Tiap tiga hari, terjadi satu kali kasus bunuh diri di Bali. Kenapa?
Kepada keluarganya, I Gusti Putu Karpica, 32 tahun, berpamitan hendak melakukan perjalanan spiritual (tirta yatra) keliling Bali. Tirta yatra biasa dilakukan umat Hindu Bali dengan mengunjungi beberapa pura di berbagai tempat.
Selain di Bali, tirta yatra sering dilakukan juga ke India, terutama di Sungai Gangga, yang bagi umat Hindu adalah keramat dan suci.
Namun, pada Jumat dua pekan lalu, tubuh Putu Karpica justru ditemukan tewas terbakar. Dia tak sendiri. Di kamar 221 Hotel Tower, Klungkung, pengusaha bengkel dan cuci mobil tersebut terbakar bersama istri dan tiga anaknya.
Klungkung berjarak sekitar 60 km dari Denpasar, ibu kota Provinsi Bali ke arah timur.
Berdasarkan otopsi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, kelima orang tersebut tewas akibat gas monoksida dari pembakaran. Petugas otopsi rumah sakit terbesar di Bali itu juga menemukan bau minyak tanah pada cairan di lambung mereka.
Menurut Kepala Forensik RSUP Sanglah Dudut Rustyadi, cairan itu biasa dipakai sebagai bahan pelarut racun serangga. Karena itu, dokter menduga, keluarga tersebut memang minum racun serangga sebelum terbakar.
Penyelidikan oleh polisi juga mendapatkan fakta sama. Tidak ada bekas luka di tubuh mereka. Karena itu, kuat dugaan, mereka atau setidaknya salah satu di antaranya, bunuh diri.
Ketika polisi masih mencari motif keluarga Karpica melakukan bunuh diri, peristiwa bunuh diri lainnya terjadi di kabupaten sebelah, Karangasem. Kali ini dilakukan pegawai Lembaga Perkreditan Desa (LPD) I Made Suarya, 31 tahun.
Metodenya kali ini dengan menggantungkan diri di daerah dekat Candi Dasa, magnet pariwisata Karangasem. Sebelum bunuh diri, Suarya sempat berkirim pesan pendek ke istrinya untuk meminta maaf dan berpamitan.
Nyaris tiap hari
Begitulah peristiwa bunuh diri di Bali terjadi bertubi-tubi. Nyaris tiap hari ada kejadian bunuh diri di Bali.
Hingga minggu ketiga Januari ini saja, menurut data lembaga penanganan kesehatan mental Suryani Institute, sudah terjadi 15 kasus bunuh diri di Bali, termasuk kasus keluarga Karpica di Klungkung dan Suarya di Karangasem.
Artinya, setiap minggu ada lima kasus. “Jika kita kalikan 52 minggu selama satu tahun, maka jumlah kasus tahun ini akan lebih dari 200. Itu akan memecahkan kasus tertinggi pada 2004 sebanyak 180 kasus,” kata Cokorda Bagus Jaya Lesmana, dokter spesialis kejiwaan yang juga peneliti Suryani Institute.
Menurut data, kasus bunuh diri di Bali memang cenderung terus bertambah dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data dari Polda Bali, sebagaimana ditulis Tribun News, selama 2014, terjadi 120 kasus bunuh diri. Artinya, hampir tiap tiga hari terjadi satu kasus bunuh diri. Jumlah kasus pada 2014 meningkat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya, 2013 dengan 95 kasus.
Menurut sumber lain, pada 2004 dan 2005, jumlah kasus bunuh diri juga kurang lebih sama, naik dari 124 kasus jadi 137 kasus. Sepuluh tahun terakhir, kasus terbesar terjadi pada 2008 yaitu 150 kasus. Setahun kemudian ada 147 kasus.
Angka-angka di atas tentu hanya angka di atas kertas. Angka sesungguhnya bisa jadi lebih banyak karena tak semua kasus bunuh diri dilaporkan ke polisi. Ada kecenderungan keluarga korban malu untuk melapor atau merasa tidak perlu.
Serupa kasus HIV dan AIDS, bunuh diri juga memiliki fenomena gunung es, kasus yang terlihat hanya puncak dari kasus sebenarnya.
