Oleh Wayan Damai (Difabel)
Tiap 3 Desember diperingati sebagai hari kaum penyandang cacat.
Peringatan sedunia ini secara ide bagus dan patut dihargai. Karena, tujuannya mengundang dan menggugah kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk peduli terhadap saudara-saudari kita para difabel/difable atau penyandang cacat di mana saja berada.
Sebutan untuk penyandang cacat pun diganti dengan difable, yang maknanya bukan pada kecacatan fisik namun lebih menkankan pada sisi keberbedaan kemampuan. Cacat fisik menjadikan kemampuan seseorang berbeda dengan orang ’normal’.
Terkait dengan Hari Cacat sedunia, sebagai mahluk penyandang cacat atau difabel saya memperingatinya melalui ‘curhat’ yang saya tuangkan lewat tulisan pendek. Siapa tahu curhat saya ini membantu mengubah cara pandang masyarakat memperlakukan dan menangani kaum difabel.
Apa yang saya lihat selama ini, perlakuan maupun penanganan kaum difabel masih setengah hati dan masih dipandang sebelah mata. Entah itu di keluarga, masyarakat sekitar maupun pemerintah melalui kebijakan yang kurang berperspektif kaum difabel.
Keluarga
Seperti kata orang, segala sesuatu bermula dari keluarga. Demikian pula dalam kaitan dengan perlakuan terhadap kaum difabel, baik buruknya perlakuan sangat tergantung pada situasi dan kondisi sosial budaya sebuah keluarga.
Di sini saya akan pakai pengalaman pribadi saya yang dibesarkan di keluarga Bali yang kental dengan tradisi ritualnya.
Ketika dilahirkan ke dunia, saya ‘normal’. Konon ketika saya usia 5 tahun, saya sakit panas, dan akhirnya kaki saya lemes, tidak bisa jalan dan saya polio. Sejak itu saya resmi cacat fisik. Kaki saya polio. Kemampuan jalan pun terganggu.
Saya lahir di keluarga yang lebih banyak kurangnya daripada pas-pasan, baik secara materi maupun pemikiran. Orang tua saya petani, lugu dan ilmu membesarkan anak juga pas-pasan. Syukur, mereka sabar mendampingi dan melayani hidup saya dari kecil hingga bisa sekolah sampai tamat SMP.
Yang terpenting, saya bangga di balik kesederhanaan dan keluguan orang tua saya mereka tidak malu punya anak cacat. Banyak orang tua biasanya malu punya anak cacat dan bahkan ada orang tua menyuruh anaknya yang cacat sembunyi jika ada tamu berkunjung ke rumah.
Tidak terlalu berlebihan kalau saya katakan, sungguh berat menjadi penyandang cacat di keluarga. Lebih banyak derita daripada sukanya. Fasilitas yang ada sederhana, tempat buang air besar, buang air kecil sulit dan jauh dari layak. Kecacatan dijadikan momok. Orang cacat adalah beban, baik personal, finansial maupun sosial, sehingga perlakuan diskriminatif pun menjadi kawan akrab.
Ejekan dan tudingan mahluk tidak produktif, sudah lazim dan menjadi langganan setiap ketemu orang, di rumah, di banjar ataupun di sekolah.
Kesan pertama yang muncul di benak orang adalah penampilan fisik kaum difabel, yang bikin singkuh di mata. Yang lebih gawat lagi, karena saya cacat saya tidak boleh bersekolah. Juga tudingan bahwa orang cacat lahir karena dosa atau di Bali sering dibilang kena karma pala (akibat perbuatan buruk di masa lalu). Pokoknya tudingan pada orang cacat itu ibarat ‘vonis mati’. Tudingan yang cukup lirih di hati, bukan bermaksud untuk dikasihani, namun bikin hati jengah.
Ruang Publik
Sebagai orang difabel, ruang publik yang saya maksud adalah semua ruang di luar wilayah keluarga tempat berinteraksinya orang dari berbagai kalangan, seperti di tempat suci, di banjar maupun di ruang-ruang umum perkantoran, khususnya di Bali. Ruang-ruang ini jujur saya katakan; belum ramah difabel.
