Pembuatan ogoh-ogoh dengan gabus mulai dilarang tahun ini.
Semoga larangan penggunaan musik disko ala kafe dalam mengiringi arak-arakan ogoh-ogoh juga dikeluarkan. Ritual pangerupukan seharusnya diiringi gamelan, bukan musik dugem.
Pelarangan penggunaan gabus (styrofoam) untuk bahan dasar pembuatan ogoh-ogoh mulai ditegaskan pada 2015. Alasannya karena gabus tidak ramah lingkungan. Sebagian orang menyebut styrofoam mengandung bahan beracun.
Ogoh-ogoh adalah patung-patung raksasa simbol buta kala (kekuatan destruktif) yang diarak keliling desa sebagai ritual mengusir atau mempasifkan kekuatan roh jahat. Acara pengarakan yang dikenal dengan ritual pangerupukan itu dilaksanakan sehari menjelang Hari Suci Nyepi, tahun baru Icaka bagi umat Hindu.
Sepi menjadi lebih berarti jika diawali dengan pengerupukan yang riuh-rendah.
Tradisi Baru
Kebiasaan membuat ogoh-ogoh adalah tradisi baru yang mulai semarak pada pertengahan 1980-an. Waktu itu, organisasi pemuda-pemudi di tingkat banjar di kota Denpasar membuat ogoh-ogoh dan mengaraknya keliling kota.
Di luar kota Denpasar, jarang ada yang membuat hal seperti itu. Warga Padangsambian Denpasar Barat yang hanya 4 km di luar kota, misalnya, justru datang ke kota menonton ogoh-ogoh.
Acara penyucian wilayah atau membuat kekuatan jahat menjadi pasif dilakukan dengan mengiring petapakan seperti barong atau rangda di pura masing-masing. Pengiringnya pun gamelan, bukan musik disko ala kafe. Warga yang ikut dalam arak-arakan itu berjalan khidmat sekhidmat kalau mereka bersembahyang.
Tradisi baru pembuatan ogoh-ogoh dan mengaraknya berkembang pesat. Ada seni dalam proses pembuatan, dan pengarakannya. Masyarakat Bali menyambut baik hadirnya tradisi baru ini. Tradisi baru ini umumnya dianggap bermula tahun 1983, tak berselang jauh sejak ditetapkannya hari Nyepi sebagai libur nasional.
Sebelum itu, hari Nyepi hanya menjadi libur di lokal Bali. Secara sporadis, ogoh-oogoh sudah ada sejak lama, namun kian semarak sebagai budaya baru sejak akhir 1980-an. Pesta Kesenian Bali sering menampilkan ogoh-ogoh dalam pawai kesenian, tanda seni bahwa ogoh-ogoh bukan saja ihwal dalam adat dan agama, tetapi sudah menyatu dalam kehidupan seni budaya Bali secara umum.
Pengarakan ogoh-ogoh berlangsung semarak dari tahun ke tahun. Kreativitas warga dalam membuat ogoh-ogoh berwajah seram seperti raksasa kian tampak. Tahun 2003, ada ogoh-ogoh Amrozi di Sanur. Teroris itu dianggap kekuatan jahat yang harus dimusnahkan, dipasifkan, istilah yang sering dipakai adalah di-somya-kan, ditenangkan, dihilangkan, atau dilenyapkan.
Pernah juga ada ogoh-ogoh Inul penyanyi yang saat itu terkenal karena goyangan ngebor-nya. Unsur fun, jenaka, sering juga mewarnai wajah atau bentuk ogoh-ogoh.
Usai diarak, ogoh-ogoh biasanya dibakar, di ujung desa atau dekat kuburan. Namun, karena bentuk ogoh-ogoh begitu indah, kasihan dibakar begitu saja, akhirnya dibiarkan hancur diterpa panas atau diguyur hujan.
Gabus Kian Populer
Sejak 2011, penggunaan gabus untuk ogoh-ogoh kian banyak dan populer. Alasannya, gabus relatif gampang dibentuk dalam pembuatan ogoh-ogoh. Sebelumnya, pembuatan wajah ogoh-ogoh dan bagian lainnya menggunakan kerangka bambu dan luluh kertas koran. Ogoh-ogoh dari gabus konon sulit dibakar, kalau dibakar efek pembakarannya dianggap berbahaya.
Pemerintah Kota Denpasar menerapkan larangan penggunaan gabus untuk pembuatan ogoh-ogoh lewat lomba. Dalam kriteria lomba disebutkan ogoh-ogoh dibuat dengan bahan tradisional dan ramah lingkungan. Tidak boleh menggunakan gabus.