Pelaku bunuh diri ini berasal dari beragam latar belakang. Tidak pandang bulu. Awal Januari lalu, pelaku bunuh diri malah anggota DPRD Denpasar, I Wayan Darsa, 48 tahun. Periode 2009-2014 lalu, Darsa malah menjadi Ketua DPRD Kota Denpasar dari Fraksi PDI Perjuangan.
Tidak ada yang tahu apa motif Darsa bunuh diri. Dia ditemukan sudah tak bernyawa dengan badan tergantung di rumahnya 10 Januari lalu. Darsa masih berpakaian adat lengkap layaknya mau sembahyang. Sepucuk bunga persembahan bahkan masih menempel di telinganya.
“Bunuh diri memang tak memandang tingkat pendidikan, status ekonomi, ataupun derajat sosial,” kata dokter Cok Bagus.
Darurat
Maraknya kasus bunuh diri di Bali terasa menjadi ironi ketika melihat pulau ini sebagai pusat pariwisata. Januari ini misalnya, majalah Budget Travel, memasukkan Bali sebagai salah satu tujuan wisata terbaik dunia bersama dengan Italia Utara, Great Barrier Reef di Australia, dan Istanbul di Turki.
Beragam penghargaan juga meneguhkan status Bali sebagai magnet wisata terbaik di dunia. Tapi, tidak bagi warganya.
Pariwisata yang mengangkat ekonomi Bali sejak 1960-an, pelan-pelan telah mengubah watak penghuninya. Menurut Cok Bagus, waktu luang bagi orang Bali pada awalnya adakah waktu untuk membangun hubungan baik. Saling mekedekan atau saling berbagi canda dan tawa.
Oleh pariwisata, waktu diubah menjadi nilai uang semata. Orang Bali makin individualis. Jika pada budaya agraris, masyarakat Bali lebih rileks, maka kini saling berkompetisi.
Oleh pariwisata, waktu diubah menjadi nilai uang semata. Orang Bali makin individualis. Jika pada budaya agraris, masyarakat Bali lebih rileks, maka kini saling berkompetisi. Mau tak mau, ini menjadi penekan terhadap maraknya kasus bunuh diri.
Tahun lalu, secara nasional Bali termasuk dalam lima wilayah dengan kasus bunuh diri paling banyak di Indonesia setelah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta.
“Maraknya bunuh diri di Bali sudah menunjukkan situasi gawat darurat,” Cok Bagus menambahkan.
Tapi, tekanan ekonomi sendiri hanya salah satu penyebab maraknya orang Bali bunuh diri. Doktes spesialis jiwa di Rumah Sakit Wangaya, Denpasar I Gusti Rai Putra Wiguna menyatakan penyebab orang Bali bunuh diri terdiri dari banyak faktor.
Dalam pandangan Gusti Rai, budaya masyarakat Bali memang berubah dari ikatan keluarga besar dan banjar menjadi keluarga kecil dan individualis. Jika dulu umumya tinggal dalam satu rumah besar bersama beberapa kepala keluarga, maka kini hanya tinggal dalam keluarga inti dan tidak terlalu terikat dengan banjar.
Memudarnya ikatan keluarga memicu maraknya bunuh diri di Bali. Namun, perlu juga dilihat pengalaman kekerasan masa kecil, riwayat pemakaian alkohol, maupun narkotika.
Penyebab lain orang bunuh diri adalah karena penyakit kronis, ekonomi susah, penyakit kejiwaan, serta tidak adanya komunikasi dengan keluarga.
“Selama ini yang terlihat di permukaan hanya pencetus yang kelihatan sepele. Misalnya, remaja bunuh diri hanya karena tidak dibelikan telepon seluler baru atau diejek temannya,” ujar Gusti Rai.
Terbesar di dunia
Melacak jejak sejarah, bunuh diri di Bali sebenarnya bukan hal baru. Puputan Badung, perang besar-besaran melawan penjajah kolonial Belanda pada 1906, disebut sebagai salah satu peristiwa bunuh diri massal yang pernah ada di Bali.
Ketika itu, pasukan Kerajaan Badung saling menusuk sesama temannya agar mereka tidak ditangkap Belanda yang akan menguasai istana di Denpasar itu.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa peristiwa itu menjadi salah satu bunuh diri massal terbesar di dunia.