Di Bali apalagi tokoh-tokoh masyarakat dari yang informal sampai ke tokoh formal, politisi, pejabat agamawan maupun sulinggih, semuanya fasih berceramah soal Tri Hita Karana, bagaimana menciptakan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia degan masyarakat serta manusia dengan lingkungan alamnya. Semua ceramahnya memukau.
Sayang, praktiknya, bagi saya dan teman–teman difabel lainnya yang jumlahnya juga lumayan, masih jauh dari yang diharapkan. Sekadar contoh saja, bagaimana saya dan teman teman difabel begitu merindukan sembahyang ke Pura-Pura besar di Bali. Sayang fasilitas yang ada masih minim, setengah hati, dan barangkali tidak pernah terpikirkan. Tangga bertingkat tingkat menuju Pura, seringkali mengurungkan kerinduan untuk ‘berdialog’ dan ngaturang sembah dengan sang Pencipta.
Demikian juga di Banjar, fasilitas maupun pendampingan terhadap krame penyandang cacat (difabel) belum kondusif, dari segi ayah- ayahan maupun iuran masih tidak setara. Di kantor pemerintah dari urusan darat, laut, udara dan kepolisian seperti SIM sampai perizinan, menyulitkan, diskriminatif terhadap kaum difabel, baik secara akses, fasilitas, dan pelayanan. Kebijakan dan perhatian pemerintah terhadap kaum difabel minim dan belum berperspektif difabel dalam arti minus upaya perlindungan dan pencegahan terjadinya difabel.
Perhatian terhadap aum difabel hanya muncul saat Pilkades, Pilkada, Pilpres dan penggalian dana atas nama pembinaan orang cacat. Setelah dana turun, ataupun pemilu usai, uang dan perhatian lenyap kaum difabel menjadi tak terurus.
Demikian juga jika dikaitkan dengan kemajuan industri pariwisata Bali yang katanya banjir dolar. Faktanya tetesan dolar untuk pembinaan kaum penyandang cacat seret, fasilitas untuk kaum difabel asal-asalan dan amburadul. Pejabat yang turun tangan memberikan perhatian pada kaum difabel melalui lembaga lembaga sosial hanya hadir dan duduk di kepanitaan, namun terkait pembinaan tak pernah nongol.
Harapan
Melalui tulisan ini saya hanya bisa berharap, saatnya semua pihak mulai buka mata, hati dan pikiran, kaum difabel tidak untuk dikasihani, berikan perlakuan yang wajar-wajar saja. Kaum difabel bisa diajak berkarya bersama, jangan hanya terjebak pada keberbedaan fisik saja.
Lihatlah dari persepktif kemampuan yang dimiliki.
Saya percaya perubahan perlakuan terhadap kaum difabel sangat efektif dimulai dari keluarga, yang kemudian mengalir ke ruang publik dan akhirnya ke kebijakan pemerintah.
Saatnya kita tinggalkan pola pikir lama dan perlakuan sebelah mata terhadap kaum penyandang cacat, hentikan kepura-puraan atas nama pembinaan kaum difabel. Lebih baik jujur dan lakukanlah dengan sepenuh hati. Kehadiran kaum difabel tidak bisa dihindari, entah yang cacat karena bawaan ataupun dicacatkan oleh kebijakan.
Demikian juga bagi pelaku bisnis yang suka mengumbar Corporate Social Responsibility (CSR), jadikanlah program tersebut sungguh-sungguh untuk peduli kaum difabel jangan hanya pencitraan saja seolah-olah perusahan anda beretika, kenyataannya menolak kehadiran orang cacat atau difabel bekerja di perusahan Anda. Kaum difabel juga manusia yang punya hak, kewajiban, kemampuan dan martabat.
Selamat Hari Cacat Sedunia, semoga mulai hari ini juga terjadi perubahan perlakuan terhadap kaum difabel. Selamat! [b]
Aminnnn.