Sebagai salah satu lembaga tradisional Bali, Subak dijiwai oleh ajaran agama Hindu.
Hal ini serupa dengan konsep Tri Hita Karana. Areal persawahan yang menjadi wilayah Subak, merupakan unsur Palemahannya, Krama Subak sebagai unsur Pawongan dan adanya Pura-pura Subak sebagai wujud Parhyangannya. Ketiga unsur tersebut merupakan suatu kesatuan tak terpisahkan. Satu dengan yang lainnya memiliki kaitan sangat erat
Istilah Subak, ada yang mengupas dari kata sa – uwak (suwak = subak), yang berarti satu uwakan, pembagian air untuk pengairan sejumlah areal sawah tertentu. Dalam Kamus Bahasa Bali Lumrah, yang diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Jln. Katedral, 5 Ende-Flores, 1984, disebutkan : (1) Wilayah persawahan yang menerima airnya dari suatu saluran (sungai, anak sungai, selokan). (2) Organisasi untuk mengurus pengairan dalam wilayah satu subak. Anggotanya disebut krama subak, kepalanya Kelihan Subak atau Pakaseh. Puranya disebut Bedugul, tempat memuja Dewi Sri.
Sejak dilaksanakannya pembinaan subak oleh pemerintah daerah, berkembanglah istilah ada yang disebut “Subak Sawah” dan “Subak Abian”. Dalam kesempatan ini saya akan menguraikan tentang Subak Sawah, yakni subak yang mewilayahi sawah, yang memerlukan pengairan teratur. Bagaimana melindung sawah, guna mempertahankan jati diri Budaya Bali, yang dijiwai oleh agama Hindu.
Permasalahan yang timbul dewasa ini dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini ditambah dengan pergeseran pola penghidupan masyarakat. Tidak sedikit tanah-tanah sawah, saat ini beralih fungsi, baik untuk perumahan, sarana perekonomian, pasar, pariwisata maupun untuk sarana-sarana lainnya.
Krama Subak yang dulunya memiliki swadharma/kewajiban moril untuk “nyiwi” dan “ngempon” pura-pura Subak, kini semakin berkurang. Bahkan tidak jarang, orang-orang yang menempati bekas sawah tersebut, merasa tidak terikat lagi dengan keberadaan Pura Subak, karena sudah mengalih profesi, apalagi yang bukan beragama Hindu.
Untuk itulah perlu pembahasan guna mendapatkan jalan keluar terbaik, sesuai sastra agama Hindu. Dengan demikian tidak sampai terjadi sawah semakin menyempit dan Pura Subak semakin terlantar, yang dapat membawa citra tidak baik bagi umat Hindu.
Jenis Pura Subak
Ada beberapa Pura, yang memiliki hubungan dengan Subak, yaitu :
Pura Ulunswi
Pura ini berkaitan erat dengan sawah khususnya dan subak pada umumnya. Pura Ulunswi disebut juga Pura Ulun Empelan adalah tempat pemujaan Dewa Wisnu atau Dewi Gangga, sebagai dewanya air, untuk memohon kesuburan dan keselamatan sawah. Karena tanpa adanya aliran air yang teratur, sudah tentu sawah tidak menghasilkan dengan baik. Bendungan atau Empelan itulah tempat menaikkan air sungai, sehingga dapat mengairi sawah yang ada di hilir.
Oleh karena itu yang menjadi panyiwi dan pangemponnya, adalah krama subak yang menggunakan aliran air dari bendungan/empelan tersebut. Untuk menambah keyakinan kami kutipkan lontar, yang mengungkapkan tentang keberadaan Pura Ulunswi/Ulun Empelan, seperti :
Dalam lontar Maharsi Markandya : …………. ring bukaning we dadi tinambak, wenya iniliraken sawah-sawah ri subak-subak kabeh, winangun ngkaneng Pura, inaranan Pura Ulunswi athawa pajara Ulun Empelan.