Tapi, menurut Gus Rai, puputan termasuk bunuh diri altruistik, untuk kebaikan orang banyak. Hal itu secara budaya ada juga ada di daerah lain.
Selain puputan, pada zaman kerajaan Bali juga ada ritual mesatia. Ritual ini dilakukan seorang istri raja yang menceburkan diri ke api ketika suaminya dibakar berdasarkan tradisi Hindu Bali (ngaben). “Tapi (mesatia) dilakukan demi kesetiaan. Seiring kemajuan zaman dan pengetahuan tentu tidak bisa lagi dilakukan,” kata Cok Bagus.
Menurut ajaran Hindu Bali sendiri, bunuh diri termasuk ulah pati atau mati dengan cara salah. Dia termasuk dosa besar karena memaksa diri mencabut nyawanya.
Semula, mereka yang melakukan ulah pati atau purusaghna ini mendapat hukuman adat. Misalnya, tidak boleh dibawa pulang, tidak boleh diupacarai, dan dikubur layaknya binatang.
Sejak 1988, aturan adat itu telah dihapus karena dianggap tidak manusiawi. Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menetapkan bahwa mereka yang bunuh diri tetap harus dikubur layaknya meninggal wajar.
Pencegahan
Toh, menurut Cok Bagus, penerapan kembali hukum adat terhadap pelaku ulah pati dianggap bisa menekan maraknya bunuh diri di Bali. Upaya ini diimbangi dengan pendekatan secara adat kepada warga masing-masing.
Penerapan kembali hukum adat harus dilakukan bersamaan dengan upaya dari pemerintah, dinas kesehatan, serta keluarga. Pemerintah perlu ambil sikap tegas dengan menyatakan bahwa kondisi bunuh diri di Bali sudah gawat darurat. Jika dibiarkan saja, maka warga juga lama-lama akan menganggap kasus bunuh diri sebagai hal biasa.
Dinas Kesehatan perlu melakukan upaya-upaya preventif dengan kampanye dan sosialisasi dampak buruk bunuh diri. Selama ini, kata Cok Bagus, dinas kesehatan hanya menerima laporan jika ada kasus gagal bunuh diri. Mereka tidak mencegah dengan turun ke lapangan.
Terakhir tentu keluarga sebagai benteng terakhir. Dalam beberapa kasus bunuh diri yang gagal, biasanya karena ada campur tangan keluarga melalui hal-hal sederhana. Misalnya ada keluarga datang mengetuk pintu ketika calon pelaku sudah siap-siap di kamar mandi atau menelpon ketika pelaku sudah siap gantung diri.
“Perhatian dari keluarga sekecil apapun pada calon pelaku akan mengurangi niat mereka,” kata Cok Bagus. [b]
Memang sangat ironi jika di bali ini kasus bunuh diri malah tambah meningkat, apalagi di beberapa kasus si pelaku mengaku akan melakukan perjalanan spiritual atau saat selesai sembahyang. yang seharusnya pikiran mereka bisa lebih bersih dan jernih karena memiliki tujuan yang baik.
Sebaiknya apabila memiliki masalah, dibicarakan terlebih dahulu kepada keluarga atau kerabat karena beban masalah itu tidak akan dirasakan sendiri, itu akan terasa lebih bijak dilakukan daripada bunuh diri. Apalagi jika keluarga bisa memberikan jalan keluar dari masalah tersebut.
Mungkin sudah waktunya bicara tentang kesehatan jiwa, bukan hanya menghukum pelaku bunuh diri dan keluarga secara sosial tetapi mengakui bahwa masalah kesehatan jiwa itu nyata. There’s an explanation for “feeling unhappy when your life is ok”. Pernyataan pak Pastika yg heran ada orang bunuh diri padahal mereka tidak miskin2 amat menunjukkan betapa misleadingnya pengertian kita terhadap bunuh diri. It’s a disease that affecting your brain and it’s not a personality issue, bukan juga masalah religius atau tidak tapi masalah dukungan lingkungan. Ada sebuah penelitian menarik oleh dr Denny Thong sekitar tahun 1980 an yang menunjukkan bahwa orang Bali cenderung toleran terhadap gangguan psikotik tetapi less tolerant terhadap gangguan neurotik e.g depresi, anxietas dsb. jadi tingginya angka bunuh diri mungkin juga bisa dikaitkan dg sikap non tolerant ini mungkin?