Nyepi bertransformasi dari laku ritual menjadi kesalehan sosial.
Memaknai Hari Raya Nyepi akhir Maret ini, Bentara Budaya Bali menggelar putar film dan diskusi Bali Tempo Doeloe #9 “Laku Ritual Nyepi dan Kesalehan Sosial Kini”. Diskusi akan diadakan pada Sabtu, 29 Maret 2014, pukul 18.30 WITA, di Jalan Prof. Ida Mantra no. 88 A, By Pass Ketewel, Gianyar.
Bali Tempo Doeloe yang kali ini bekerja sama dengan TVRI Bali akan menayangkan dokumentasi mengenai rangkaian perayaan Nyepi yang dilakukan oleh umat di Bali.
Sebagaimana dituliskan dalam tattwa atau kitab-kitab keagamaan, Nyepi bukan hanya sebagai titik pergantian tahun baru çaka, namun juga momentum ruwatan alam semesta. Ada serangkaian upacara pembersihan seperti melasti, tawur agung, hingga laku catur brata penyepian berupa larangan menyalakan api (amati geni), tidak bekerja (amati karya), tidak bepergian (amati lelungaan) dan tidak bersenang-senang (amati lelanguan).
Sesi diskusi akan menghadirkan I Ketut Sumarta sebagai pembicara. Pengamat budaya yang juga Penyarikan Agung (Sekretaris Jenderal) Majelis Utama Desa Pekraman ini akan membicarakan perihal mendalami kedalaman Nyepi dengan cara Bali. Bukan hanya menyinggung perihal perkembangan bentuk perayaan dan pemaknaan dari hari suci ini dengan mengetengahkan berbagai sisi eksotika dari Bali masa silam, tapi juga menyoroti problematik yang menyertai pulau ini selama aneka kurun waktu, termasuk kemungkinan refleksinya bagi masa depan.
Meskipun berangkat dari esensi makna serupa, pelaksanaan Nyepi ternyata berbeda-beda di beberapa wilayah Bali. Apabila masyarakat Bali bagian selatan melaksanakan melasti sebelum tiba hari penting tersebut, penduduk di kawasan Bali utara menyelenggarakan ritual ini justru setelah berlangsungnya Nyepi.
Hal ini menunjukan bahwa ritual-ritual Bali bersifat beragam, yang penerapannya didasarkan pada waktu tradisi (sasih atau bulan, pawukon 7 harian, maupun perhitungan panca wara atau siklus lima harian) sekaligus pertimbangan kontekstual desa (lokasi), kala (waktu) dan patra (kondisi setempat).
Belakangan Nyepi juga dinilai sebagai salah satu kearifan lokal yang menginspirasi gerakan hemat energi, World Silent Day, yang mengimbau masyarakat untuk memadamkan listrik selama empat jam setiap tanggal 21 Maret.
Artinya, dari sebuah ritual yang bersifat lokal, Nyepi telah dimaknai sebagai bagian dari gerakan peduli lingkungan yang lebih global. Bahkan boleh dikata, Nyepi sudah ditransformasikan dari sebentuk laku ritual menjadi kesalehan sosial.
Peserta nantinya dapat ikut urun rembug dalam diskusi. Misalnya saja mempertanyakan bagaimana makna kehadiran Nyepi bagi masyarakat Bali Aga atau bagaimana menjaga sakralitas perayaan ini di tengah fenomena pariwisata yang menjadikan Nyepi sebagai salah satu daya tarik wisata.
Selain menjadi pengurus MUDP sejak tahun 2004, I Ketut Sumarta juga jurnalis yang pernah menjadi pemimpin redaksi Majalah Budaya Bali SARAD, direktur Harian Umum NUSA, Wakil Direktur Utama Dewata TV, Kepala Biro Majalah Mingguan Berita EDITOR di Jakarta dan Bandung, serta sebagai wartawan di sejumlah media massa lainnya.
Artikel-artikel Sumarta pernah dimuat di Harian Kompas, The Jakarta Post, Harian Bali Post, Harian Bali Tribun, Majalah Kebudayaan BASIS, Majalah Berita Mingguan GATRA, Jakarta.
Tahun 1999-2000, Sumarta menjadi Tim Komite Program Pemetaan Bahasa Nusantara Menjelang Abad ke-21 atas dukungan Ford Foundation. Tahun 2003-2006 sebagai Tim Pendampingan Masyarakat Adat Bali bersama Yayasan Ulu Angkep, Bali, atas dukungan Uni Eropa lewat IRE, Yogyakarta.
Buku-bukunya yang telah diterbitkan antara lain Subak: Inspirasi Manajemen Pembangunan Pertanian (1992); Pesta Kesenian Bali (1992) Sosok Seniman dan Sekaa Kesenian Denpasar(1999); Sosok Seniman dan Sekaa Kesenian Denpasar Jilid 2 (2000); Bali in Two World (kontributor tulisan terkait kondisi bahasa Bali kontemporer), Swiss (2001) ; Sosok Seniman Badung Jilid 1, 2, 3 (2005-2006); Baliisme (Wisnu Press, Bali, 2012). [b]