Lebih baik gunakan uang negara untuk produksi ARV dalam negeri.
Jaringan Aksi Perubahan Indonesai (JAPI) menggelar aksi longmarch dari lapangan puputan ke GOR Ngurah Rai Denpasar. Aksi ini diikuti oleh sekitar 50 orang yang terdiri dari elemen organisasi masyarakat sipil, organisasi komunitas yang bergerak di isu HIV dan AIDS, serta para simpatisan. Agenda utamanya mendesak pemerintah Indonesia menolak WTO dan TRIPs bertepatan dengan momentum adanya Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO yang juga digelar di Bali pada 3 – 6 Desember 2013.
Di Indonesia, menurut data Kementrian Kesehatan, hingga Juni 2013 jumlah kasus infeksi HIV sebanyak 108.600 orang, kasus AIDS sebanyak 43.667 orang dan angka kematian akibat AIDS sebesar 8.340 orang. Sedangkan jumlah Orang dengan HIV-AIDS (ODHA) yang telah mendapatkan pengobatan ARV sebanyak 34.961 orang.
Merujuk data tersebut berarti 32 persen ODHA telah menggantungkan hidupnya pada Anti Retroviral Virus (ARV).
Sementara itu Indonesia merupakan salah satu dari 157 negara yang menandatangani perjanjian WTO, organisasi internasional yang mengatur perdagangan antarnegara, pada tahun 1995. Perjanjian ini telah mengikat pemerintah Indonesia untuk membayar paten yang berakibat pada mahalnya ARV dan obat-obatan esensial seperti: obat kanker, jantung, lupus, leukemia, hepatitis serta penyakit kronis lain.
Apa itu WTO?
WTO adalah satu badan internasional yang secara resmi berdiri pada 1 Januari 1995 dan secara khusus mengatur perdagangan antar negara. WTO atau organisasi perdagangan dunia adalah pintu gerbang suatu negara untuk memperluas akses pasarnya. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui UU no 7/1994.
Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perudingan yang telah ditanda tangani negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antarnegara yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan.
Karena hal inilah maka sebuah Negara patut tunduk dalam semua perjanjian WTO yang juga diatur di dalam Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual. Indonesia merupakan salah satu dari 157 negara anggota yang menandatangani perjanjian WTO pada tahun 1995. Ssebagai bagian dari anggota WTO, Negara wajib untuk menyelaraskan kebijakan domestik sesuai dengan ketentuan WTO sehingga mengindikasikan bahwa faktor eksternal WTO berpengaruh dalam pembuatan kebijakan perdagangan nasional.
Mengapa WTO sangat berpengaruh pada produksi obat-obatan di dalam negeri?
Dengan adanya perjanjian WTO terkait HAKI yang tertuang pada klausul TRIPs yang katanya melindungi hak cipta inilah yang mengakibatkan Indonesia bahkan tidak bisa memproduksi sendiri obat-obatan mahal yang masih dilindungi oleh paten. Bukan hanya ARV, obat-obatan penyakit kronis lainnya pun masih banyak yang dilindungi hak paten. Peraturan WTO otomatis berdampak langsung bagi masyarakat dan menjadi issu global karena mahalnya harga obat, khususnya ARV, dan obat-obatan lain.
Implementasi lisensi wajib terhadap obat-obatan ARV belum sepenuhnya di-“perjuangkan” oleh Pemerintah. Akibatnya adalah uang negara dihabiskan hanya untuk membeli obat-obatan mahal yang hanya bisa di impor oleh Negara lain.
Untuk itulah JAPI menuntut pemerintah agar memproduksi ARV dalam negeri serta berani melawan WTO dalam klausal TRIPs yang menyulitkan pemerintah Indonesia memproduksi obat generik karena hak paten WTO bersifat mengikat bagi negara anggotanya. Ini penting menyangkut hak kesehatan rakyat serta ketersediaan obat murah di Indonesia.
Melalui aksi ini JAPI menegaskan tiga tuntutan kepada pemerintah Indonesia yaitu:
1. Kemandirian produksi ARV dalam negeri untuk semua lini ARV,
2. Meningkatkan pilihan obat ARV serta obat-obatan esensial seperti obat kanker, jantung, lupus, leukemia, hepatitis dan penyakit kronis lainya agar dapat diproduksi dalam negeri dan harganya terjangkau masyarakat,
3. Meratifikasi kembali isi perjanjian WTO terkait hak kekayaan intelektual.
Sekilas JAPI
Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI) merupakan jaringan aksi nasional yang dideklarasikan oleh berbagai organisasi masyarakat sipil serta organisasi komunitas dalam rangka mewujudkan keadilan bagi kaum yang dimarjinalkan dan pelayanan Care, Support, Treatment (CST) yang komprehensif bagi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia. Tujuannya untuk tercapainya pelayanan universal access bagi ODHA pada khususnya.
Berbagai upaya yang dilakukan JAPI menuju ke arah itu yaitu memperkuat jaringan antar Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) serta organisasi masyarakat sipil di Indonesia memperkuat kerja-kerja advokasi, merekomendasikan agar KDS dan organisasi masyarakat sipil masuk kedalam sistem yang sejajar dengan pemerintah dan menjadi pusat rujukan ODHA di Indonesia serta peningkatan kapasitas jaringan anggota JAPI. [b]
Kontak Person
Kiki Muliawan
Koordinator Nasional JAPI
Jl. Moh. Kaffi II No : 20 Rt 005/02, Kel. Srengseng Sawah – Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640
Phone: 081291880866 email: japinasional@yahoo.co.id