Bali sering disanjung sebagai pulau istimewa di mata dunia.
Bahkan baru-baru ini Bali dinobatkan sebagai pulau destinasi wisata terbaik nomor dua di dunia dari majalah Travel + Leisure yang bermarkas di New York, Amerika Serikat.
Sanjungan-sanjungan ini terkadang daya fantasinya sangat kuat, membuat bangga mengawang-awang meskipun realitas di lapangan tak seindah sanjungan itu. Dengan mata telanjang kita bisa melihat sawah semakin punah, hutan amblas, dan krisis air merongrong di beberapa tempat di pulau ini. Belum lagi persoalan hidup, dari masalah biaya makan, sekolah anak, dan upacara yang terus membumbung tinggi.
Pertanyaan muncul. Mengapa Bali masih tetap istimewa di mata penyanjung padahal realitas Bali sangat terasa compang-camping bagi masyarakatnya? Apakah para penyanjung Bali sebagai pulau wisata terbaik di muka bumi itu tak pernah melihat kenyataan pahit di lapangan, atau tak mau melihat?
Kalau para penyanjung Bali itu tak pernah melihat atau merasakan kondisi compang-camping itu, maka kita bisa menduga-duga. Barangkali ketika mereka di Bali, para penyanjung itu selalu berada dalam ruang-ruang nyaman, seperti hotel, villa, dan sering ditemani guide yang selalu berkisah tentang indahnya Bali. Wajar saja Bali akan tampak indah jika mereka para penyanjung tak pernah diarahkan matanya melihat proses bagaimana sawah-sawah tergusur menjadi hotel dan vila mewah tempat para penyanjung ini bersantai-santai menghilangkan penat.
Harap dimaklumi jika para penyanjung ini mengklaim Bali paling istimewa karena tak tahu bahwa air kolam renang tempat mereka berendam bersumber dari diskriminasi air tanah oleh negara, yang mementingkan kolam renang wisatawan daripada bak mandi warganya.
Barangkali para penyanjung bisa berubah penilaian tentang makna tradisi, jika kita ajak mereka melihat bagaimana ritus-ritus di Bali tak sedikit modalnya dari jual sawah. Atau bagaimana tradisi Bali yang terlihat kolektif di mata penyanjung ternyata juga menyimpan hierarki-hierarki.
Misalnya tradisi patriarki yang mendiskriminasikan perempuan masih lestari, pengajegan kasta yang bisa berujung pengasingan bagi sanak keluarga yang menikah beda kasta ataupun agama, serta pengkulutusan senioritas yang menuntut para junior tunduk terhadap para senior.
Kalau para penyanjung itu tak mau melihat yang ruwet-ruwet, maka sekali lagi itu wajar karena mereka wisatawan yang secara sadar ingin santai, menghilangkan penat, atau ingin jeda dari keruwetan hidup mereka. Jika para penyanjung itu melihat Bali sebagai obat pelarian dari keruwetan hidup, bisa kita simpulkan bahwa pariwisata Bali mampu menghadirkan obat pelarian dari keruwetan dengan menghadirkan hal-hal tak meruwetkan para penyanjung.
Tak mungkin kita menyodorkan kisah-kisah ruwet atau pemandangan-pemandangan ruwet di Bali kepada manusia yang ingin menjeda diri dari keruwetan hidupnya. Kalau ini terjadi bisa jadi daya magis pariwisata Bali bisa redup.
Manusia yang dibesarkan pariwisata seringkali terkondisikan untuk memperlakukan wisatawan bagaikan dewa-dewi pemberi napas kehidupan. Dengan seketika tubuh manusia Bali bereaksi lewat senyum jika bertemu wisatawan manca negara. Oleh karena itu cerita orang Bali murah senyum melegenda di dunia.
Padahal senyum itu tak ditujukan kepada semua orang. Jika berhadapan dengan penduduk pendatang, kadang bukan senyum yang muncul namun sifat angkuh.
Politik pembangunan pariwisata memaksa Bali untuk selalu menjadi panggung pertunjukan untuk memuaskan para penonton yaitu wisatawan. Karena Bali panggung teater maka sanjungan itu tidak berkaitan dengan realitas Bali secara keseluruhan, yang mencakup bobrok-bobroknya Bali.
Tak mungkin misalnya sejarah pembantaian pada 1965-1966 menjadi paket wisata. Sebab, kisah ini bisa membuat stereotipe manusia Bali sebagai manusia polos bisa ambrol. Jika melihat sejarah kelam ini kita akan melihat manusia murah senyum itu juga sigap membunuh.
Oleh sebab itu Bali yang hadir di hadapan penyanjung adalah Bali yang sudah diedit, dipermak sedemikan rupa oleh Sang Hyang Pariwisata agar Bali terlihat seperti surga.
Tentu akan menjadi salah kaprah jika Bali hasil edit ini kita klaim sebagai apa itu Bali itu. Sebab Bali hasil editan adalah produk penyangkalan. Jika kita mengikuti penjabaran di atas maka penghargaan dan apesiasi terhadap Bali adalah penanda sebuah prestasi terhadap kepiawaian Bali berpentas, bersandiwara, dan berteater.
Bali mampu tampil bagaikan surga damai hingga meredam kemunculan realitas horor tentang Bali ke hadapan penyanjung, bahkan dianggap tak mungkin ada.
Sepertinya leluhur kita bukan lagi petani tetapi aktor-aktor yang piawai berakting. Buktinya pura subak tanpa sawah bukan hal aneh lagi di pulau ini. Upacaranya terus berkumandang, namun sawahnya entah ke mana.
Sanjungan juga bisa menuai petaka karena baunya begitu lezat, mampu mengundang rasa lapar para rakus untuk melahap setahap demi setahap tanah air Bali untuk dijadikan istana megah bagi para penyanjung.
Anyway, tulisannya cukup sekian dulu, basang layah puk… [b]
Bangga Bali dinobatkan sebagai pulau destinasi wisata terbaik nomor dua di dunia.
Maju terus pariwisata Indoensia