Setelah putusan soal status perempuan dalam perkawinan dan hak waris pada 2010, tahun ini membahas hak perlindungan anak.
Pengurus dan pemimpin desa adat (desa pakraman) di Bali akan membahas upaya-upaya perlindungan anak dalam rapat besar, bertajuk Pasamuhan Agung VI Majelis Desa Pekraman (MDP) Bali pada 15 November di Denpasar. Rapat kerja ini dihelat dengan tema “Penguatan Eksistensi Desa Pekraman Menghadapi Tantangan Global”.
Dalam agenda pembahasan, persoalan yang dibahas dalam rapat komisi dan pleno nanti dibagi menjadi 3 yakni komisi eksistensi desa pakraman sebagai subjek hukum menghadapi tantangan global, komisi evaluasi program MUDP, dan komisi perlindungan anak dalam desa pakraman.
Hal ini dipaparkan ketua MUPD atau Bendesa Agung Jero Gede Suwena Putus Upadesha pada pertemuan dengan media pada Senin (13/11) di sekretariat MUDP, gedung Dinas Kebudayaan Bali, Denpasar. Suwena didampingi ketua panitia Pesamuhan Agung yang untuk kali pertama juga perempuan, aktivis Yayasan Bali Sruti dan staf ahli MUDP Bali Luh Riniti Rahayu. Juga ada pengurus MUDP Bali lainnya seperti aktivis perempuan Luh Putu Anggreni dan penggerak organisasi humanitarian Rotary Ni Nyoman Nilawati.
Menurut Suwena persoalan perlindungan anak menjadi tantangan dalam persoalan pawongan (manusia-manusianya) dalam upaya menegakkan filosofi Tri Hita Karana selain alam (palemahan), dan Tuhan (parahyangan). “Menyangkut generasi ke depan, banyak masalah terkait anak,” katanya.
Luh Riniti Rahayu menyebut persoalan anak adalah persoalan generasi berikut Desa Pakraman di Bali sehingga perlu diantisipasi. “Terkait Manusia Bali, anak-anak harus dilindungi karena terlalu banyak permasalahan. Tapi keputusan MUDP ini tiada gunanya jika tak disosialisasikan,” urainya.
Sementara Luh Putu Anggreni membagi sejumlah usulan yang akan dibahas dalam komisi perlindungan anak di desa pakraman ini adalah terkait peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Misalnya mendorong MUDP membuat contoh perarem atau awig-awig (aturan adat) untuk usia minimal perkawinan 18 tahun, pendidikan pra nikah (menuju grahasta asrama), dan perlindungan anak berhadapan dengan hukum. “Kita harap disepakati soal ini, bagaimana desa adat bersikap pada masalah-masalah seperti ini, bagaimana panduannya,” urai perempuan yang saat ini menjadi Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Denpasar ini.
Kehadiran dan partisipasi perempuan dalam lembaga majelis adat menurut para perempuan ini sangat strategis untuk mendorong sejumlah keputusan populis seperti hasil putusan rapat akbar atau Pesamuhan Agung MUDP Bali 2010 lalu. Saat itu MUDP Bali dalam salah satu keputusannya menyatakan bagian hak waris untuk perempuan, pernikahan mengikuti keluarga perempuan (nyentana) dan pernikahan dengan hak kewajiban setara antara pihak laki dan perempuan (pada gelahang).
Dampak putusan pada 2010 itu menurut Suwena sangat positif karena ada yang mengadopsi dalam kebijakan desa atau menambah perspektif saat ada sengketa penikahan atau perceraian. “Sangat diterima positif, walau masih banyak yang belum menggunakan. Ini sepanjang masyarakat menghendaki, kita tak bisa paksakan,” katanya soal kekuatan putusan Pesamuhan Agung MUDP ini untuk 1493 desa adat/pakraman yang tercatat saat ini di Bali.
Sifatnya imbauan dan rekomendasi. Kalau sama sekali tak ada aturannya, harus digunakan sebagai pedoman termasuk warisan. Ia menyontohkan di Tabanan ada kawin antar kasta, tapi kasta brahmana di pihak calon istri. “Ini bentuk emansipasi perempuan ngajak laki ke rumah diberi status yang sama dengan perempuan,” ujarnya soal kasus yang akhirnya berujung kesepakatan bersama antar keluarga ini.
Sementara untuk sengketa hak waris atau perceraian, pihaknya beberapa kali jadi saksi ahli untuk menjelaskan sesuai keputusan Pesamuhan MUDP.