Dalam lontar Sri Purana Tattwa yang disebut juga Glagah Puhun dan dalam lontar Dewa Purana Bangul disebutkan : Mwah Sang Bhakabhumi manyeneng ring Ulunswi, palinggihan ira bhumi satumpuk medal mangulon.
Dalam lontar Siwagama Sasana, disebutkan : Tucapa Bhatara Wisnu sira wenang amawa bhuwana, akweh de nira agawe dawuhan, salwiring nadi tinambak nira, asing mulya paknanya linayanan tumibeng tegal, sawah, mareng thani dusun, katekeng nagara krama, iniring wadwa sangghya, asing langgyana ri sajnanira wineh dandha mageng mademit, ya ta donya kinaryaken parhyangan ryagraning dawuhan, pininda Bhatara Wisnu sinembahing wwang kabeh, sira imper kadi manik astagina, wenang ngawetwaken sakahyun. Matangnyan sira maka nama Sang Kandyawan purwakaning Bhatara Wisnu mangdadi bhuwana. Ndan hana ghosananira rikang wang sahebek Medhangkana, wenang sakalwiraning wang makarya-karya ambabad magawe sawah mandala janggala widara tinugrahan dening sang prabhu, maka drewya kalilirannya, tumuteng santana pratisantana tan kawaranan de sang prabhu, adyapi kawasitwa dening artha tunggal, kalinganika.–
Pura Ulun Carik
Pura Ulun Carik didirikan pada setiap subak sebagai “hulunya” subak.
Dalam lontar Maharsi Markandya, diuraikan :
Mangkana mwah ring sowang-sowang subak, hana ingadegakena pura, inaranan Pura Ulun Carik.
Di dalam lontar Siwagama Sasana disebutkan :
Kunang waneh pawarah ira Bhatara Siwa ring Pusering Bhuwana, ri kanang wang kabeh kinonta agawaya panyiwyan pangulunung sawah, palungguhira Bhatari Umadewi, sinembahing magaga sawah, mangasraya ri kahaywaning tahun, samangkana tantunya nguni tekeng phala bungkah phala gantung, apan sira nimittaning gaga sawah pinaka caraking tahun.
Dengan demikian Pura Ulun Carik adalah sthana dari Bhatari Umadewi.
Selain itu ada juga didirikan sebuah sanggah yang sifatnya darurat, yang sering disebut dengan Sanggah Catu, yang ditancapkan di hulu sawah (pangalapan), jika ada upacara di sawah barulah dipasang.–
Pura Sagara
Pura Sagara memiliki kaitan yang sangat erat, oleh karena dalam kepercayaan dari lautlah datangnya “mrana/marana”. Maka upacara Panangluk Mrana/Marana dilaksanakan bertempat di Pura Sagara. Pelaksanaannya pada sasih Kenem, Kepitu, Kawelu dan Kasanga atau hari-hari yang baik untuk melakukan Bhuta Yajna.–
Pura Masceti
Menurut keyakinan umat Hindu, dewa yang bersthana di Pura Masceti, menguasai “mrana tikus”. Maka di Pura Mascetilah melaksanakan “Panangluk Mrana Tikus” (disebutkan Dewane ring Masceti mangraksa tikus, ika ne wenang kasungsung).
Pura Sakenan
Pura Sakenan dipandang, sebagai penguasa “Balangsangit”, maka itu perlu dilakukan “Panangluk Mrana Balangsangit”.
Pura Uluntanjung
Pura Uluntanjung, yang terletak di sebelah Pura Petitenget. Semenjak Badung berpisah dengan Denpasar, untuk krama Badung tidak lagi melaksanakan Panangluk Mrana di Pura Sakenan, lalu ditetapkan di Pura Uluntanjung. Namun pelaksanaannya pada Purnama Sasih Kawelu, dengan persembahan caru “Banteng Belang Kebang”, yakni dengan mengunakan binatang korban seekor sapi betina, yang di ketiaknya ada bintik putih.