Dengan menggunakan bambu, uji skill estetik pembuatnya lebih teruji. Kalau pakai gabus, relatif mudah, kalau pakai bambu relatif sulit. Dalam sulit itulah pencapaian estetik lebih sejati.
Selain bahan gabus, kriteria lomba juga menyebutkan ukuran atgau tinggi ogoh-ogoh. Peserta lomba yang tidak memenuhi syarat, dinyatakan gugur. Jumlah ogoh-ogoh yang ikut serta dalam seleksi di Kota Denpasar adalah 129, namun hanya 23 buah yang masuk kriteria lolos nominasi.
Pemberitaan di media massa cukup efektif menyebarluaskan pencegahan penggunaan gabus. Hal ini bisa dilihat dari merosotnya penjualan gabus menjelang hari pangerupukan yang memerlukan ogoh-ogoh.
Merosotnya penjualan gabus terungkap dalam berita Denpost (20/3/2015). Diberitakan bahwa Tutik, penyedia styrofoam di Jalan Nakula mengatakan penjualan gabusnya mengalami penurunan hingga 40 persen dibanding tahun lalu. Satu bal styrofoam yang berukuran 1m x 2m dengan tebal 50 cm dijual dengan harga Rp 700 ribu sampai dengan Rp 800 ribu.
Tutik mengungkapkan, pembuatan ogoh-ogoh dengan menggunakan styrofoam lebih banyak peminatnya dibandingkan dengan spon.
Biaya membuat ogoh-ogoh memang tidak sedikit. Seka Teruna Teruni Banjar Taman Sanur yang tahun 2015 membuat ogoh-ogoh anjing raksasa berdasi (merah putih) menghabiskan dana Rp 15 juta (Radar Bali, 20 Maret 2015, hl. 1).
Penggarapan dilakukan selama sebulan. Bentuk anjing berdasi dipilih sebagai simbol baru koruptor yang tak malu-malu lagi mengembat uang rakyat. Dulu tikus biasanya dijadikan lambang korupsi. Lambang tikus hanya cocok buat koruptor yang diam-diam, namun yang lebih terang-terangan kiranya dilambangkan dengan anjing serakah.
Musik Keras
Kreativitas pembuatan ogoh-ogoh makin lama makin melampaui batas, termasuk dalam arak-arakannya.
Banyak ogoh-ogoh dilengkapi sound system yang canggih plus genset penghasil listrik untuk menghidupkan sound system dan lampu kelap-kelip.
Pemakaian piranti tata suara khusus agar mendapat efek suara menggelegar itu memerlukan biaya juga. Paling tidak untuk sewa semua piranti itu bisa habis Rp 2 juta. Anak-anak pengiring hanya mengambil gampangnya, mereka tak mau bersusah-susah main gamelan.
Kalau mereka tidak mempunyai perangkat gong, boleh saja sound system digunakan, tapi sebaiknya lewat sound system itu yang dimainkan adalah gamelan Bali.
Arak-arakan ogoh-ogoh lazim dilakukan petang hari, sekitar pukul 18.00 ke atas, namun banyak kelompok yang sudah memainkan musik keras, baik heavy metal, rock, ataupun disko dengan keras-keras mulai tengah hari.
Malam hari, ketika mengarak keliling desa, mereka juga memainkan musik modern yang memekakkan telinga. Sungguh tidak nyambung dengan suasana ritual ala tradisi Bali yang merupakan jiwa dari pangerupukan.
Mestinya iringan itu menggunakan gamelan Bali seperti baleganjur atau gong.
Pemakaian gong bukannya tidak ada sama sekali, hanya saja jumlahnya hampir dilampaui jumlah pemakai sound system dengan memainkan musik modern. Idealnya penggunaan musik modern dilarang, sepenuhnya menggunakan gamelan Bali, seperti melarang penggunaan pembuatan ogoh-ogoh gabus.
Unsur ritual Bali terasa hilang jika ogoh-ogoh diiringi musik rock. Yang terasa hanya hura-hura, tak beda dengan kampanye partai atau pawai pembangunan di luar Bali.
Jika hendak meneruskan tradisi ritual pangerupukan untuk mengusir atau menenangkan kekuatan jahat, sebaiknya menggunakan gamelan Bali. Dengan gamelan Bali, segalanya lebih pas. [b]
Sumber Dasar Bali dengan sedikit penyuntingan.
iya sih kalau musiknya berubah ya unsur balinya hilang sebab menurutku musik itu pembungkus ritual ogoh², bukan sekadar pengiring.