Oleh Luh De Suriyani
Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Bali dan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana meminta pemerintah dan media memproteksi peternak babi karena isu flu babi yang kini disebut flu A (H1N1) merugikan peternak.
PDHI dan FK Unud memperkirakan kerugian peternak babi di Bali bisa mencapai 30 milyar per tahun jika harga babi hidup masih sekitar Rp 10 ribu per kilogram seperti saat ini.
“Keresahan di peternak makin meningkat. Penyebutan istilah flu babi membuat salah strategi pencegahan di masyarakat. Banyak yang menghindari babi bukan manusia yang sebenarnya harus diwaspadai sebagai sumber penularan,” papar Prof drh I Made Damriyasa, Dekan FKH Unud, pekan lalu.
Ketua PDHI Bali I Gusti Ngurah Badiwangsa Temaja menambahkan jika hal ini terus berlarut, ada dampak lebih luas seperti penolakan masyarakat beternak dan mengkonsumsi babi. Pejabat pemerintah dan stakeholder diminta konsisten menyebut virus ini seperti keputusan WHO yakni influenza A H1N1.
I Gusti Ngurah Mahardika, ahli virologi FKH Unud, meyakinkan belum ada babi di Indonesia yang terpapar virus flu A yang dapat menularkan ke manusia seperti di Meksiko.
Berdasarkan data FKH Unud, Mahardika mengatakan peternakan babi di Bali assetnya sangat besar yakni 1,5 triliun rupiah atau setara dengan APBD Bali.
Dari sekitar 900 ribu ekor jumlah populasi babi di Bali, hanya 3 persen yang di peternakan. Sisanya di rumah tangga. Sementara data ternak babi di Indonesia sekitar 7 juta ekor, dan hanya 10 persen berada di peternakan. “Artinya, mayoritas peternak adalah rumah tangga dan sangat menggantungkan pendapatannya dari ternaknya,” ujarnya.
Indutri ini berkembang di rumah tangga karena pakannya sangat mudah yakni sisa makanan limbah rumah tangga.
Ia menambahkan harga daging babi kini Rp 17 ribu per kilo dari berat babi hidup. Namun di beberapa daerah menjadi Rp 10 ribu per kilo berat hidup. Sementara jumlah penjualan babi hidup sekitar 230 ribu ekor per tahun. “Kalau dengan penurunan harga seperti ini kerugian tingkat peternak mencapai Rp 30 milyar per tahun,” ujar Mahardika.
Jumlah yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) Pesanggaran, lokasi terbesar kini terpelanting dari dari 50 ekor menjadi 5 ekor per hari.
“Karena isunya, mempunyai dampak luar biasa walau Indonesia negara muslim, namun nilai babi sangat tinggi. Terutama di sejumlah daerah seperti Papua, Bali, dan lainnya,” tambahnya.
WHO kini mengancam menaikkan pandemi flu A menjadi fase 6, karena meningkatnya sebaran negara yang terinfeksi, yakni 24 negara.
Secara genetis, menurut Mahardika H1N1 tidak terlalu ganas dibanding flu burung.
Flu A (H1N1) Amerika Utara 2009 gennya koalisi dari berbagai virus. Misalnya gen PB2 babi H3N2 Eurasia, dan gen PB1 orang H1N1 Amerika Utara. Pandemi influenza sangat ditakutkan karena sejarah beberapa bencana seperti 1918 yang membunuh 50 juta orang di seluruh dunia.
Peluang tiba pengidap virus ini di Indonesia menurutnya sangat besar. Harus ada deteksi dini, respon cepat untuk menekan dampak yang lebih besar.
“Pelabuhan dan kapal pesiar yang datang ke Bali apakah mendapat penanganan yang sama seperti di bandara,” tanya Mahardika.
Pengamatan lewat thermalscanner juga tidak cukup. Karena yang diawasi hanya penumpang internasional. Sementara pemantauan lewat health alert card harus di supervisi dengan mengecek kesehatan pengisi kartu di luar bandara. [b]