pembahasan dokumen RZWP3K Provinsi Bali, karena pada dokumen awal RZWP3K yang didapat WALHI Bali, reklamasi Teluk Benoa diakomodir dalam dokumen tersebut. Karena protes dari WALHI Bali, Teluk Benoa diakomodir sebagai kawasan konservasi maritim.
“Hasil protes dari WALHI Bali pada setiap pembahasan dokumen RZWP3K akhirnya mampu mengubah status alokasi ruang di Teluk Benoa, awalnya di teluk benoa masuk untuk rencana reklamasi akan tetapi dalam dokumen terakhir sudah diubah menjadi kawasan konservasi maritim,” jelasnya.
Namun demikian, menurut WALHI Bali, munculnya izin lokasi reklamasi Teluk Benoa baru yang diketahui WALHI Bali pada saat pertemuan konsultasi dokumen antara RZWP3K Provinsi Bali yang di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 19 Desember 2018, akan menjadi ancaman baru bagi Teluk Benoa. Ancaman terhadap Teluk Benoa semakin meningkat karena Kementerian Kelautan dan Perikanan juga meminta agar Teluk Benoa yang sudah dialokasikan sebagai kawasan konsevasi maritim tersebut diminta untuk diubah karena Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti telah menerbitkan izin lokasi reklamasi Teluk Benoa yang baru untuk PT. TWBI pada 29 November 2018.
“Meskipun saat ini Teluk Benoa sudah dialokasikan sebagai kawasan konservasi maritim, namun karena adanya izin lokasi baru, Teluk Benoa kembali terancam proyek reklamasi. Untuk itu WALHI Bali tetap tegas agar Teluk Benoa ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi maritim di dalam RZWP3K dan meminta Pemprov Bali juga harus mengabaikan permintaan Kementerian Kelautan serta memperjuangkan agar Teluk Benoa tetap sebagai kawasan konservasi maritim,” tegasnya.
Saat diskusi publik, Suriadi Darmoko juga menegaskan, secara terang-terangan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia selain meminta perubahan teluk benoa dihapus dari kawasan konservasi, mereka juga meminta agar tambang pasir laut diperluas dalam dokumen RZWP3K.
“Selain meminta status Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim dihapus, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga meminta agar tambang pasir laut yang saat ini tersisa di dalam dokumen sekitar 940 hektar agar diperluas,” tegasnya. [b]