Hutan di Ubud ini seperti tak pernah sepi.
Pukul 11 menjelang siang hari, hutan Desa Padangtegal, Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Gianyar terlihat ramai. Beberapa kendaraan bermotor berhenti di area parkir kawasan wisata bernama Monkey Forest. Mereka adalah pengunjung Monkey Forest.
Di dekat areal pintu masuk, Wayan Sumitra dan beberapa rekan kerjanya nampak sibuk merapikan adukan tanah yang barusan ia gali. Sumitra baru saja menanam beberapa bibit pohon gaharu. Bibit-bibit ini sengaja ditanam di dekat areal pintu masuk agar jauh dari kawasan yang banyak monyet.
“Sebelumnya biasa kami tanam di areal yang agak ke dalam, tetapi banyak monyet yang usil. Bibit-bibit tanaman ini dicabut. Akhirnya kami putuskan untuk menanamnya di areal yang agak jauh dari kawanan monyet,” ujar Sumitra salah seorang pegawai bagian konservasi sembari menggali tanah untuk ditanami lagi.
Kawasan Monkey Forest merupakan habitat bagi 678 ekor monyet. Monyet dengan nama latin Macaca fascicularis ini tersebar di seluruh Asia Tenggara, termasuk Bali. Warga setempat menyebut monyet ini dengan istilah bojog. Memiliki ekor yang panjang, kepalanya berjambul.
Keberadaan monyet dan lokasi hutan yang di tengah hiruk pikuk kota membuat Monkey Forest menjadi tempat wisata unik.
Pengunjung datang dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut data resmi Badan Pengelola Mandala Suci Wenara Wana Monkey Forest, tahun 2013 sebanyak 257.301 pengunjung yang datang, tahun 2014 sebanyak 296.817 pengunjung, dan tahun 2015 mencapai 383.803 pengunjung.
Awalnya, sekitar abad ke-11 Monkey Forest adalah hutan untuk areal berburu bagi keluarga kerajaan. Sebagai daya tarik wisata, Monkey Forest baru dikunjungi turis tahun 1970, atas inisiatif anak-anak muda yang mengantar turis sehabis dari pasar Ubud. Kemudian pada tahun 1989 dibentuk pengelolaan yang merupakan cikal bakal Badan Pengelola Mandala Suci Wenara Wana Monkey Forest.
Lokasi
Monkey Forest terletak di pusat keramaian Ubud. Jika berangkat dari Denpasar dibutuhkan waktu satu jam menggunakan kendaraan bermotor untuk mencapai lokasi Monkey Forest.
Di areal sentral poin terlihat keriuhan pengunjung dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang berfoto dengan monyet bergelantungan di tubuhnya, memberi makan monyet, membaca papan lokasi, atau hanya sekadar menikmati pemandangan.
Salah satu pengunjung itu adalah Gung Rai. Pemuda asal Ubud ini mengaku sudah tiga kali berkunjung ke Monkey Forest. “Saya suka suasananya di sini, karena udaranya yang sejuk dan kehadiran monyet-monyetnya yang suka bikin kaget,” ujar Rai.
Bagi masyarakat Padangtegal keberadaan monyet ini sakral karena berada di areal pura yang disucikan. Di kawasan Monkey Forest terdapat 3 pura. Pura yang pertrama yaitu Pura Dalem Agung, terletak di bagian barat daya. Pura yang kedua adalah Pura Beji yang terletak di bagian barat laut. Kemudian di sebelah timur laut ada Pura Prajapati.
Monkey Forest yang juga merupakan kawasan hutan konservasi, di dalamnya terdapat 63 jenis tumbuhan yang tercatat. Salah satunya adalah pohon beringin. Pohon beringin yang akarnya menggelayut di atas jembatan menjadi salah satu spot favorit wisatawan untuk berfoto.
Oleh karena kesakralan tersebut, tiap enam bulan sekali warga desa Padangtegal melakukan penghormatan pada monyet melalui upacara Tumpak Kandang.