Pesamuhan Agung berkewenangan mengambil dan menetapkan keputusan strategis terkait permasalahan adat dan hukum adat Bali. Sejumlah masukan dan pemetaan masalah penting yang dihadapi Desa Pakraman dan akan dibahas tahun ini adalah pelaksanaan program tahunan Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, eksistensi Desa Pakraman setelah adanya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, kedudukan MDP dan pendanaannya, kualitas pengurus Desa Pakraman, subjek hukum atas tanah, dan perlindungan anak.
Riniti Rahayu mengakui tak mudah mendorong desa-desa atau MDP di tingkat kabupaten dan kecamatan segera mengadopsi hasil putusan Pesamuhan ke dalam aturan adat masing-masing karena memiliki otonomi desa. Pihaknya bersama sejumlah LSM seperti LBH APIK dan pegiat perlindungan perempuan lain kerap membuat workshop dan sosialisasi soal putusan sebelumnya. Putusan ini dinilai cukup progresif sebagai jalan untuk kesetaraan dan keadilan bagi perempuan Bali dalam hak dan kewajiban adatnya.
Misalnya pada sebuah workshop khusus soal hak perempuan ini oleh LSM pada 2015 di Denpasar, AA Sudiana, nayaka atau staf ahli MUDP Bali mengatakan memang ada pimpinan desa adat yang mungkin belum sreg dengan putusan ini namun secara resmi sudah menjadi kesepakatan bersama. “Ini putusan yang responsive HAM dan kesetaraan gender, tapi kenyataannya masih ada subordinasi dalam konstruksi budaya, menganggap perempuan pengekor,” katanya.
Ia mengingatkan Kitab Manawa Dharmasastra menyebutkan sangat jelas perempuan sangat dimuliakan dan dihormati. “Di mana wanita dihormati, di sanalah para dewa merasa senang, tak dihormati tak ada upacara suci apa pun yang berpahala,” kutipnya.
Salah satu kesadaran yang belum sepenuhnya muncul di pengurus desa pekraman adalah adat yang difungsikan tak responsive gender. “Keturunan kapurusa (patrilineal) dikonstruksi sebagai laki-laki padahal maknanya tentang kewajiban. Konsekuensinya, hanya laki-laki yang dianggap bisa bertanggungjawab secara adat dan agama. Ia menegaskan bisa saja status kapurusa ini perempuan kalau statusnya sentana rajeg,” jelasnya. Artinya perempuan juga berhak bertanggungjawab dalam hubungan dengan tempat suci (parahyangan), kekerabatan (pawongan), dan palemahan atau pengelolaan aset. Kecuali perempuan ninggal kedaton penuh atau menikah dan berganti agama.
Menurutnya tak sedikit kearifan lokal yang bisa jadi pertimbangan untuk distribusi waris secara adil ini. Misalnya paras paros atau kebersamaan dalam hak dan kewajiban, prinsip asih, asah, asuh dan sesana manut linggih atau hak sesuai kedudukan yang dimiliki.
Keputusan MUDP pada 15 Oktober 2010, menyatakan sejumlah hal dalam kedudukan perempuan dalam perkawinan dan pewarisan. Di antaranya suami istri dan saudara laki-laki mempunyai kedudukan yang sama untuk jamin anak dan cucunya untuk memelihara termasuk kekayaan imateriil seperti pura. Punya hak yang sama terhadap hak guna kaya. Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya/gono-gini.
Anak kandung dan angkat baik laki atau perempuan yang belum kawin punya kedudukan yang sama terhadap gunkaya orang tuanya. Berhak atas harta gunaya setelah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah atau harta bersama.
Yang belum bisa diimplementasikan secara formal di antaranya anak yang mengikuti keluarga bapaknya (kapurusa) berhak atas satu bagian waris dan yang berstatus predana (mengikuti keluarga perempuan) berhak setengah bagian. Anak yang kawin dan pindah agama tak berhak atas harta warisan namun dapat diberikan bekal atau gunakaya oleh orangtuanya.
Kemudian putusan soal status perkawinan juga memberikan jalan tengah. Di antaranya upacara patiwangi (karena turun kasta/nyerod) tak boleh lagi dilaksanakan karena merugikan perempuan. Jika kedua mempelai ingin punya status kapurusa dan predana yang sama bisa melaksanakan dengan status pada gelahang dengan dasar kesepakatan bersama. Ini biasanya terjadi jika tak bisa nyentana. Desa Kekeran, Tabanan adalah salah satu desa yang sangat terbuka dengan model pada gelahang seperti ini.
Keputusan dalam perceraian juga dibuat. Misalnya bila bercerai bisa kembali ke rumah dengan status mulih daa/teruna (remaja) dan dapat melakukan swadarma dan haknya seperti biasa.
Comments 1