Pura Ulun Danu Batur dan Pura Danu Bratan
Di kedua pura ini ada kaitannya dengan upacara “Mapag Toya”, yakni memohon curahan hujan, agar air dapat mengalir dengan baik, untuk mengairi sawah, agar padi atau pala wija dapat hidup subur dan berhasil dengan baik. –
Mempertahankan Jati Diri
Untuk melindungi sawah serta mempertahankan jati diri Budaya Bali, sudah tentu harus ada penanggung jawab yang bersedia untuk melanjutkan pelestarian Subak dan Pura Subak dimaksud. Tanggung jawabnya baik untuk melindungi sawah dari alih fungsi dan memelihara, melestarikan keberadaan Pura Subak, baik bangunan fisiknya maupun dalam pelaksanaan upacaranya.
Bagaimanapun juga untuk menunjang hidup ini setiap orang tidak akan mungkin dapat melepaskan diri dari kebutuhan akan air maupun bahan makanan yang bersumber dari hasil tanaman di sawah.
Demikian juga pemujaan terhadap Dewa Wisnu, Dewi Uma, Dewi Gangga, Dewi Sri, hendaknya tetap dipertahankan untuk dilanjutkan, walaupun masyarakat setempat tidak lagi mata pencahariannya sebagai petani.
Sesuai dengan kepercayaan agama Hindu, bahwa areal subak/sawah, adalah areal suci, oleh karenanya dipantangkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan kesucian itu. Melalui Awig-awig Krama Subak, sesungguhnya telah jelas tercantum larangan-larangan atau sangsi yang ditimpakan terhadap mereka yang menodai kesuciannya.
Namun, sayangnya sangsi dimaksud sering hanya diberlakukan ketat kepada sesama umat Hindu saja, sedangkan bila ada orang lain yang berlaku menodai kesucian areal persubakan, sering tidak mendapatkan perhatian. Seperti halnya pekerja sawah dari orang-orang non Hindu, yang bermalam bersama suami istri, dengan prilaku-prilaku yang tergolong mencemari kesucian sawah, sering luput dari sanksi keharusan mengembalikan kesucian sawah yang dinodai.
Demi untuk menjaga sawah, dari alih fungsi lahan, kesuciannya dan kelestarian Subak sebagai lembaga tradisional yang dijiwai dan menyangga keberadaan Budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu, kepada siapa saja yang menodai kesucian sawah, perlu diberikan sangsi yang sesuai. Misalnya yang melanggar bukan umat Hindu, perlu dirumuskan bentuk sanksinya, walaupun tidak dalam bentuk upacara dan upakara, melainkan dapat diganti dengan sejumlah denda tertentu, yang kemudian dari denda tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk upakara, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah diambil beberapa pokok pikiran, sebagai berikut :
- Keberadaan Subak/Persawahan yang ada di Bali, berlandaskan Tri Hita Karana, yakni Pura Subak, sebagai unsur Parhyangan; Wilayah Subak, sebagai unsur Palemahan dan Krama subak, sebagai unsur Pawongan. Ke tiga unsur itu berkaitan sangat erat dan tidak dapat dipisah-pisahkan, guna mencapai karahayuan.
- Persawahan adalah areal suci, karena sesuai dengan keyakinan Hindu, merupakan sthana dari Bhatari Uma.
- Sawah mempunyai hubungan yang tak terpisahkan dengan Pura-pura seperti : Pura Ulunswi, Pura Ulun Carik, Pura Segara, Pura Masceti, Pura Sakenan, Pura Uluntanjung, Pura Ulun Danu Batur, Pura Ulun Danu Bratan dan Pura-pura lain yang sejenis.
- Keberadaan Subak/persawahan harus dipertahankan, dilestarikan, dilindungi, untuk mempertahankan Jati Diri Budaya Bali, yang berlandaskan agama Hindu.
Sumber : www.panbelog.wordpress.com