Perawatan tumbuhan, perawatan monyet, penanaman pohon, perluasan hutan untuk ruang gerak monyet yang semakin banyak juga dilakukan. Monyet diberikan makan tiga kali dalam sehari dengan ketela rambat atau pisang, dan pepaya dua kali sebulan.
Untuk mengimbangi populasi monyet yang semakin banyak, dilakukan perluasan hutan dengan membeli lahan warga. Dari 8 hektar, 12,5 hektar, kemudian menjadi 15,8 hektar.
Manfaat Sosial
“Keberadaan monyet-monyet ini juga berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi warga,” ujar Nyoman Buana, manajer Badan Pengelola Mandala Suci Wenara Wana Monkey Forest pada suatu sesi wawancara.
Kehadiran tempat wisata Monkey Forest ini membuka peluang kerja dan usaha bagi masyarakat Padangtegal sendiri. Selain Wayan Sumitra tadi, ada juga Pande, pegawai Monkey Forest di bidang pengadaan.
“Saya sudah bekerja sejak 17 tahun lalu hingga sekarang, dan mungkin belasan tahun kedepan. Dengan bekerja di sini saya mampu menghidupi keluarga saya,” ujar Pande.
Berdasarkan keterangan Buana, pegawai Monkey Forest memang hanya diperuntukkan bagi warga Padangtegal atau mantan warga Padangtegal sebagai upaya pemberian mata pencaharian bagi masyarakat sekitar.
Terdapat 93 pegawai yang bekerja di Monkey Forest. 91 pegawai tetap dan 2 pegawai kontrak.
Manfaat lain yang diberikan Monkey Forest ini adalah pada aspek agama dan pendidikan. Hasil yang diperoleh dari daya tarik wisata kemudian digunakan untuk pembiayaan berbagai upacara keagamaan, seperti ngaben masal, pembangunan ataupun perawatan pura.
Pada aspek pendidikan, hutan ini memberikan kesempatan bagi sejumlah pelajar desa Pakraman yang berasal dari keluarga tidak mampu untuk melanjutkan sekolah atau studinya.
“Semuanya ditanggung. Khususnya yang mau mengambil kedokteran hewan atau kehutanan. Karena setelah lulus nanti akan kami rekrut menjadi staf Monkey Forest,” ujar Buana.
Transparan dalam Pengelolaan
Pada umumnya hutan konservasi dikelola oleh pemerintah. Lain halnya dengan hutan di Ubud ini, sebagai hutan konservasi, Desa Padangtegal diberikan otoritas penuh oleh pemerintah untuk mengelolanya.
“Dengan manfaat sedemikian banyaknya yang sudah kami terima, saya dan warga sini merasa memiliki tanggung jawab bersama dalam mengelola hutan ini,” ujar Buana.
Bentuk tanggung jawab dalam pengelolaan ini diwujudkan melalui memberikan laporan keuangan tiga bulan sekali kepada lembaga pengawas keuangan desa Bage Panurikse (BPK) yang terdapat di dalam struktur organisasi desa.
Selain itu, setiap bulan pengelola juga melakukan laporan pertanggung jawaban tertulis kepada Bendesa. Laporan ini berisi pemasukan yang didapat, pengeluaran yang digunakan, dan jumlah setoran ke desa. Kemudian laporan-laporan inilah yang kemudian dibacakan oleh Bendesa di hadapan warga Padangtegal saat Paruman Agung setiap bulan Februari.
“Pengelolaan bersama Monkey Forest dengan baik merupakan cara kami agar dapat mewariskan hutan ini ke generasi selanjutnya dalam keadaan lebih baik,” ujar Buana.
Catatan: artikel ini dibuat sebagai bagian dari praktik liputan dan penulisan dalam Workshop Jurnalisme Warga Antikorupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bali pada 11-13 November 2016.
wah… keren banget mas punya pengalaman semenarik itu. jadi iri ..mudah mudahan menjadi investasi negara indonesia dimasa depan nanti….