Gubernur Bali Geram ada Spanduk “Penggal Kepala Mangku P”.
Begitu judul berita Suara Pembaruan. Spanduk tersebut dipasang oleh Jaringan Aksi Tolak Reklamasi (Jalak) Sidakarya. Aktivis Jalak memasang spanduk tersebut sebagai bentuk protes atas sikap Gubernur yang tidak jelas soal reklamasi Teluk Benoa. Sebelumnya, Jalak Sidakarya menggelar aksi dengan orasi serta pembubuhan cap darah disertai dengan nada-nada protes dalam sebuah spanduk.
Salah satu kalimat dalam spanduk sepanjang 11 meter tersebut adalah “Penggal Kepala Mangku P”. Kegeraman Mangku Pastika diberitakan setelah pihak Gubernur Bali menggelar konferensi Pers Kamis lalu di kantor Gubernur.
Sejumlah portal berita lain yang saya amati, juga memberitakan hal serupa. Berita mengenai sikap gubernur atas tulisan dalam spanduk yang sebenarnya ditujukan untuk penolakan reklamasi teluk Benoa memang cukup ramai. Diberitakan pula, kalau isi spanduk yang diisi cap darah tersebut dianggap sebagai ancaman pembunuhan terhadap diri Mangku Pastika.
Karena itulah pihak Gubernur Bali mengaku telah melaporkan ancaman tersebut kepada pihak Kepolisian melalui Kepala Biro Hukum Pemprov Bali. Pasal yang dipergunakan adalah pasal 336 tentang ancaman pembunuhan.
Dalam wawancaranya dengan awak media atas kasus tersebut, Mangku Pastika, mengesankan dirinya sedang berada di bawah ancaman. Sampai-sampai, orang nomer satu di Pemprov Bali ini mengaku tidak bisa tidur gara-gara tulisan didalam spanduk tersebut. Tidak hanya tidak bisa tidur, Mangku Pastika juga balik menebar ancamannya jika polisi tak mampu menemukan orang yang menulis kata “Penggal Kepala Mangku P”.
“Gampang carinya, dalam hitungan jam kalau saya nyarinya dapat itu. Untuk mencari pembuat cap jempol darah kalau perlu dites DNA sehingga akan ketahuan darah-darah itu milik siapa. Tetapi tidak baik kalau saya yang cari sendiri, kalau polisi tidak dapat maka akan saya cari sendiri,” tantangnya seperti dimuat Suara Pembaruan.
Sementara dari Pos Bali versi online ada kutipan dan pernyataan seperti ini:
“Siapa sudah pernah memenggal kepala orang, saya sudah pernah memenggal dulu, tidak sederhana memenggal kepala orang itu,” ujarnya.
Pastika menceritakan di mana masa lalunya, sudah pernah memenggal kepala orang dan rasanya sangat sulit, serta masih terbayang hingga kini.
Statemen di atas mengindikasikan seorang MP akan menggunakan cara-cara sendiri jika poliisi tidak menemukan siapa penulisnya. Sebuah sikap yang entah disadari atau tidak menunjukkan siapa sesungguhnya MP. Melawan ancaman dengan ancaman, dalam kondisi di mana MP adalah seorang pejabat yang sedang berkuasa.
Pejabat berkuasa melawan seorang (sekelompok) rakyat yang gerah atas sikap dan kebijakan sang pejabat penguasa.
Namun menurut saya, sekali lagi Mangku Pastika kali ini menunjukkan dirinya sebagai sosok yang “cerdas” memanfaatkan situasi untuk menghadapi lawan-lawannya. Di tengah-tengah masih derasnya kecaman terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa, isu kemudian dibawa pada persoalan adanya ancaman pembunuhan terhadap dirinya. Pokok persoalan dari spanduk yakni penolakan reklamasi pun kemudian teralihkan kearah upaya pencitraan diri bahwa seorang Mangku Pastika sedang mengalami “penganiayaan”.
Mungkin ada harapan dari kubu MP, publik akan menjadi menepikan soal suara penolakan reklamasi dan memberi simpati dengan menunjukkan dirinya sedang diancam hendak dibunuh. Pelaporan kasus atas dugaan ancaman pembunuhan ini bisa menjadi pengalih isu yang efektif.
Di sisi lain, membawa persoalan kalimat yang muncul dalam aksi protes ke aparat hukum, juga bisa menjadi upaya membungkam kelompok pemrotes. MP sedang mengirim signal kepada kelompok yang selama ini berseberangan dalam soal reklamasi agar mereka tidak lagi bersuara keras.
Cara “cerdas” MP membungkam dilakukan dengan tidak mau bersentuhan dengan kelompok yang memasang spanduk tersebut, melainkan mencari orang yang menuliskan “Penggal Kepala Mangku P” didalam spanduk. Instrumen hukum kepolisian dipergunakan sebagai senjata untuk membungkam dengan membidik hanya satu orang dari sekerumunan/kelompok massa penentangnya dengan harapan ada ketakutan bagi anggota kelompok lainnya untuk tidak lagi melancarkan protes.
Ancaman Pembunuhan?
Menyimak isi pemberitaan soal spanduk bernada keras kepada penguasa dalam aksi protes rakyat, saya menjadi teringat masa-masa era demonstrasi menuntut Reformasi. Ketika itu para demonstran selain berorasi juga membawa spanduk dan pamflet yang dibuat dari kertas manila atau karton.
