Diam-diam saya malu sendiri melihat mereka bekerja.
Ketut Alit Ariana dan Ketut Darma harus berdiri dengan salah satu kaki palsu. Namun, mereka bekerja jauh lebih tangguh dibandingkan saya. Padahal, biasanya, orang-orang seperti saya merasa lebih kuat dibanding mereka, para difabel.
Nyatanya, anggapan itu salah. Setidaknya ketika kami bertemu Alit, Darma, Made, dan difabel lainnya di Karangasem, Sabtu akhir Mei lalu.
Hari itu, mereka bekerja gotong royong untuk membangun dan merenovasi rumah Nyoman Ngantig, warga Desa Ababi, Kecamatan Abang, Karangasem. Dengan sebagian anggota tubuh, bagi orang lain, adalah cacat, mereka bisa mengerjakan hampir semua jenis pekerjaan.
Alit dan Darma, misalnya. Keduanya menghaluskan dinding untuk kemudian mengecat. Darma, dengan kaki kanan palsu dari semacam batangan besi, mampu duduk bersimpuh ketika mengecat. Sedangkan Alit, dengan kaki kiri palsu dari kayu, berdiri di atas tangga besi.
Made Gunung, difabel lainnya, mengaduk cat berwarna hijau. Setelah cat siap, dia masukkan ember dan mengangkat ember tersebut dengan tangan kirinya yang tanpa buku tangan maupun jari-jari.
Usai mengecat, mereka pindah ke tempat lain. Kali Alit mengaduk pasir, semen, dan air untuk membangun septic tank.
Ketut Santosa, difabel lain, membawa hasil adukan tersebut dengan kursi rodanya. Dia membawanya ke tempat pembuatan septic tank berjarak sekitar 15 meter dari tempat mereka mengaduk semen.
Rumah Ngantig yang dikelilingi rimbun pepohonan di desa itu pun terasa hiruk oleh pekerjaan membangun rumah mereka. Bangunan baru di depan kamar utama sudah berdiri dengan warna dinding hijau cerah.
Di salah satu kamar, Luh Sanak, istri Ngantig, mengurus dua anaknya yang juga difabel, Gede Jati Suardana dan Ketut Nonik. Dua anak berumur 10 dan 8 tahun itu lumpuh kakinya. Mereka hanya tidur di kasur tipis dengan seprai bergambar bendera Amerika Serikat.
Saling Membantu
Keluarga Ngantig merupakan salah satu penerima program Bukan Bedah Rumah Biasa. Yayasan Puspadi Bali, lembaga pendamping difabel di Bali, melaksanakan program ini sejak awal Mei lalu.
Made Gunung, Koordinator Lapangan Puspadi Bali, mengatakan inisiatif untuk merenovasi rumah difabel sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun lalu. Waktu itu hanya satu rumah. Begitu renovasi itu diunggah ke media sosial, ternyata banyak yang merespon dan mendukung.
Maka, tahun ini, mereka pun menggalang dukungan khusus untuk program bedah rumah difabel. “Ternyata makin banyak yang mendukung,” kata Made sambil mengecat rumah pagi itu.
Biaya renovasi tiap rumah antara Rp 20 juta hingga Rp 30 juta. Semua diperoleh dari donatur.
Hingga saat ini mereka sudah merenovasi empat rumah. Semuanya berada di desa-desa dengan akses yang memang tidak layak untuk difabel.
Menurut Made, renovasi rumah difabel bertujuan untuk mewujudkan rumah lebih ramah difabel. Selama ini, dia melanjutkan, masih banyak rumah yang tidak ramah untuk difabel di Bali, terutama para pengguna kursi roda.
Misalnya, tidak ada ramp, jalur khusus untuk kursi roda. Belum ada kamar mandi layak untuk penghuni. Juga pintu-pintu maupun kamar-kamar belum sesuai kebutuhan difabel.
Puspadi Bali mendapatkan informasi rumah-rumah tak ramah difabel itu melalui para petugas lapangan, seperti Alit dan Darma. Mereka berkunjung ke desa-desa maupun ke kecamatan untuk mencari klien, melihat kebutuhan, kemudian membantu sesuai kebutuhan.
Petugas lapangan melakukan sinkronisasi data, melihat apa saja kebutuhan difabel terutama untuk kelayakan rumah. Misalnya apakah bisa untuk kursi roda bagi pengguna kursi roda, apakah mudah pergerakan dari satu tempat ke tempat lain, apakah kamar mandi layak, dan seterusnya.
Setelah itu para petugas lapangan merenovasi atau bahkan membangun kamar baru di rumah penerima bantuan, seperti halnya di rumah Ngantig. Di sana mereka membangun rumah baru dan kamar mandi.
Standar
Difabel lain yang mendapat bantuan dari Yayasan Puspadi Bali untuk merenovasi rumah adalah Nyoman Srinawan di Desa Pidpid, Kecamatan Abang.
Hari itu, setelah makan siang, para pekerja lapangan Puspadi Bali menuju rumah Srinawan. Jaraknya sekitar 10 km dari rumah Ngantig. Para petugas lapangan dengan kaki palsunya naik sepeda motor ke rumah Srinawan yang berada di pedalaman dan jalan tanah penuh lubang.
Mereka membuatkan bangunan baru di rumah Srinawan. Hari itu tinggal mengecat. Bangunan persis di depan rumah lama Srinawan itu terdiri dari tiga kamar termasuk dapur dan kamar mandi. Puspadi membuatkan ramp untuk Srinawan yang menggunakan kursi roda.
Menurut Made Gunung, ada beberapa standar rumah ramah difabel. Ramp untuk pengguna kursi roda hanya salah satunya. Standar lain adalah pintu geser dengan lebar minimal 80 cm agar kursi roda bisa keluar masuk dengan leluasa.
Pintu rumah atau kamar boleh saja menggunakan engsel seperti di rumah pada umumnya. Namun tetap harus memperhitungkan agar ketika didorong tetap memudahkan difabel.
Di kamar mandi, luas ruangan harus memungkinkan pengguna kursi roda untuk memutar kursinya di ruangan. Harus sesuai, misalnya, jarak antara dinding dengan kloset.
Begitu pula dengan dapur. Harus diperhatikan agar tinggi meja memasak di dapur bisa dijangkau dengan mudah oleh difabel. Dengan begitu, mereka bisa memasak sendiri meskipun duduk di kursi roda.
Karena dikerjakan oleh sesama difabel, standar tersebut sudah semacam jadi panduan bagi mereka yang mengerjakan. Hasilnya, sejauh yang saya lihat, ada di rumah Ngantig dan Srinawan. Rumah nyaman dan lebih ramah untuk para difabel penghuninya.
Namun, bagi mereka, tak sekadar rumah ramah difabel yang mereka ingin wujudkan tapi juga kepedulian dan dukungan sesama difabel.
“Kami ingin sekaligus mendukung dan memotivasi sesama difabel. Caranya dengan membuktikan langsung ke mereka bahwa semua bisa,” kata Alit.
Bagi saya, mereka seperti membawa pesan bahwa keterbatasan bukanlah di badan tapi di pikiran. Mereka melampaui batas-batas yang bagi banyak orang sering dianggap sebagai masalah. [b]
Comments 1