Di tangan mereka, sampah bisa diolah menjadi berkah.
Setiap kali musim hujan dan angin tiba, pantai-pantai Bali terutama di kawasan barat, seperti Kuta, Legian, dan Seminyak akan diserbu banjir sampah. Pantai-pantai yang biasa menjadi pusat pariwisata pun dipenuhi sampah dalam berbagai jenis, termasuk plastik.
Maraknya sampah plastik semacam itu di Bali menggugah pasangan suami istri Bali dan Italia, I Ketut Mertadi dan Paola Cannuciari, memulai usaha di bidang pengelolaan sampah pada 2006 silam. “Kami awalnya berpikir bagaimana membuat sesuatu yang masuk akal dan bertanggung jawab terhadap banyaknya sampah plastik di Bali,” Paola Cannuciari, Program Manager EcoBali, bercerita akhir tahun lalu.
Paula pernah bekerja di lembaga konservasi satwa liar dan bekerja di Papua selama 2,5 tahun di isu lingkungan. Dia juga pernah menjadi relawan WWF di negara asalnya dan konsultan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Srilanka.
Sebagai orang berpengalaman di bidang pelestarian lingkungan, dia merasa turut bertanggung jawab untuk memperbaiki kondisi banyaknya sampah melalui hal sederhana, memilah sampah organik dan non-organik. Menurut Paula, salah satu penyebab masalah sampah plastik di Bali adalah karena belum adanya tempat pengolahan dan pemilahan sampah.
Bersama suaminya, Ketut Mertadi, mereka mendirikan CV Bumi Lestari sebagai badan usaha dengan jasa utama mengelola sampah rumah tangga dan bisnis. Sekitar empat tahun kemudian, badan hukumnya berubah menjadi PT Bumi Lestari Bali dengan usaha tetap di bidang pengelolaan sampah.
Merta bercerita pada awalnya mereka sempat berpikir untuk mendirikan EcoBali dengan badan hukum yayasan atau LSM tetapi mereka kemudian memutuskan berbentuk badan usaha agar bisa berkelanjutan. “Sebagai lembaga di bidang pelestarian lingkungan, kami harus memastikan keberlanjutan kami sendiri. Salah satunya melalui badan hukum usaha,” katanya.
Dengan menggunakan badan usaha, Merta menyatakan lembaganya akan lebih memiliki sumber pendapatan dibandingkan hanya mengandalkan dukungan dari lembaga donor jika menjadi LSM. Mereka pun membuat semacam kewirausahaan sosial dengan fokus pengelolaan sampah.
Merta memulai dengan menjual jasa sederhana, memilah sampah organik dan anorganik langsung dari sumbernya. EcoBali membuat jasa pemungutan sampah ke rumah warga dan tempat usaha. Hal yang membedakan dengan usaha pemungutan sampah lain adalah mereka juga menyediakan dua tempat sampah berbeda khusus untuk sampah yang bisa didaur ulang, kertas dan plastik.
Sampah kertas di keranjang berwarna hijau sedangkan plastik di keranjang berwarna kuning. Untuk sampah organik mereka menganjurkan agar diolah saja menjadi kompos. Mereka memang tidak membuat pengolahan pupuk organik tetapi mereka memberikan pendidikan kepada pelanggan tentang cara mengolah sampah organik menjadi kompos.
“Kami tidak mengambil sampah organik dari klien karena ingin mendidik warga bahwa mereka seharusnya bertanggung jawab untuk membuat kompos,” kata Merta.
Pendapatan utama EcoBali dari jasa servis dan barangdaur ulang dari sampah yang mereka kumpulkan. Ada dua jenis klien, rumah tangga dan tempat usaha. Saat ini, menurut Merta, sampah rumah tangga mencapai 75 persen sedangkan sisanya dari bisnis, seperti perkantoran, hotel, dan vila. Jumlah pelanggan mencapai 900an.
Sebagian besar klien EcoBali terutama di daerah pusat pariwisata, seperti Badung selatan, Ubud, dan Denpasar. Dari tiga kawasan itu mereka mengumpulkan sekitar 2 ton sampah per hari. “Pelanggan dari orang Bali justru sedikit,” ujar Merta.
Merta menambahkan kurangnya warga lokal yang mau memilah merupakan salah satu tantangan utama dalam menangani masalah sampah di Bali. Tanggung jawab untuk membuang sampah memang sudah ada tetapi belum diterapkan dengan baik.
Di sisi lain, Bali juga memerlukan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab dan gaya hidup berkelanjutan. Sebab, masalah sampah sangat terkait dengan gaya hidup. Paula memberikan contoh maraknya anak-anak SD yang lebih suka makan makanan instan. Selain kurang memiliki nilai gizi, makanan instan semacam itu juga menghasilkan lebih banyak sampah. Misalnya mie cepat saji atau teh gelas.
“Manusia bisa sehat kalau mulai dari awal dengan melakukan pencegahan. Mayoritas penyakit saat ini bisa dicegah dengan pola makanan,” lanjutnya.
Contoh lain adalah kebiasaan berbelanja. Jika belanja di pasar, orang akan membeli bahan-bahan segar sehingga mengurangi bungkus plastik, apalagi jika membawa tas belanja sendiri.
Untuk menjawab tantangan itu, EcoBali terus menerus melakukan kampanye tentang sampah terutama ke sekolah-sekolah, termasuk dalam mengampanyekan gerakan bebas sampah. “Bebas sampah adalah sebuah visi. Dia hanya dapat tercapai apabila semua elemen bersatu. Salah satu cara kita melakukannya adalah dengan mempromosikan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab,” ujar Paola.
Pengelolaan sampah merupakan hal terpadu, dari hulu sampai hilir. Dari sumber sampai pengolahan. “Sangat penting untuk memahami apa yang Anda beli, mengapa Anda beli, tipe wadah yang menampungnya, dan secara umum membuat keputusan yang cerdas,” lanjutnya.
Gaya hidup praktis menghasilkan lebih banyak sampah. Namun, jika memang tidak bisa menghindari produksi sampah, mulailah dengan mengolahnya. Salah satu pendekatan EcoBali adalah juga dengan mengampanyekan bahwa sampah bisa menjadi sumber daya berguna. Pengelolaan sampah adalah bagian dari konsep ekonomi melingkar (circular economy) yang menyalurkan sampah kembali ke sistem melalui proses seperti membuat kompos dan daur-ulang.
“Pada intinya, gerakan bebas sampah bermula dari diri kita, dari komitmen kita, dan dari perubahan pola pikir,” kata Mertadi. “Karena itulah sangat penting untuk terus berdiskusi dan memberikan edukasi soal daur ulang, tentang komposting, tentang mengetahui perbedaan antara sampah organik dan non-organik, dan tentang pencegahan sampah,” lanjutnya. [b]
Di Lombok ada bank sampah, dimana sampah di reuse/reduce/recycle.
Sampah dibeli (murah meriah) dan dijadikan work of art.
Bisa dilihat di kampung budaya dimana rumah warna-warni di tepi kali Jangkok. Mataram.