Bermacam-macam tulisan yang dituangkan dalam spanduk dan pamflet. Semuanya bernada kecaman kepada sosok Soeharto yang ketika itu adalah orang nomer satu di Republik Indonesia dan memang menjadi sasaran kemarahan massa yang tidak tahan dengan ke otoriterannya.
Saya masih ingat, saya yang ikut demonstrasi waktu itu (hanya partisan) berjalan dari Kampus Unud di Jalan Sudirman ke Gedung DPRD Bali di kawasan Renon dengan membawa pamflet dari kertas manila bertuliskan “Gantung Soeharto”. Dengan penuh semangat juga berteriak “Gantung Soeharto, Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat”.
Sampai sekarang, dalam sejumlah aksi protes rakyat kepada penguasa, kata-kata keras memang sering digunakan. Ketika mahasiswa menolak kenaikan harga BBM Juni 2013 lalu, kata “Gantung SBY” juga menggema dalam aksinya di depan Gedung MPR/DPR Senayan Jakarta.
Bahkan tidak hanya teriakan dan spanduk, aksi teatrikal juga dilakukan lengkap dengan wujud (entah gambar atau patung bertuliskan SBY) yang digantung dengan tali. Tetapi SBY tidak pernah lapor polisi dengan laporan karena merasa dirinya diancam mau dibunuh.
Kekuasaan, di manapun memang selalu berpotensi menepikan suara-suara yang menentang atau mempertanyakan kebijakan dari kekuasaan. Dan sudah menjadi hukum alam, bahwa di manapun kekuasaan, dia tidak akan hanya mendapatkan dukungan tetapi juga penentangan.
Pro dan kontra atas kebijakan kekuasaan adalah hal yang biasa. Massa rakyat bisa terbelah menjadi dua kubu besar, yang pro dan yang kontra. Yang kontra pastilah menyatakan kekecewaannya terhadap kebijakan penguasa yang dianggap tidak memperhatikan suara rakyat.
Dalam sebuah sistem demokrasi, suara mendukung atau menolak kekuasaan seharusnya diberikan ruang seluas-luasnya. Kedua-duanya dihormati. Aspirasi dalam bentuk lisan maupun tertulis wajib diberikan salurannya baik kepada yang senang maupun kecewa atas kebijakan penguasa. Tentu saja bagi seorang yang berkuasa, serangan berupa penolakan terhadap kebijakan publik penguasa yang datang dari rakyat tidak bisa begitu saja dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap diri pribadi.
Mengapa? Karena relasi yang terbangun antara kekuasaan dengan massa rakyat adalah relasi kelas yang berkuasa dan dikuasai. Penguasa dengan segenap aparatur kekuasaannya, justru lebih mungkin menjadi kekuatan yang mengancam. Rakyat biasa, kecil kemungkinanya menjadi ancaman bagi seorang penguasa.
Hanya dalam bentuk protes yang bisa dikatagorikan raksasa dan menyeluruh barulah kekuatan rakyat bisa menjadi ancaman bagi kekuasaan. Tetapi itupun ancamannya atas kejatuhan kekuasaan, bukan ancaman pribadi terhadap si penguasa. Soeharto saja, meski ingin sekali dihukum mati oleh gerakan mahasiswa, toh bebas-bebas saja sampai akhir hayatnya.
Kekecewaan publik atas sikap kepemimpinan bisa berwujud banyak hal. Massa rakyat yang frustasi atas sikap kepemimpinan yang tidak bijak menangkap aspirasi, bisa menyampaikan protes dengan bahasa-bahasa yang keras. Keras dengan maksud agar pemimpin/penguasa mau mendengar. Jadi penggunaan kata-kata yang ekstreem menyerang penguasa dilakukan oleh rakyat tidak lebih adalah untuk tujuan agar suaranya didengar.
Kata-kata Keras seperti “gantung….!!”, “seret…!” dalam sebuah aksi protes sama sekali bukan sebuah ancaman pembunuhan. Itu adalah kata-kata dengan makna konotatif, bukan denotatif. Bahasa keras yang muncul dalam demonstran adalah bahasa protes, bahasa perlawanan karena selama ini suara mereka lebh sering diabaikan. Pura-pura didengar, tetapi sesungguhnya dibungkam.
Bahkan ketika sebuah protes diisi dengan membubuhkan cap darah, itu hanyalah bentuk lanjut dari protes keras. Mereka ingin menunjukkan bahwa protes mereka berasal dari hati yang paling dalam. Protes dengan cap darah juga cukup sering dilakukan, bukan hanya pada soal menolak reklamasi.
Kalau serius menanggapi protes rakyat atas kebijakan publik penguasa, bukan caranya yang diributkan, tetapi bertanyalah mengapa ada sekelompok rakyat yang memprotes dengan cara yang begitu keras?.
Merasa diri akan diancam dibunuh hanya dengan membaca tulisan dalam spanduk protes, bisa dianggap berprasangka terlalu jauh. Apalagi sampai melaporkannya ke polisi.
Jadi, please… jangan lebay deh…!! [b]
Mantap..
Welcome to Orba Jilid II 😀