Hari Minggu kemarin, saya menemukan fakta bahwa saya salah.
Saya pikir pengetahuan saya tentang Bali sudah cukup banyak karena saya mendapat kehormatan lahir dan besar di pulau ini. Ternyata saya salah.
Saya tidak tahu apapun tentang Nusa Penida, pulau yang hanya setengah jam jauhnya dengan fast boat. Jadilah selama dua hari, saya menjadi turis di pulau sendiri.
Nusa Penida mengingatkan saya dengan Ungasan di Kuta Selatan. Matahari terik membakar, tanah kering serta garis pantai yang muncul dan hilang di sepanjang perjalanan.
Bedanya, Nusa Penida tidak penuh dengan surfer setengah telanjang yang mengemudikan motornya dengan ugal-ugalan di jalan. Bedanya lagi, garis pantai yang membentang tidak habis dibangun untuk menjadi resort bintang lima ataupun beach club eksklusif yang hanya bisa diakses dengan uang.
Sungguh menyenangkan melihat bagian dari Bali yang masih apa adanya.
Wangi rumput laut baru dipanen dan dijemur mewarnai perjalanan mobil penuh goncangan. Tidak ada petunjuk jalan, apalagi penerangan. Kami mempercayakan nasib kami ke supir bertato full sleeve asal Desa Ped yang menyetir dengan tangkas dan dalam diam. Jelas ia menguasai betul medannya.
Pura Goa Giri Putri, menawan hati saya dengan misterinya. Bagaimana leluhur pada zaman entah kapan, bisa menemukan dan membangun tempat suci di dalam gua benar-benar di luar pemahaman saya. Pintu masuk goa ini begitu kecil namun melebar di dalam, hingga cukup untuk menampung 5.000 orang.
Perjalanan saya kali ini bagian dari Nusa Penida Festival.
Nusa Penida Festival, perayaan pesta kesenian untuk merayakan identitas Penida, Lembongan dan Ceningan; tengah berjalan dengan riuh saat saya kembali ke Sampalan. Beragam tarian, musik, kesenian tradisional, karya seni serta sajian kuliner khas diperkenalkan ke pengunjung festival.
“Turis” ini terperangah saat mencicipi nikmatnya pepesan rumput laut, memegang kain tenun agal yang diwarisi turun temurun dan tidak lagi diproduksi karena tidak ada yang tahu cara pembuatannya serta terharu saat melihat antusiasme warga dari tiga pulau untuk menyaksikan pesta kesenian yang menampilkan persembahan dari 16 desa mereka.
Acara berlanjut hingga tengah malam, lengkap dengan dangdut dan reggae. Riuh terdengar dari homestay tempat saya menginap. Tidak ada yang bisa saya perbuat malam itu. Tidak ada convenience store 24 jam untuk membeli bir dingin. Tidak ada akses internet dari provider apapun. Yang ada hanya suara tetesan air ke bak mandi yang harus terus dibuka agar ada cukup air untuk mandi besok pagi.
Sulit saya percaya bahwa setengah jam dari sini, ada akses shower dengan air panas dan WiFi. Sulit saya percaya, bahwa ini masih Bali. Sulit tapi menyenangkan karena untuk satu malam, yang bisa saya lakukan hanyalah bercakap dengan teman seperjalanan.
Suara kokok ayam dan sapu di halaman membangunkan saya dengan ajaib sebelum alarm di handphone berbunyi. Bersama teman seperjalanan dan iming-iming sate ikan, saya melangkah pergi ke Pasar Mentigi.
Jalanan sudah ramai pagi itu. Antrean panjang di depan yang sepertinya satu-satunya bank di Sampalan sudah mengular naga panjangnya. Pasar ramai dengan penjual tipat cantok, es campur, sate lilit dan nasi campur.
Ah seandainya ada ledok, keluh saya ke salah satu teman.
Keluhan saya didengar oleh salah satu ibu penjual tipat yang ternyata menyembunyikan satu panci ledok di mejanya. Bubur jagung, kacang dan bayam yang gurih khas Nusa Penida itu menjadi sarapan bergizi yang mengenyangkan hingga siang.
Sore itu, saya kembali ke “Bali”, daratan penuh lampu di seberang. Fast boat kecil yang membawa rombongan kami diempas berkali-kali oleh ombak hingga akhirnya mendarat di pantai Semawang.
Masih banyak yang ingin saya jelajahi di Nusa Penida dan saya bertekad harus kembali ke sana. Banyak pertanyaan muncul dari perjalanan saya ke sana. Apakah egois kalau saya berharap Nusa Penida untuk tidak berubah? Apakah adil kalau saya tidak ingin ada lagi hotel atau vila di sana? Apakah hanya saya yang merasa Nusa Penida itu harus dijaga? Adakah cara agar Nusa Penida bisa sejahtera tapi tidak semata lewat pariwisata? [b]
Selamat datang di pulau Nusa Penida bli 🙂
Tiyang anak Nusa Penida, tiyang sependapat dengan apa yang sudah bli paparkan dalam artikel ini. Kalau suatu saat bli ada waktu untuk main ke sini lagi dan ingin mencicipi ledok, mungkin bli bisa meyusuri sepanjang jalan pasar mentigi, saat siang hari biasanya ada dagang ledok yang jualan… Untuk akses internet juga sudah bisa dengan menggunakan beberapa provider seperti ind**at 😀
wah terimakasih telah berbagi, saya kira tidak ada lagi lahan yang benar-alami yang bisa dinikmati tanpa harus merogoh kocek yang cukup menguras kantong, oh ya saya juga ada penulisan yang sama yang bisa anda kunjungi Informasi Seputar Indonesia